Studi Kritis Shalat
dengan gerakan dan bacaan cepat
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيْمِ
Dalam qiyam Ramadhan (shalat tarawih dan witir), kita dapati
sebagian saudara-saudara kita yang shalat dengan bacaan dan gerakan yang cepat.
Maka demi menjelaskan berbagai subhat terkait masalah ini, dengan sedikit ilmu
yang kami miliki, kami akan mencoba membahas permasalahan ini dan semoga Allah
memberikan kepada kami kemudahan
untuk menjelaskan subhat-subhat terkait masalah ini, Insya Allah.....
Saudaraku yang dimuliakan Allah.......
Permasalahan pertama : Bagaimanakah
seharusnya kita membaca Surat al- Fatihah dan surat lainnya di dalam sholat.
Allah
memerintahkan kepada kaum muslimin untuk
membaca al- Qur’an dengan tartil sebagaimana firman Nya:
...... وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلا (٤)
“Dan bacalah Al Quran itu dengan tartil.”
(QS. Az- Zumar ayat 4)
Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam menjelaskan bahwa kedudukan seseorang itu di akhirat
berada pada akhir ayat yang ia baca dengan tartil di dunia sebagaimana sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam:
يُقْالُ لِصَاحِبِ الْقُر آنَ إِقْرَ أْ وَارْتَقِ، وَرَتِّلْ كَمَا تَرْتِلُ
فِيْ الدُّنْيَا؛ فَإِنَّكَ مَنْزِ لَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُ وْهَا
“Dikatakan kepada ahli Qur’an: “Bacalah sambil naik
keatas, bacakanlah dengan tartil sebagaimana engkau membacanya di dunia. Karena
sesungguhnya kedudukanmu pada akhir ayat yang engkau baca (dengan tartil)” (HR,
Abu Dawud, at- Tirmidzi, Ibnu Nashr, Ahmad, Baihaqy dan al- Hakim; Dishahihkan
olehnya)
Bagaimanakah cara Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam membaca
Surat al- Fatihah dan Surat lain nya di dalam shalat:
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam membaca surat al- Fatihah se ayat demi
se ayat sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
ثُمَّ يَقْرَأُ {الْفَاتحَةَ}،
وَيَقْطَعُهَا أٓيَةً أٓيَةً
“Kemudian beliau membaca surat al- Fatihah dan membacanya
ayat per ayat” (HR. Abu Dawud, as- Sahmi, dan al- Hakim)
Dari Ummu Salamah Radiyallahu 'anha (Salah seorang Istri Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam)
أَنها سئلت عن قر اعة رسول الله ا فوالت: كان
يقطع فر اءته آية آية
Beliau ditanya tentang bacaan Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam -sewaktu shalat-? Beliau menjawab:
"Beliau Shalallahu 'alaihi wasallam membaca ayat-ayat al-qur'an dan
berhenti pada tiap-tiap ayat" (HR. Ahmad, Abu Daud, Baihaqi, at- Tirmidzi,
ad- Daruquthni. Imam Hakim mengatakan Hadits ini Shahih menurut Syarat Imam
Muslim dan disetujui oleh Imam adz- Dzahabi)
Sebagai dalil pendukung/penguat bahwa Surat al- Fatihah
dalam sholat, harus di baca ayat-per ayat adalah adanya sebuah hadits Qudsi,
yang meyebutkan bahwa Allah membagi surat al- Fatihah dalam shalat menjadi dua
bagian, dan pada setiap ayat yang dibaca, langsung di jawab oleh Allah
, sebagaimana disebutkan
dalam hadits berikut:
قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: قَسَمْتُ
الصَّلَاةَ بَيْنِىْ وَبَيْنَ عَبْدِي: نِصْفَيْنِ فَنِصْفُهَا لِى وَنِصْفُهَا لِعَبْدِيْ.
وَلِعَبْدِىْ مَاسَأَلَ. وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِقْرَؤُوْ الْعَبْدُ: اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ
الْعَلَمِيْنَ، يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَ: حَمَدَنِيْ عَبْدِى: وَيَقُوْلُ الْعَبْدُ:
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، وَقُوْلُ اللهُ تَعَالَ: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِ. وَيَقُوْلُ
الْعَبْدُ: مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ،يَقُلُ اللهِ تَعَالَ: مَجَدَنِى عَبْدِيْ: وَيَقُوْلُ
الْعَبْدُ: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ اِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ، [قَالَ]: فَهَذِهِ بَيْنِى
وَبيْنَ عَبْدِ وَلِعَبْدِى مَاسَأَلَ: وَيَقُوْلُ الْعَبْدُ: إِهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيْمَ، صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمِ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ
وَلَا الضَّالِّيْنَ [قَالَ] فَهَؤُلَاءِ لِعَبْدِيْ، وَلِعَبْدِى مَاسَأَلَ
Dari Ummu Salamah Radiyallahu 'anha; Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: “ Allah
berfirman: “Aku membagi
shalat antara Aku dengan hamba-Ku menjadi dua bagian. Sebagiannya untuk Ku dan
sebagian lagi untuk hamba Ku. Sementara bagian hamba Ku adalah apa yang ia
minta. Kemudian Rasulullah a bersabda: “Bacalah oleh kalian, seorang hamba membaca
dalam shalatnya ; Alhamdulillahi rabbil ‘alamiin, maka Allah Ta’ala berfirman:
“Hamba Ku telah memuji Ku”, kemudian bila hamba membaca :”Arrahmaanirrahiim”
maka Allah berfirman: “Hamba-Ku telah menyanjung Ku”. Bila hamba membaca:
”Maalikiyaumiddin” maka Allah Ta’ala berfirman: “Hamba-Ku telah memuliakan-Ku”.
Seorang hamba membaca: “Iyyaka na’budu waiyyaka nasta’in” [Allah Ta’ala
berfirman]: “Hal ini adalah bagian antara Aku dengan hamba-Ku dan baginya apa
yang ia minta”. Seorang hamba membaca: “Ihdinash shirothol mustaqiim,
Shirotholladziina an’amta ‘alayhim Ghoiril Maghdhubi ‘alaihim waladh dholliin:
[Allah Ta’ala berfirman]: “Semua itu adalah bagian milik hamba-Ku dan baginya
apa yang ia minta” (HR. Abu Dawud No. 821, Muslim, Abu ‘Awanah dan Malik; Juga
terdapat hadits saksi (penguat) yang bersumber dari Sahabat Jabir Radiyallahu 'anhu yang
diriwayatkan oleh As- Sahmi dalam kitab Tarikh Jurjan No. 144)
Dari ayat dan hadits2 tersebut kita dapat mengambil suatu
kesimpulan bahwa:
1.
Mentartilkan bacaan al- Qur’an merupakan
perkara yang diperintahkan Allah
juga merupakan hal yang dicontohkan oleh Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam,
sehingga sebagai Hamba Allah dan Ummat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, wajib
bagi kita untuk mentartilkan bacaan al- Qur’an baik dalam shalat maupun di luar
sholat, dimana penetapan hukum ini dapat diterima dengan hujjah sebagai
berikut:
-
Berdasarkan kaidah Ushul /pokoh
Fiqh, disebutkan bahwa hukum asal dari perintah adalah wajib selama tidak ada
dalil yang menyelisihinya, dan dikarenakan tidak adanya dalil yang
menyelisihinya, maka Tsabit/tetaplah hukum kewajiban mentartilkan bacaan
al-qur’an.
-
Mencontoh apa yang di amalkan oleh Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam (terkecuali yang dikhususkan oleh Allah pada beliau Shalallahu 'alaihi wasallam; Seperti
bolehnya bagi Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam menikahi lebih dari 4 istri), merupakan
bukti cinta kita kepada Allah dan Rasul Nya, sebagaimana yang disebutkan dalam
dalil-dalil berikut:
a.
Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
وخير
الهدي هدي محمد صلي الله عليه وسلم
“Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shalallahu 'alaihi wasalla” (HR.
Muslim, at- Tirmidzi dan an- Nasa’i)
b.
Firman Allah
:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي
يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
(٣١)
“Katakanlah: "Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS.
Al- Imran: 31)
-
Menghentikan bacaan al-Qur’an (Surat al-
Fatihah) dimasing-masing ayat dalam sholat, bermakna memberikan “kesempatan”
bagi Allah untuk menjawab bacaan ayat surat al- fatihah yang kita baca.
Sehingga sangat tidak pantas bagi seorang hamba yang merebut “kesempatan” yang
menjadi milik Allah.
-
Dari dalil dan hujjah diatas dapat
diperoleh satu kesimpulan bahwa membaca al-qur’an baik dalam sholat maupun
diluar sholat dengan cara cepat/tergesa-gesa adalah perkara yang tidak di
syari’atkan bahkan merupakan bentuk kemungkaran yang sangat jelas bila dilihat
dari beberapa sisi:
a.
Membaca al- Qur’an dengan cepat dapat
mengabaikan ahkam tajwid, dimana dengan mengabaikannya dapat merubah arti dan
makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an.
b.
Membaca ayat-ayat al-Qur’an dengan
cepat, merupakan bentuk pembangkangan terhadap perintah Allah dan contoh yang
diberikan Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, sehingga tidak mungkin seorang yang
beriman kepada Allah dan Rasul Nya melakukan hal yang berseberangan dengan apa
yang diperintahkan Allah dan Rasul Nya.
c.
Di dalam shalat, bacaan cepat dapat
mempengaruhi sah-tidak nya sholat makmum, terlebih bagi penganut mahdzab
Syafi’iyah, yang penjelasan rincinya akan saya paparkan sesaat lagi Insyaa
Allah.
Hukum membaca Surat al- Fatihah bagi
Makmu menurut Mahdzab Syafi’iyah
Sudah menjadi Ijma’ dikalangan Mahdzab Syafi’iyah, bahwa
hukum membaca Surat al- Fatihah adalah wajib bagi setiap al- Musholliin (orang
yang sholat) sehingga tidak sah sholat orang yang tidak membacanya, baik itu
sholatnya sebagai Imam, Makmum atau Munfarid (sholat sendirian) pada sholat
jahriyah maupun sirriyyah.
Yang menjadi pertanyaan, dimanakah tempat bagi makmum
untuk membaca surat al- Fatihah, bila imam sholat membaca surat al- Fatihah dan
ayat/surat lain dengan cara cepat/ tergesa-gesa. Terhadap pertanyaan ini, ada 3
kemungkinan dan ketiga kemungkinan tersebut tidak ada yang selamat dari
bantahan. Ketiga kemungkinan tersebut dan bantahannya adalah sebagai berikut:
a.
Membaca Surat al- Fatihah bersamaan
dengan imam, yakni ketika imam membaca Alhamdulillahi robbil ‘alamin, maka
makmum mengikuti nya dengan membaca Alhamdulillahi robbil ‘alamin dan
seterusnya. Tetapi cara seperti ini memiliki beberapa mafsadat diantaranya:
-
Makmum akan luput dari membaca Aamiin,
ketika Imam membaca Ghoiril Maghdhubi ‘alaihim waladh dholliin, sebab ia
akan fokus untuk menyelesaikan bacaan al- Fatihahnya, sementara membaca Aamin
setelah imam mengucapkan Ghoiril Maghdhubi ‘alaihim waladh dholliin memiliki
keutamaan diantaranya: Hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda yang maknanya: “Barang siapa
yang mengucapkan Amin setelah Imam mengucapkan Ghoiril Maghdhubi ‘alaihim
waladh dholliin bersamaan dengan ucapan amin para malaikat dilangit, maka akan
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Imam Malik, Bukhari, Abu Dawud,
Nasa’i, Baihaqy dan Imam Ahmad)
-
Terdapat larangan dari Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, bahwa
tidak boleh membaca al- Qur’an bersamaan dengan bacaan imam sebagaimana
disebutkan dalam hadits: “Suatu hari tatkala selesai sholat jahriyah – dalam
riwayat lain –shalat shubuh beliau a bertanya:
هَلْ قَرَأَ مَعِىْ مِنْكُمْ
أَحَدٌ؟. فَقَالَ رَجُلٌ: نَعَمْ، أَنَا يَارَسُوْلُ الله. فَقَالَ: إِنِّىْ أَقُوْلُ:
مَالِى أُنَارَعُ؟
“Apakah ada diantara kalian yang membaca bersamaku tadi?.
Salah seorang laki-laki menjawab: “Benar Ya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, akulah
orangnya”. Maka beliau Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Mengapa (bacaan) saya
dibarengi dengan bacaan?” (HR. Imam Malik, at- Tirmidzi dan Abu dawud dll).
Ctt: Secara dzahir kata-kata “Mengapa (bacaan) saya dibarengi dengan bacaan?”
dalam hadits diatas adalah sebuah kalimat pertanyaan, namun yang benar makna
dari pertanyaan tersebut adalah bermakna larangan ikut membaca bersama bacaan
imam.
b.
Makmum membaca surat al- Fatihah, ketika
imam diam sejenak antara bacaan surat al- Fatihah dengan surat atau ayat-ayat
al- Qur’an. Namun keadaan seperti ini tidak akan ada pada shalat dengan bacaan
cepat sebab ketika Makmum belum seluruhnya selesai membaca Amiin, imam sudah
mulai membaca surat atau ayat-ayat al- Qur’an.
c.
Makmum membaca surat al- Fatihah ketika
Imam, membaca surat/ayat al- Qur’an setelah imam membaca surat al- Fatihah.
Dimana keadaan ini adalah keadaan yang paling memungkinkan bagi makmum bila
Imam membaca ayat/surat yang agak panjang (setidaknya sepanjang surat al-
Fatihah), yang menjadi permasalahan adalah bagaimana bila imam hanya membaca
ayat Salamun Qoula min-robil rohiim wam tazul yauma ayyuhal mujrimuun atau
bahkan hanya Alif Lam Mim, atau Alif Lam Min Shod dan yang semisalnya dapatkah
makmum menyelesaikan bacaan al- fatihahnya ??, jawabnya adalah tidak mungkin
walaupun dengan cara membaca dengan cepat apatah lagi bila bacaan tersebut
dilakukan dengan tartil.
Sehingga dari pembahasan diatas dapat dipahami bahwa
membaca surat al-Fatihah dan surat lain dengan cara cepat di dalam sholat,
jelas-jelas memiliki mafsadat/ kerusakan menurut Mahdzab Syafi’iyah dari sisi
kewajiban membaca Surotul Fatihah bagi makmum, dan menyelisihi seluruh mahdzab
dalam hal kaifiah membaca Al- Fatihah dan surat/ayat al- Qur’an dari sisi ke
tartilan nya. Sehingga tidak selayaknya seorang muslim mengambil pendapat yang
menyelisihi al- Kitab dan as- Sunnah dalam beramal dan beribadah kepada Allah
.
Bila makmum yang bermahdzb syafi’iyah tidak tahu, bahwa
tidak sah shalat makmum yang tidak membaca surat al- Fatihah, maka beban
dosanya di tanggung oleh Imam, sebagaiman sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يُصَلُّوْنَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوْا فَلَكُمْ
وَإِنْ أَخْطَئُوْا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ.
"Mereka shalat mengimami kalian. Apabila mereka
benar, kalian dan mereka mendapatkan pahala. Apabila mereka keliru, kalian
mendapat pahala sedangkan mereka mendapat dosa.” (HR. Al-Bukhari (no. 694) dan
Ahmad (II/355, 537))
Tanbih
Pendapat yang benar mengenai tata cara membaca Surat al-
Fatihah dalam shalat berjama’ah bagi makmum adalah: Ketika Imam Membaca dengan
Jahr (keras) seperti pada shalat Subuh, Rakaat pertama dan kedua pada shalat
Maghrib dan Isya’ serta shalat-shalat sunnah yang imam membaca dengan jahr
(keras) maka makmum wajib untuk diam (tidak membaca) dan apabila imam membaca
dengan sirr (pelan) maka makmum wajib membaca surat al- fatihah. Dan pendapat
ini merupakan pendapat Imam Malik dan Sebagian Riwayat Imam Ahmad dan merupakan
pendapat pertengahan dari dua pendapat yang berseberangan, yakni Imam Hanafi
yang memutlak kan bagi makmum untuk tidak membaca surat al- fatihah baik pada
shalat jahriyah maupun sirriyyah, sementara di sisi lain Mahdzab Syafi’iyyah
mewajibkan bagi makmum membaca surat al- fatihah secara mutlak, baik pada
shalat jahriyyah maupun sirriyah. Adapun dalil-dalil yang menjadi pendukung
pendapat masing-masing dapat pembaca lihat pada tulisan kami sebelumnya yakni
Petunjuk Shalat Praktis Shalat Sesuai Tuntunan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam maupun
Kitab Ashlu Sifatish Sholat Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, karya al- Imam al- Muhaddits Syaikh
Muh. Nashirudin al- Albany Rahimahullah.
Hukum Shalat dengan Gerakan Cepat
Dalam sebuah hadits, Nabi a bersabda:
صَلُّوْا كَمَ رَ أَيْتُمُوْنِىْ أُصَلِّىْ
"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat
aku shalat." (HR. Al-Bukhari).
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi a memerintahkan kepada ummatnya untuk
shalat sebagaimana tata cara shalat yang beliau a kerjakan, baik dari segi tata cara
membaca maupun gerak-gerik dalam shalat beliau Shalallahu 'alaihi wasallam.
Saudaraku yang dimuliakan Allah......Bagaimanakah Cara
Shalat nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, bila di tinjau dari cepat tidaknya
dalam berpindah dari satu rukun ke rukun lainnya. Berikut uraiannya:
Dalam shalat kita diperintahkan untuk menyempurnakan
Ruku’ dan sujud, dan menyempurnakan ruku’ dan sujud adalah salah satu dari
bentuk thuma’ninah dalam sholat, sebagaimana
disebutkandalam hadits-hadits berikut:
ثُمَّ يُكَبِّرُ وَيَركَعُ وَيَضَعْ يَدَيْهِ عَلَى
رُكْبَتَيْهِ حَتَّى تَطْمَئِنَ مَفَاصِلُهُ وَتَسْتَرْخِى.
“Setelah itu beliau
bertakbir dan ruku’, dengan meletakkan kedua telapak tangannya diatas kedua
lututnya sehingga seluruh tulang belakangnya lurus (Thuma’ninah)”
HR. Abu Dawud, Nasa’i dan al-
Hakim dishahihkan olehnya dan adz- Dzahabiy).
Dari Abu Mas’ud al- Badri Radiyallahu 'anhu, Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لَاتُجْزِ ئُ صَلَاةُ الرَّجُلِ حَتَّى يُقِيْمَ ظَهْرَهُ فِيْ الرُّكُوْعِ
وَ السُّجُوْدِ.
“Tidak sempurna shalat seseorang sampai ia meluruskan
punggungnya ketika ruku’ dan sujud” (HR. Abu dawud No. 855)
لَايَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ إِلَى صَلَاةِ عَبْدٍ لَا
يُقِيْمُ صَلْبَهُ بَيْنَ رُكُوْعِهَا وَ سُجُوْدِهَا
“Allah tidak akan
melihat kepada shalat seorang hamba yang tidak menegakkan tulang punggungnya
antara ruku’ dan sujud” (HR. Imam Ahmad dan Thabraniy; Isnad Shahih)
Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً
الَّذِ يْ يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ. فَقَالُوْا: يَارَسوْلَ اللهِ! وَ كَيْفَ يَسْرِقُ
مِنْ صَلَاتِهِ؟. قَالَ: لَا يَتِمُّ رُكُوْ عَهَا وَ سُجُوْدَهَا.
“Sejahat-jahat
pencuri adalah seseorang yang mencuri dalam sholatnya” Para sahabat bertanya:
“Wahai Rasulullah! Bagaimana seseorang yang mencuri dalam sholatnya??.Nabi a
bersabda: “Orang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya” (HR. Al- Hakim,
Baihaqy, Thabrani dan Ibnu Hibban dari Sahabat Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِبْلٍ قَالَ: نَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ: عَنْ نَقْرَةِ الْغُرَابِ وَفْتِرَاشِ السَّبْعِ ....
“Dari Abdurrohman bin Syiblin ia berkata: “Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam melarang mengerjakan shalat seperti burung gagak
mematuk (sujud tanpa thuma’ninah).” (HR. Abu Dawud No. 862)
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa tatkala Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam melihat
seseorang yang shalat dengan gerakan yang cepat (tidak menyempurnakan ruku’ dan
sujudnya), maka beliau Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لَوْ مَاتَ هَذَا عَلَى حَالِحِ هَذِهِ؛
مَاتَ عَلَى غَيْرِ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ
“Seandainya ia mati dalam keadaan demikian, maka
sesungguhnya ia mati diluar agama Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam” (HR. At-
Thohawi, Abu Ya’la dengan Sanad Abu Shalih dari Abu Abdullah al- As’ary, juga
Amr bin Al- Ash, Khalid bin Walid dan Syarahbil bin Hasanah)
Dari dalil-dalil diatas dapat dipahami bahwa shalat
dengan gerakan cepat (tanpa tuma’ninah) tidak sah secara Ijma’, sebab Tidak
sempurna shalat seseorang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujud dan maksud
kata tidak sempurna di sini bermakna tidak sahnya sholat yang tidak
menyempurnaka ruku’ dan sujud, dimana penghukuman tidak sah ini diperkuat oleh
hadits-hadits selanjutnya,
yakni Allah tidak akan memandang orang yang tidak
menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, dan makna Allah tidak memandang adalah
sholatnya tidak berpahala/dengan kata lain tidak sah.
Tidak menyempurnakan ruku’ dan sujud adalah tindakan
mencuri dalam shalat, sementara mencuri adalah salah satu kemaksiatan yang
besar apatah lagi kemaksiatan tersebut dilakukan pada perkara yang menjadi pembeda/pemisah
antara seorang muslim dengan kekufuran, yakni sholat.
Apa bila seseorang yang mati dalam keadaan sholat dengan
gerakan cepat, maka yang bersangkutan dinyatakan oleh Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam matinya
diluar agama Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam, hadits ini semakin memperjelas dan
mempertegas tidak sahnya sholat seseorang yang dilakukan dengan cepat, Wallahul
a’lam.
Terkait masalah ini, ada satu subhat yang pernah kami
dengar dari salah seorang tokoh agama di desa tetanga, bahwa Seseorang yang
shalat dengan gerakan cepat/tergesa-gesa, menunjukkan takutnya seorang hamba
kepada Allah
, maka subhat ini kami bantah
denga beberapa hadits berikut:
Abu Hurairah Radhiallahu anhu
menceritakan: Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam biasa mengerjakan shalat
malam hingga membengkak kedua telapak kakinya. Ada yang bertanya kepada beliau:
"Wahai Rasulullah, mengapa Anda melakukan sedemikian itu, bukankah Allah
telah mengampuni segala dosa Anda yang lalu maupun yang akan datang?"
beliau menjawab: "Bukankah selayaknya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?"
(HR. Ibnu Majah).
Al-Aswad bin Yazid berkata: "Aku
pernah bertanya kepada 'Aisyah Radhiallaahu anha tentang shalat malam
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam. 'Aisyah menjawab: "Biasanya beliau
tidur di awal malam, kemudian tengah malamnya beliau bangun mengerjakan shalat
malam. Bila merasa ada keperluan beliau segera menemui istri. Beliau segera
bangkit begitu mendengar seruan azan. Beliau segera mandi bila dalam keadaan
junub. Jika tidak, maka beliau segera berwudhu' lalu berangkat (ke masjid
untuk) shalat." (HR. Al-Bukhari)
Shalat malam beliau sangat mengagumkan,
ada baiknya kita ketahui panjang ayat yang dibacanya. Semoga dapat kita jadikan
contoh dan teladan.
Abu Abdillah Hudzaifah ibnul Yaman
Radhiallaahu anhu mengisahkan: Pada suatu malam, aku pernah shalat tahajjud
bersama Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam . Beliau mengawali shalat dengan
membaca surat Al-Baqarah, saya berkata di dalam hati, "Mungkin setelah
membaca kira-kira seratus ayat, ternyata beliau terus tidak berhenti, saya
berkata lagi di dalam hati, "Mungkin, beliau selesaikan pembacaan surat
Al-Baqarah. Dalam satu raka'at ternyata beliau terus memulai surat Ali Imron
kemudian terus mem-bacanya saya berbicara di dalam hati: (mungkin) beliau mau
ruku setelah selesai Ali-Imron, ternyata beliau terus membaca surat An Nisa
sampai habis. Beliau membaca surat-surat tersebut dengan bacaan tartil. Setiap
kali membaca ayat yang menyebutkan kemahasucian Allah Ta’ala beliau selalu
bertasbih (mengucapkan subhanallah). Setiap kali membaca ayat yang berisikan
permohonan, beliau pasti berdoa. Setiap kali membaca ayat yang menyebutkan
permintaan berlindung diri kepada Allah Ta’ala, beliau segera mengucapkan
ta'awwudz. Ketika ruku' beliau membaca: Subhaana Rabbiyal ‘Adzhiim ( "Maha
Suci Rabbku Yang Maha Agung." )
Lama ruku' beliau hampir sama dengan
lama ber-diri. Kemudian beliau mengucapkan: Sami’allahuliman hamidah, Rabbana
lakal hamdu
"Allah Maha mendengar terhadap
hamba yang memuji-Nya. Ya Rabb kami, segala puji bagi-Mu."
Kemudian beliau tegak berdiri (i'tidal),
hampir sama lamanya dengan ruku'. Kemudian beliau sujud dan membaca: Subhaana
Rabbiyal ‘A’la ( "Maha Suci Rabbku Yang Maha Luhur." )
Lama sujud beliau hampir sama dengan lama i'tidal."
(HR. Muslim)
Bila kemudian ada yang mengatakan bahwa shalat tarawih
dengan bacaan cepat adalah perkara yang disukai, maka wajib baginya untuk
membawakan dalil, sebab perkataan tanpa bukti dalil maka hal tersebut adalah
sebuah kedustaan belaka. Sebab perkara ibadah adalah perkara tauqifiyah, yang
harus dibangun diatas dalil dan hujjah yang shahih, bukan hanya persangkaan
semata. Dan mendahulukan perkataan nabi adalah mutlaq dibanding perkataan
siapapun juga, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi’i Rahimahullah:
Saudaraku....
lihatlah beberapa perkataan Imam asy- Syafi’i Rahimahullah,
yang menunjukkan bahwa beliau menekankan pada para pengikutnya untuk mengambil
hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bila ternyata perkataan beliau
menyelisihi hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam,
diantara perkataan-perkataan beliau adalah sbb:
Ar-
Rabie’ (murid Imam asy- Syafi’i) bercerita; Ada seseorang yang bertanya kepada
Imam asy- Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian setelah dijawab oleh Imam
Syafi’i, kemudian orang itu bertanya: “Bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan
marahlah Imam Syafi’i. Beliau kemudian berkata:
أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِى
وَ أَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِى إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ
“Langit
mana yang akan menaungiku dan bumi mana yang akan aku pijak, bila
kumeriwayatkan hadits Rasulullah kemudian aku berpendapat dengan pendapat lain
(yang menyelisihi hadits tersebut) (AR. Abu Nu’aim dalam Kitab Hilyatul
‘Aulia).
Beliau
juga berkata:
إِذَ وَجَدْتُمْ فِىْ
كِتَابِىْ خِلَافَ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ فَقُوْلُوْا بِسُنَّتِ رَسُوْلِ اللهِ وَدَعُوْا
مَاقُلْتُ - وَفِى رواية- فَاتَّبِعُوْهَا وَلَا تَلْتَفِتُوْا إِلَى قَوْلِ أَحَدٍ
“Jika
kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah (hadits)
Nabi a, maka sampaikanlah sunnah tadi dan
tinggalkanlah pendapatku – dan dalam riwayat lain – maka ikutilah sunnah dan
jangan pedulikan perkataan orang-orang” (AR. Imam an- Nawawi dalam Kitab Majmu
Syarh Muhadzdzab 1:63)
كُلُّ حَدِيْثٍ عَنِ النَّبِيِّ
فَهُوَ قَوْلِى وَ إِنْلَمْ تَسْمَعُوْهُ مِنِّىْ.
“Setiap
hadits yang di ucapkan oleh Nabi a,
maka itulah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku” (Imam adz-
Dzahabiy dalam kitab Siyar Alamin Nubala’ 10:35)
كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ
فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلَافِ مَا قُلْتُ
فَأَنَا رَاجِعٌ عَنْهَا فِىْ حَيَاتِىْ وَبَعْدَ مَوْتِى.
“Setiap
permasalahan yang padanya terdapat Hadits shahih menurut ahli Hadits, dan
hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku akan mencabut
pendapatku tersebut ketika aku masih hidup maupun setelah aku mati” (Abu Nu’aim
– Hilyatul ‘Auliya’ 9:107)
إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ
فَهُوَ مَذْهَبِيْ وَ إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَضْرِبُوْا بِقَوْلِىْ الْحَائِطَ.
“Bila
ada hadits shahih, maka itulah madzhabku, dan kalau ada hadits shahih maka
lemparkanlah pendapatku ke balik tembok” (Imam adz- Dzahabiy - Kitab Siyar
‘Alamin Nubala’)
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُوْنَ
عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ
يَدَ عَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Kaum
muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, maka tidak halal baginya
meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat seseorang” (Ibnu Qayyim –
I’lamul Mawaqi’in 2:282)
Lihatlah saudaraku yang dimuliakan Allah bagaimana
takutnya Imam Syafi’i menyelisihi sunnah Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, padahal ia adalah Imam besar dan salah seorang dari 4 imam Mahdzab,
tetapi lihatlah diri kita, kita begitu lancang membantah hadits-hadits nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, hanya demi mengikuti pendapat seseorang yang kita tidak tahu apakah
perkataannya bisa di terima atau ditolak. Ketahuilah
wahai saudaraku
Dalam Qur’an al- Hasyr ayat 7 Allah
berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ
فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
الْعِقَابِ (٧)
“Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu,
Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras
hukumannya.
CTT:
AR Maksudnya adalah Atsar Riwayat yang merupakan riwayat yang bersumber dari
Perkataan, Perbuatan dari Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in
Mulai
di tulis di Kendari, Jum’at 25 Rajab 1433 H Bertepatan dengan 15 Juni 2012 M
Selesai
di tulis di Kendari, Selasa 29 Rajab 1433 H, Bertepatan dengan 19 Juni 2012 M
Dimuroja’ah
Kembali hari Selasa, 13 Sya’ban 1433 H bertepatan dengan 3 Juli 2012
Maraji/Referensi:
Al-
Qur’anul Karim
Kitab
Shifat Sholat Nabi a Karya Syaikh Muh. Nashiruddin al-
Albany
Kitab
Shahih Bukhari – Karya Imam Bukhari
Kitab
Shahih Muslim – Karya Imam Muslim
Kitab
Fathul Baary Syarh Shahih Bukhari – Karya Imam al- Hafidz Ibnu Hajar al-
Asqalany
Kitab
I’lamul Mawaqi’in – Karya al- Imam Ibnu Qayyim al- Jauziah
Kitab
Shahih Sunan Abu Dawud – Karya Abu Dawud as- Sijistani (Imam Abu Dawud) Tahqiq
Syaikh Muh Nashirudin al- Albany
Kitab
Shahih Sunan at- Tirmidzi – Karya Imam Abu Isa at- Tirmidzi (Imam At- Tirmidzi)
Tahqiq Syaikh Muh Nashirudin al- Albany
Kitab
Shahih Sunan Ibnu Majah – Karya Imam Ibnu Majah Tahqiq Syaikh Muh Nashirudin
al- Albany
Terjemahan
Kitab Sehari di Kediaman Rasulullah a
karya Syaikh Abdul Malik bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Qasim
Buku
Panduan Ramadhan – Karya al- Ustadz Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal
Faidah
ta’lim Tatacara membaca Surat al- Fatihah dalam Sholat Oleh: al- Ustadz Hasan
bi Rosyid, Lc Hafizhohulloh Mudir/Pimpinan Pondok Pesantren Minhajus
Sunnah Kendari
Faidah
Ta’lim Bacaan dalam Sholat oleh: Oleh: al- Ustadz Hasan bin Rosyid, Lc Hafizhohulloh Mudir/Pimpinan
Pondok Pesantren Minhajus Sunnah Kendari
Faidah
Ta’lim Hukum Membaca al- Fatihah bagi Makmum Oleh : al- Ustadz Hasan bi Rosyid,
Lc Hafizhohulloh Mudir/Pimpinan Pondok Pesantren Minhajus Sunnah Kendari
Faidah
Ta’lim al- Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi Hafizhohulloh
Panduan
Praktis Sholat Sesuai Tuntunan Sunnah Nabi a
Karya Wayer Haris Sauntiri, ST ...Dll.................