Sabtu, 31 Desember 2011

Hukum Sembelihan 2 (Dua Kali)

Hukum Sembelihan Dua Kali
Oleh   : Wayer Haris Sauntiri, S.T
Assalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Beberapa waktu yang lalu, saya pernah ditanya tentang bagaimana hukum daging hewan yang disembelih dua kali, maka dengan keterbatasan ilmu yang saya miliki pada waktu itu, maka jawaban saya adalah “Insya Allah halal” dengan argumen/ hujjah bahwa saya pernah membaca sebuah hadits shahih yang menyatakan bahwa seorang muslim boleh memakan sembelihan ahlul kitab (Yahudi dan Nashara), dan bila kita ragu apakah sembelihan tersebut dibacakan nama Allah atau tidak, maka cara “menyembelihnya” adalah dengan membaca nama Allah ketika hendak memakannya. Apatah lagi bila hewan tersebut disembelih oleh seorang muslim dan padanya disebutkan nama Allah. Pertanyaan tersebut muncul karena adanya kejadian sembelihan dua kali dalam suatu hajatan dan menurut keyakinan sebagian masyarakat disana bahwa hukum daging hewan yang disembelih dua kali adalah haram mereka berhujjah dengan sebuah pernyataan dalam sebuah kitab yang ditulis bukan oleh ulama terkenal bahkan saya katakan majhul/asing dikalangan ahlul ‘ilmi, sehingga kitabnyapun merupakan kitab yang tidak dikenal. Dan yang dimaksud dengan sembelihan dua kali disini adalah ketika melakukan sembelihan tiba-tiba alat sembelihan terjatuh dan penyembelih mengambil ulang alat sembelihan dan melanjutkan sembelihan tersebut. Maka setelah memperoleh tambahan ilmu mengenai masalah ini, maka saya merasa perlu untuk memberikan penjelasan guna meluruskan kesalahpahaman kaum muslimin terhadap permasalahan ini, sehingga kita tidak terjatuh pada persoalan ghulluw/berlebih-lebihan dalam beragama. Berikut uraiannya:
Suatu sembelihan dihukumi halal bila dalam sembelihan tersebut memenuhi syarat-syarat sembelihan sebagai berikut:
1.   Syarat orang yang menyembelih.
a.     Berakal dan sudah Tamyiz
b.     Penganut Agama Samawi (beragama Islam, Yahudi atau Nashara), dalil tentang halalnya sembelihan ahlul kitab adalah:
-      Dalam al- Qur’an Surah al- Maa’idah ayat 5 Allah SWT berfirman yang artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahlul Kitab”. Al- Imam al- Hafidz Ibnu Katsir Rahimahullah dalam kitab Tafsirnya (Tafsir Ibnu Katsir) berkata yang dimaksud dengan “Makanan” dalam ayat ini (Al- Maa’idah ayat: 5) adalah sembelihan ahlul kitab. Beliau mengatakan bahwa hal tersebut merupakan penafsiran dari Ibnu Abbas r.a dan Abu Umamah al- Bahili r.a dari kalangan sahabat serta Mujahid, Sa’id ibnu Jubair, Ikrimah, Atha’ bin Yasir, Al- Hasan, Makhul, Ibrahim an- Nakha’I, as- Sa’di dan Muqatil bin Hayyan dari kalangan tabi’in.
-      Dalam hadits ‘Aisyah r.a disebutkan: Artinya: “Bahwa ada suatu kaum bertanya kepada Nabi SAW: “Ada suatu kaum membawa daging kepada kami yang tidak kami ketahui, apakah mereka menyebut nama Allah atau tidak, maka beliau SAW menjawab: “Sebutkanlah nama Allah padanya dan makanlah” (H.R Imam Bukhari, tercantum dalam kitab Bulughul Marom No. 1.363).
-      Dari sahabat Rafi’ bin Khodij r.a: Rasulullah SAW bersabda: ”Apa yang dapat menumpahkan darah dengan diiringi sebutan nama Allah, maka makanlah. Selain gigi dan kuku. Sebab gigi adalah tulang dan kuku adalah pisau bangsa Habasyah (Ethiopia)” (HR: Bukhari, Muslim, Ibnu Majjah No. 3.187, at- Tirmidzi No. 1491 dan Bulughul Marom No. 1367).
-      Adapun menggunakan bejana (alat-alat rumah tangga) orang-orang musyrik dan ahlul kitab diperbolehkan oleh Rasulullah SAW dengan syarat dicuci terlebih dahulu sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat at- Tirmidzi No. 715, al- Albani dalam kitab Irwa’ al- Ghaliil No. 37, Bukhari dan Muslim yang bersumber dari sahabat Abu Tsa’labah al- Kasyani r.a dan ‘Abdullah bin Amru:
يَا رَسُوْلَ اللهِ! إِنَّا بِأَرْضِ قَوْمِ أَهْلِ كِتَابِ، أَفَنَأْكُلُ فِيْ آنِيَتِهِمْ؟ قَالَ: لَا تَأْكُلُوْا فِيْهَا إِلَّا أَنْ لَاتَجِدُوْا غَيْرَهَا، فَاغْسِلُوْهَا، ثُمَّ كُلُوْا فِيْهَا
“Wahai Rasulullah ! Kami berada di perkampungan Ahli Kitab, apakah boleh kami makan dengan tempat mereka?” Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian makan dengannya, kecuali kalian tidak mendapatkan yang lain. Cucilah dahulu, barulah makan dengannya”
c.      Tidak sedang ihram
d.     Adanya niat untuk dimakan dan membaca bismillah dengan lisan. Membaca bismillah ketika menyembelih dihukumi wajib oleh Imam Hanafi, Malik dan Hambali sementara menurut Imam Syafi’I hukumnya sunnah. Namun apabila kita lupa membaca bismillah maka terdapat beberapa pendapat untuk masalah ini:
-      Sembelihan tidak sah dan dagingnya  haram, mereka berdalilkan dengan surah al- An’am ayat 121, namun berdalilkan dengan ayat ini, tidaklah benar sebab hukum ayat ini telah dinasakh (dihapus hukumnya) oleh surah al- Maa’idah ayat 5 yang telah berlalu pembahasannya.
-      Sembelihannya sah dan dagingnya halal dimakan. Mereka yang berpendapat seperti ini berdalilkan dengan:
¨       hadits ‘Aisyah r.a yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Ibnu Hajar dalam kitab Bulughul Marom No. 1363.
¨       Rasulullah SAW bersabda: Artinya : “Allah meletakkan pena (tidak menghukum) umatku karena salah atau lupa dan karena dipaksa" [HR ath-Thahawi dalam kitab Syarhu Ma'anil Atsar Juz 2 hal 56, Al-Hakim Juz 2 hal.198, Ibnu Hazm dalam kitab Al-Ihkam Juz 5 hal. 149, Ad-Daruquthni 4/171 dari dua jalan yaitu dari Al-Auza'i dari Atha' bin Abi Rabah dari Ubaid bin Umar, dari Ibnu Abbas, sanadnya Shahih, dikutip dari Kitab Shifat Shaum Nabi SAW karya Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid al- Halabi al- Atsari dan Syaikh Salim bin Ied al- Hilaly]
¨       Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang muslim itu cukup dengan namanya. Bila ia lupa menyebut (nama Allah) ketika menyembelih, hendaknya ia menyebut nama Allah sebelum makan, kemudian memakannya." (HR Daruquthni dan dalam sanadnya ada seorang perawi yang lemah hafalannya, bernama Muhammad Ibnu Yazid Ibnu Sinad. Ia seorang yang jujur, namun lemah hafalannya), Abdurrazaq juga meriwayatkannya dengan sanad shahih hingga Ibnu Abbas yang mauquf padanya. Ada hadits saksi riwayat Abu Dawud dalam hadits mursalnya dengan lafadz: "Sembelihan orang muslim adalah halal, ia menyebut nama Allah atau tidak." Para perawinya dapat dipercaya. Kesimpulan yang dapat diambil dari tiga hadits ini adalah secara makna dapat dihukumi sebagai hadits hasan, atau paling tidak hasan lighoirihi, dengan asumsi pada hadits pertama adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lemah hafalannya, tetapi jujur dan haditsnya diperkuat oleh hadits bersanad shahih mauquf  yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq serta hadis mursal yang diriwayatkan oleh perawi-perawi tsiqah,
Sehingga dari hadits-hadits diatas dapat diambil suatu kesimpulan hukum bahwa apabila seseorang lupa menyebut nama Allah ketika menyembelih, maka sembelihannya sah dan halal. Adapun untuk mereka yang dengan sengaja tidak menyebut nama Allah ketika menyembelih, maka saya pribadi dengan keterbatasan ilmu yang saya miliki, belum berani membuat kesimpulan hukum.
2.   Syarat alat untuk menyembelih
a.     Tajam dan bisa memotong
b.     Bukan alat yang terbuat dari kuku, gigi dan tulang dengan dalil yang telah berlalu dalam pembahasan diatas.
3.   Syarat hewan yang disembelih
a.     Termasuk hewan yang halal untuk disembelih.
-      Terpotong pada bagian leher yang harus dipotong pad sembelihan normal. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menyebutkan bahwa penyembelihan yang sesuai syariat itu ada tiga keadaan (dinukil dari Shalatul idain karya Syaikh Sa’id Wahf Al Qahthani):
-      Terputusnya tenggorokan, kerongkongan, dan dua urat leher. Ini adalah keadaan yang terbaik. Jika terputus empat hal ini maka sembelihannya halal menurut semua ulama.
-      Terputusnya tenggorokan, kerongkongan, dan salah satu urat leher. Sembelihannya benar, halal, dan boleh dimakan, meskipun keadaan ini derajatnya di bawah kondisi yang pertama.
-      Terputusnya tenggorokan dan kerongkongan saja, tanpa dua urat leher. Sebagian ulama berpendapat bahwa sembelihannya halal. Ini merupakan pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini. Dalilnya adalah sabda Nabi SAW, ”Apa yang dapat menumpahkan darah dengan diiringi sebutan nama Allah, maka makanlah. Selain gigi dan kuku. Sebab gigi adalah tulang dan kuku adalah pisau bangsa Habasyah (Ethiopia)” (HR: Bukhari, Muslim, Ibnu Majjah No. 3.187, at- Tirmidzi No. 1491 dan Bulughul Marom No. 1367).
Apabila ketiga syarat tersebut diatas telah terpenuhi, maka suatu sembelihan dikatakan sah dan dagingnya halal untuk dimakan, maka apabila terjadi 2 kali atau lebih sembelihan terhadap hewan maka para ulama’ membaginya menjadi 3 kemungkinan:
1.   Jika terjadi sembelihan 2 kali disebabkan keadaan darurat, seperti pisau terlepas secara tidak sengaja, maka sembelihan itu sah secara Ijma’ dengan sebagian ulama’ mensyaratkan ketika dilakukan sembelihan kali kedua hewan masih dalam keadaan hayat mustaqirrah.
2.   Jika terjadi sembelihan dua kali tanpa sebab darurat dan sembelihan kedua dilakukan sejurus (segera) setelahnya, maka terdapat khilaf dikalangan ahlul ilmi, namun yang kuat untuk masalah ini adalah sembelihan tersebut sah dan halal.
3.   Jika terjadi sembelihan dua kali karena hewan yang disembelih tersebut lepas dan masih kuat maka terdapat perselisihan dikalangan ulama. namun yang kuat menurut kami adalah sembelihan tersebut sah dan halal jika diyakini bahwa hewan tersebut merupakan sembelihan yang terlepas, dan yang mendasari pendapat kami adalah keumuman hadits  Nabi SAW, ”Apa yang dapat menumpahkan darah dengan diiringi sebutan nama Allah, maka makanlah. Selain gigi dan kuku. Sebab gigi adalah tulang dan kuku adalah pisau bangsa Habasyah (Ethiopia)” (HR: Bukhari, Muslim, Ibnu Majjah No. 3.187, at- Tirmidzi No. 1491 dan Bulughul Marom No. 1367).
Maka sebagai seorang muslim, hendaknya kita membangun amalan dan I’tiqod kita berdasarkan dalil bukan berdasarkan prasangka semata, memang berhati-hati terhadap suatu permasalahan sangat dianjurkan namun kita harus memilah-milah pada perkara mana hal tersebut pantas kita lakukan dan pada hal mana tidak kita lakukan. Jangan sampai kita tergolong sebagai orang-orang yang menghalalkan perkara yang haram ataupun mengharamkan perkara yang halal berdasarkan prasangka semata, yang dapat menyebabkan kita terjatuh pada perkara ghulluw dalam beragama.
Sebagai penutup kami nukilkan beberapa riwayat yang mungkin dapat sedikit merubah cara pandang kita terhadap pendalilan:
1.   Dari Sahabat Abdullah bin Abbas r.a (Ibnu Abbas): Rasulullah SAW bersabda: “Jauhkanlah diri kalian dari sikap ghulluw (berlebih-lebihan) dalam beragama, karena sesungguhnya sikap ghulluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian” (HR. Ahmad Juz 1 hal. 215 dan 347, an- Nasa’I Juz. Hal 268, Ibnu Majjah No. 3029, Ibnu Khuzaimah No. 2867).
2.   “Dari Abu Tsalabah al- Kasyani r.a: Rasulullah SAW bersabda:”Sesunguhnya Allah telah mewajibkan kewajiban-kewajiban Nya maka janganlah kamu mempersempitnya dan Dia juga telah menentukan ketentuan-ketentuan Nya, maka janganlah kamu melampauinya. Dia telah melarang bagimu berbagai hal, maka janganlah kamu melanggarnya”.
3.   Abdul ‘Aziz bin Al- Muthalib mengatakan dari Ibnu Mas’ud r.a : “Sesungguhnya kamu sekalian jika kamu mengajarkan agama kamu dengan Qiyas, maka kamu akan menghalalkan banyak hal yang diharamkan atas kamu dan mengharamkan banyak hal yang telah dihalalkan atas kamu”
4.   Asy- Sya’bi (seorang Tabi’in) berkata: “Jika kamu ditanya tentang suatu masalah maka janganlah kamu mengqiyaskannya dengan sesuatu yang lain, karena mungkin kamu kan mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram”.
Demikianlah uraian singkat tentang masalah ini, semoga bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian, Wallahu Ta’ala A’lam Bish Showaab akhiiru da’waana ‘anil hamdulillahi rabbil ‘alamiin
Wassalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wa barakaatuh.
Kendari, 06   Shafar 1433 H
31 Desember 2011

Selasa, 11 Oktober 2011

KAIFIAH SHALAWAT KEPADA NABI MUHAMMAD SAW DAN BANTAHAN ILMIAH KEPADA YANG MENYELISIHINYA

Dalam khutbah Jum’at beberapa waktu yang lalu salah seorang Ustadz dikampung kami membantah pendapat kami tentang berbagai persoalan dien diantaranya adalah tentang masalah Maulid, Rajab dan tentang Penambahan kata Sayyidida pada Rasulullah SAW. Namun yang menjadi sorotan saya pada kesempatan kali ini adalah penambahan kata sayyidina ketika menyebut nama Nabi Muhammad SAW. Mengingat bantahan yang diberikan kepada saya tersebut, terkesan sangat keras, sampai-sampai memberikan peringatan kepada kaum muslimin bahwa paham yang saya berikan berindikasi “SESAT” untuk itu saya menulis risalah singkat ini untuk klarifikasi.
Secara keilmuan, sebenarnya saya belumlah pantas untuk memberikan tanggapan terhadap suatu permasalahan dien, sebab saya bukanlah seorang alumni pesantren yang memiliki banyak ilmu, untuk itu apabila dalam pembahasan saya ini terdapat beberapa kekeliruan atau mungkin kesalahan, maka alangkah baiknya bila antum semua memberikan tanggapan dan koreksinya, melalui e-mail pribadi ana di: wayerharis.haris@gmail.com , insya Allah setiap masukan antum semua, akan ana publikasikan pada koreksi tulisan ini, Insya Allah dengan catatan koreksi antum memiliki nilai Ilmiah, bukan kritik buta yang disebabkan atas ghirah yang berlebihan dan melampaui batas.
Mengenai gaya bahasa yang saya kemukakan dalam tulisan ini, mungkin kurang dapat dipahami sebab ana bukanlah seorang jurnalis ataupun orang yang pernah memenangkan lomba karya tulis ilmiah, jangankan menang ikut saja nggak pernah. Atas ketidaknyamanan antum semua ana mohon maaf dan atas perhatian dan koreksinya ana ucapkan banyak terima kasih
Penulis
Al- Hukm Fillah


Wayer Haris Sauntiri, S.T
A. PENDAHULUAN
Sesungguhnya Allah SWT berfirman didalam kitab Nya yang mulia Q.S. Al- Ahzab : 56
إِنَّ اللهَ وَمَلَا ئِكَتَهُ يُصَلُوْنَ عَلَى النَّبِىْ يَا أَيُّهَا الَّذِ يْنَ آمَنُوْ اصَلُّوْ عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْ تَسْلِيْمًا
Artinya : “Sesungguhnya Allah dan para Malaikat bershalawat kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah alam penghormatan kepadanya”
Saudaraku yang Insya Allah dirahmati Allah SWT, telah maklum bagi kita bahwa ayat yang mulia ini menunjukkan kepada kita tentang disyari’atkannya bershalawat kepada Rasulullah yang mulia. Sehingga sebagai orang yang menyatakan diri sebagai ummat Rasulullah SAW, hendaknya mengambil keutamaan yang terkandung didalamnya, sebagai mana yang akan saya uraikan nanti Insya Allah.
Namun terdapat keanehan dalam pemahaman sebagian masyarakat, dimana mereka memahami ayat ini terlampau jauh, sampai-sampai mengqiyaskan ayat ini dengan kelapa menjadi minyak yang harus melalui tahapan demi tahapan. Sebagai ending dari pemahaman mereka adalah mereka memahami ayat ini dengan bolehnya melakukan perayaan-perayaan bid’ah seperti maulid, Isra’ mi’raj, dan lain-lain, dengan berladaskan Qiyas Shalawat dengan Maulid dan kawan-kawan, suatu pemahaman yang terlampau jauh sehingga sangat rumit dan menyulitkan. Padahal agama ini bukanlah agama yang sulit dan memberatkan ummatnya.

B. Keutamaan Shalawat
Tentang keutamaan bershalawat kepada Rasulullah SAW, telah terdapat banyak hadits-hadits yang menyebutkan tentangnya. Diantaranya adalah:
1. Hadits No. 1405 dari kitab Riyadush Shalihiin Karya Imam An- Nawawi:
وَعَنْ عَبْدِ اللهِ عَمْرُوْ بْنِ اَلْعَاصْ رضي اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ياقُوْلُ: مَنْ صَلَّ عَلَيَّ صَلَاةً، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرً ا (رواه مسلم)
Artinya : “Dari (Sahabat ‘Abdullah bin Amr Al- Ash r.a: Ia berkata :” Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “ Barang siapa bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali” (HR: Muslim)
2. Hadits dari Sunan an- Nasa’i:
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرَ صَلَوَا تٍ وَخُطَّتْ عَنْهُ عَشَرَ خُطِيْئَاتٍ وَرُفِعَتْ لَهُ عَشْرَ دَرَجَاتٍ
“Barang siapa bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali, dihapuskan baginya 10 kesalahan dan diangkat baginya 10 derajat” ( Ctt: Hadits ini juga diriwayatkan oleh : Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
3. Hadits No. 1406 dari Kitab Riyadush Shalihiin:
وَ عَنِ ابْنِ مَسعُدٍ رضى الله عنه قَالَ: أَنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قَالَ: أَوْلَى النَّاسِ بِى يَوْمَ القِيَامَةِ أَكْثَرُ هُمْ عَلَيَّ صَّلَاةً
“Dari IBnu Mas’ud r.a, Ia berkata: Bahwa rasulullah SAW bersabda: “ Orang yang paling dekat denganku dihari kiayamat adalah orang yang paling banyak bershalawat untukku” (H.R at- Tirmidzi, dengan sanad Hasan)
4. Hadits Ke empat:
وَعَنْ أَوْسِ بْنِ أَوْسٍ رضى الله عنه، قَالَ: قَالَ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسلم: إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَأَكْثِرُوْا عَلَىَّ مِنَ الصَّلَاةِ فِيْهِ، فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوْضَةٌ عَلَىَّ
Dari ‘Aus bin ‘Aus ra: Rasulullah SAW bersabda: “ Sesungguhnya hari yang paling utama adalah hari jum’at, maka perbanyaklah shalawat kepadaku pada hari itu, karena sesungguhnya bacaan shalawat itu akan diperlihatkan kepadaku (Potongan hadits Shahih Riwayat Abu dawud, No. 1407 dari Kitab Riyadush Shalihiin)
5. Hadis ke 5:
وَعَنْ أَبِىْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنْه قَالَ: قَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم: رَعِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِندَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
Dari Abu Hurairah r.a: Rasulullah SAW bersabda: “Celakalah orang-orang yang mendengar namaku disebut, tetapi ia tidak bershalawat kepadaku” (Hadits Hasan Riwayat At- Tirmidzi, No. 1408 dari kitab Riyadush Shalihiin)
6. Hadis No 6:
وَعَنْ أَبِىْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنْه قَالَ: قَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم: لَاتَجْعَلُوْا قَبْرِى عِيْدًا، وَصَلُّوْا عَلَىَّ، فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِىْ حَيْثُ كُنْتُمْ
Dari Abu Hurairah ra: Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian menjadikan kuburku sebagai tempat perayaan, tetapi bershalawatlah untukku, karena sesungguhnya bacaan shalawat mu akan sampai kepadaku dimanapun kalian berada “ (Hadits Shahih Riwayat Abu dawud, No. 1409 dari kitab Riyadush Shalihiin).
7. Hadits No. 7
وَعَنْ عَلِيُّ رضى الله عنه قَالَ: قَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم: الْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ،فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
Dari Ali bin Abi Thalib r.a: Rasulullah SAW bersabda: “ yang dikatakan orang yang kikir adalah orang yang apabila namaku disebutkan disisinya, ia tidak beshalawat kepadaku” (Hadits Hasan Shahih Riwayat At- Tirmidzi, No. 1411 dari kitab Riyadush Shalihiin)
8. Hadits No. 8
Dari Fadhalah bin Ubaid r.a : Rasulullah SAW bersabda :” Apabila salah seorang diantara kalian berdo’a hendaklah ia memulai dengan memuji dan menyanjung Tuhannya Yang Maha Suci, lalu membaca Shalawat untuk Nabi SAW dan setelah itu berdo’alah sekehendaknya” (Hadits Hasan Shahih Riwayat at- Tirmidzi, No. 1412 dari kitab Riyadush Shalihiin)
C. Kaifiah/ tatacara Shalawat kepada Nabi SAW
Sesungguhnya dalam bershalawat kepada Rasulullah SAW, tentunya kita harus mengikuti apa-apa yang telah diajarkan oleh beliau SAW, sebab beliau tentunya tidak akan mengajarkan kepada ummatnya tatacara yang tidak tepat, karena beliau tidaklah bicara dengan hawa nafsunya, tetapi berdasarkan wahyu yang diwahyukan, dan sebagai umatnya kita harus meyakini bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah SAW.
Setelah melakukan pengkajian mendalam terhadap beberapa kitab hadits, saya menemukan beberapa kaifiah/ tatacara dalam bershalawat kepada Rasulullah SAW, yang diantaranya adalah sbb:
1. Hadits No. 1413 dari kitab Riyadush Shalihiin dan No. 214 dari kitab Mukhtashor (Ringkasan) Shahih Bukhari Muslim.
وَعَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْزَةَ رضى الله عنهما قَالَ: خَرَجَ عَلَيْنَا النَّبِيِّ صلي الله عليه وسلم، فَقُلْنَا* يَا رَسُوْلَ اللهِ قَدْ عَلِمْنَا كَيْفَ نُسَلِّمُ عَلَيْكَ، فَكَيْفَ نُصَلِّى عَلَيْكَ ؟ قَالَ: قُوْلُوْا: اللّٰهُمَّ صَلِّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اللّٰهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَرَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ (متفق عليه)
“Dari Ka’bi bin ‘Ujzah r.a: Ia berkata: “Nabi dating kepada kami, kemudian kami bertanya: “Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui cara mengucapkan salam kepadamu. Tetapi bagaimanakah cara bershalawat kepadamu?. Maka beliau (Nabi) SAW bersabda: “Ucapkanlah Allahumma Sholli ‘alaa Muhammad wa ‘ala aali Muhammad, kamaa Shollaita ‘alaa aali Ibrohim, innaka Hamidum Majiid, Allahumma barik ‘alaa Muhammad, wa ‘alaa aali Muhammad kamaa barokta ‘alaa aali Ibrohim Innaka Hamidum Majiid” (H.R. Bukhari No. 3119, 4423 dan 5880, Muslim No. 614, Tirmidzi No. 445, An- Nasa’I No. 1270, 1271 dan 1272, Abu Dawud No. 830, Ibnu Majjah No. 894, Ahmad dalam Musnadnya Juz. 4 Halaman 241, 243, dan 244 serta Ad- Darami No. 1308)
2. Hadits No. 1414 dari Kitab Riyadush Shalihiin.
وَعَنْ أَبِى مَسْعُوْدٍ رضى الله عنهما قَالَ: أَتَانَا رسول اللّه صلي الله عليه وسلم وَنَحْنُ فِى مَجْلِسِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةً رضى الله عنهما، فَقَالَ لَهٗ بَشِيْرُ بْنُ شَعْدٍ: أَمَرَنَا اللهُ تَعَالَى أَنْ نُصَلِّيَ عَلَيْكَ يَارَسُوْلَ اللهُ، فَكَيْفَ نُصَلِّى عَلَيْكَ؟. فَساكَتَ رسول اللّه صلي الله عليه وسلم قُوْلُوْا: اللّٰهُمَّ صَلِّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اللّٰهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَرَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَ السَّلَامُ كَمَا قَدْ عَلِمْتُمْ
“ Dari Abu Mas’ud r.a: dia berkata: “Rasulullah SAW mendatangi kami disaat sedang berada di majelis Sa’ad bin Ubadah r.a. lalu Basyir bin Sa’ad r.a bertanya kepada beliau: “Allah telah memerinyahkan kami bershalawat kepadamu, maka bagaimanakah cara bershalawat kepadamu ?. Rasulullah SAW terdiam, lalu beliau berkata: “ Ucapkanlah: “Ucapkanlah Allahumma Sholli ‘alaa Muhammad wa ‘ala aali Muhammad, kamaa Shollaita ‘alaa aali Ibrohim, innaka Hamidum Majiid, Allahumma barik ‘alaa Muhammad, wa ‘alaa aali Muhammad kamaa barokta ‘alaa aali Ibrohim Innaka Hamidum Majiid. Adapun cara mengucapkan salam kepadaku adalah sebagaimana yang telah kalian ketahui. (H.R. Muslim No. 405)
3. Hadits NO. 1415 dari Kitab Riyadush Shalihiin, No. 215 dari Kitab Mukhtashor Shahih Bukhari Muslim
وَعَنْ أَبِى حُمَيْدٍ السَّا عِدِيِّ رضى الله عنهما قَالَ: قَالُوْا: يَارسول اللّه كَيْفَ نُصَلِّى عَلَيْكَ؟ قَالَ: قُوْلُوْا: اللّهُمَّ صَلِّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَزْوَجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا صَلَيْتَ عَلَ آلِ إِبْرَهِيْمَ، وَبَرِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَزْوَجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
“Dari Abi Humaid As- Sa’di r.a, ia berkata: (Para Sahabat) bertanya (kepada Rasulullah SAW): “Wahai Rasulullah, bagaimanakah cara kami bershalawat kepadamu ?” maka beliau SAW menjawab: “Ucapkanlah: “Allahumma Sholli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa azwajihi wa dzurriyatihi kamaa sholaita ‘alaa aali Ibrohim. Wabarik ‘ala Muhammad ‘alaa aalihi wa azwajihi wa dzurriyatihi kamaa baarokta ‘alaa aali Ibrohim. Innaka Hamiidun Majiid” (H.R. Bukhari No. 3118 dan 5883, Muslim No. 615, an- Nasa’I No. 1277, Abu Dawud No. 831, Ibnu Majah No. 895, Ahmad dalam Musnadnya Juz 5 hal. 424, Malik No. 357; Shahih Mutawatir- Marfu’)
D. Larangan berlebih-lebihan (Ghulluw dan Ithra’) dalam menyanjung Rasulullah SAW.
Dalam diskusi tentang bagaimana bacaan Shalawat dalam Tasyahud dengan beberapa santri yang dimana saya adalah salah seorang yang turut membagikan sedikit ilmu yang saya ketahui, saya sampaikan kepada mereka untuk menghapus tambahan lafadz Sayyidina dalam Shalawat kepada Rasulullah SAW dan kepada nabi Ibrahim AS. Demi mengetahui keadaan tersebut, salah seorang ustadz yang ada dikampung kami, yang konon katanya 18 tahun dipesantren, membantah pendapat kami dan menyatakan wajib hukumnya menambahkan lafadz Sayyidina ketika menyebut nama Nabi SAW. Dengan berdalihkan dengan kisah yang dimuat dalam kitab Ihya’ Ulumuddin. Maka demi menjelaskan masalah tersebut, maka ada baiknya saya akan memaparkan apa yang menjadi dalil dan hujjah yang mendasari pendapat saya tersebut.
1. Hadits Pertama:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الشَّخِّيْرِ، قَالَ: أَنْطَلَقْتُ فِى وَفْدِ بَنِى عَامِرٍ إِلَى رسولُو الله صلى الله عليه وسلم فَقُلْنَا أَنْتَ شَيِّدُنَا. فَقَالَ: الشَّيِدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَلَ. قُلْنَا: وَ اَفْضَلْنَا فَضْلًا وَ أَعْظَمُنَا طَوْلًا. فَقَالَ: قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَوْبَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلَا يَسْتَجرِ يَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ
“Dari Abdullah bin Syikhr r.a: Ia berkata: Aku telah berkunjung bersama utusan Bani Amir menemui Rasulullah SAW, kemudian kami berkata (kepada Rasulullah SAW): “Engkau adalah Sayyid kami, kemudian beliau SAW menjawab: “Sayyid kita adalah Allah Tabaroka Wa Ta’ala, kemudian kami berkata: “Kalau begitu engkau adalah yang paling utama dan memiliki kemuliaan diantara kami”. Kemudian beliau bersabda: “Berkatalah kalian tentangku dengan sebagian atau seluruh ucapan yang pantas untukku dan janganlah kalian terpengaruh oleh Syaithan” (HR. Abu Dawud No. 4806, Bukhari dalam Kitabnya Adabul Mufrad No. 211, Dishahihkan oleh Syaikh Al- Albani dalam kitabnya Al- Miskah al- Mashabih No. 4901 dan Kitab Ishlah al- Mashabih No. 103)
Adapun ucapan yang biasa diucapkan, yang dimaksud oleh Rasulullah SAW adalah ‘Abduhu wa Rosuluhu, hamba Allah dan RasulNya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitabnya al- Musnad Juz 3 hal 153, 241 dan 249, an- Nasa’I dalam kitab ‘Amalul Yaum wal Lailah No. 249 dan 250, Imam al- Lalika’I dalam Kitab Syarh Ushuul I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah No. 2675 dari Sahabat Anas bin Malik r.a berikut:
2. “Dari Anas bin Malik r.a: “Sebagian orang berkata kepada Nabi SAW: “Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik diantara kami dan putra orang yang terbaik diantara kami!, wahai sayyid kami dan putra sayyid kami!” maka seketika Rasulullah SAW bersabda: “Wahai manusia, ucapkanlah tentangku dengan ucapan yang biasa kalian ucapkan!. Janganlah kalian terbujuk oleh syaithan. Aku adalah Muhammad, hamba Allah dan RasulNya. Aku tidak suka kalian menyanjungku melebihi kedudukan yang telah Allah berikan kepadaku”.
3. Menambahkan kata Sayyidina dihadapan nama Rasulullah SAW, menurut Imam Ibnu Qayyim al- Jauziah adalah bentuk ghulluw dan Ithra’ terhadap Rasulullah SAW dan perbuatan tersebuit adalah perbuatan yang dicela oleh Rasulullah SAW, sebagaimana sabda beliau: “Janganlah kalian Ithra’ (Berlebih-lebihan) dalam memujiku sebagai mana kaum Nashrani memuja Isa bin Maryam AS. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah (tentangku) Abduhu wa Rasuluh (HR. Bukhari No. 3445, at- Tirmidzi dalam kitab Mukhtashor Syama’il Muhammadiyah No. 80, Imam Ahmad dalam Kitab Musnadnya Juz 1 hal 23, 24, 47 dan 55 serta Ad- Darimi Juz 2 hal. 320 dari Sahabat Umar bin KLahthab r.a)
4. Dalam Hadits lain dari Sahabat Abdullah bin Abbas ra (Ibnu Abbas): Rasulullah SAW bersabda: “Jauhkanlah diri kalian dari sikap ghulluw (berlebih-lebihan) dalam beragama, karena sesungguhnya sikap ghulluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian” (HR. Ahmad Juz 1 hal. 215 dan 347, an- Nasa’I Juz. Hal 268, Ibnu Majjah No. 3029, Ibnu Khuzaimah No. 2867).
5. Anas bin Malik berkata, "Tak seorang pun yang lebih dicintai oleh para sahabat dari-pada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam. Tetapi, bila mereka melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam (hadir), mereka tidak berdiri untuk beliau. Sebab mereka mengetahui bahwa beliau membenci hal tersebut." (HR. At-Tirmidzi, hadits shahih)
6. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda, "Barangsiapa suka dihormati manusia dengan berdiri, maka hendaknya ia mendiami tempat duduknya di Neraka." (HR. Ahmad, hadits shahih)
7. Menganggap bahwa Nabi SAW, memiliki kedudukan yang lebih mulia dibandingkan hamba Allah yang lain semisal Malaikat dan para Nabi adalah perkara yang dilarang oleh beliau SAW, sebagaimana Sabda beliau SAW:
مَا يانْبَغِى لِعَبْدٍ أَنْ يَقُوْلَ إِنِّى خَيْرُ مِنْ يُوْنُسْ بْنِ مَتَّى
“Tidak pantas bagi seseorang berkata bahwa aku (Muhammad) lebih baik dari pada Yunus bin Matta a.s” (HR. Abu Dawud No. 4669, Imam Ath- Thahawi, Bukhari dan Muslim), ada juga hadits serupa yang bersumber dari jalan Abdullah bin Ja’far yang diriwayatkan oleh Imam Abu dawud No. 4670).
8. Dari Abu Hurairah r.a: Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian mengunggulkan aku atas Musa as. Sesungguhnya manusia akan dibangkitkan setelah kiamat dan aku adalah orang yang pertama siuman. Tiba-tiba Musa as. Memukulkan tangannya berada disisi Arsy. Aku tidak tahu apakah ia termasuk yang terkena kejutan luar biasa, sehingga pingsan dan siuman sebelumku atau yang termasuk dikecualikan Allah, tidak mengalami kejutan luar biasa” (HR. BUkhari, Muslim, Ath- Thahawi, Abu Dawud No. 4671, Hadits ini juga tercantum dalam kitab Mukhtashor al- Ulluw)
Mencintai Rasulullah SAW adalah suatu kewajiban bagi seorang muslim, sehingga tidak sempurna keimana seseorang dihadapan Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Tidak beriman salah seorang diantara kalian sehingga aku lebih dicintai daripada bapaknya, anaknya dan seluruh manusia” (HR. Bukhari)
Bila kita benar-benar mencintai Rasulullah SAW, maka buktikanlah dengan berusaha untuk melakukan apa-apa yang dicintai oleh beliau SAW serta meninggalkan apa-apa yang dibenci oleh beliau SAW.
Bukti kongkrit cinta kepada Rasulullah SAW diantaranya adalah: Firman Allah SWT: “Katakanlah jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku. Niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”
E. Qiyas dalam pandagan Salafush Shalih
a. Hadits Pertama: “Dari Abu Tsalabah al- Kasyani r.a: Rasulullah SAW bersabda:”Sesunguhnya Allah telah mewajibkan kewajiban-kewajiban-Nya mak janganlah kamu mempersenpitnya dan Dia juga telah menentukan ketentuan-ketentuan Nya, maka janganlah kamu melampauinya. Dia telah melarang bagimu berbagai hal, maka janganlah kamu melanggarnya”.
b. Hadits kedua: Abu Hurairah r.a, Ia pernah berkata kepada Ibnu Abbas r.a: “Jika telah sampai suatu hadits kepadamu dari Rasulullah SAW, maka janganlah kalian membuat perumpamaan-perumpamaan bagi hadits tersebut” (HR. Muslim dari Sahabat Samurah bin Jundub r.a).
c. Umar bin Khathab r.a pernah berkata: “Ilmu itu terdiri dari 3, kitab yang berbicara, sunnah yang telah lalu dan aku tidak tahu”
d. Abdul ‘Aziz bin Al- Muthalib mengatakan dari Ibnu Mas’ud: “Sesungguhnya kamu sekalian jika kamu mengajarkan agama kamu dengan Qiyas, maka kamu akan menghalalkan banyak hal yang diharamkan atas kamu dan mengharamkan banyak hal yang telah dihalalkan atas kamu”
e. Imam Al- Auza’I berkata:” Saya pernah mendengar dari Ubadah bin Abu Lubaba dari Ibnu Abbas r.a: “Orang yang mengemukakan pendapatnya tidak didasarkan dari kitab Allah dan Sunnah Rasulullah SAW, maka sesungguhnya ia tidak mengetahui atas dasar apa ia menentukan hal itu ketika ia bertemu dengan Allah Azza wa Jalla”
f. Abu Hanifah (Imam Hanafi) berkata:”Saya mendengar dari Mujahid (ulama’ besar dikalangan Tabi’in), bahwa Umar bin Khathab r.a telah melarang Qiyas”
g. Al- Atsram berkata:”Abu Bakar bin Abu Syaibah menceritakan, Ja’far bin Ghiyats menceritakan dari Ayahnya dari Mujahid, ia berkata : “Umar berkata: ”Hati-hatilah kalian dengan perumpamaan (Qiyas)”.
h. Muhammad bin Sirrin (Seorang Tabi’in) berkata:” Qiyas itu adalah kesialan dan orang yang pertama kali mengqiyaskan adalah Iblis dan ia binasa dan sesungguhnya matahari dan bulan itu disembah dikarenakan qiyas-qiyas tersebut”.
i. Ibnu Abi Hatim (Juru Tulis Imam Bukhori) mengatakan :” Muhammad bin Isma’il al- Ahmasi menceritakan: Wahhab bin Ismail menceritakan dari Dawud al- Ajdi, ia berkata: Asy- Sya’bi (seorang Tabi’in) berkata kepadaku: Jagalah 5 perkara yang memiliki kejelasan. Diantaranya adalah (Yang kedua): “Jika kamu ditanya tentang suatu masalah maka janganlah kamu mengqiyaskannya dengan sesuatu yang lain, karena mungkin kamu kan mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram”.
j. Imam Ath- Thahawi berkata : Yusuf mansur bin Yazid al- Qarathisi menceritakan Sa’ad bin Mansyur menceritakan dari Al- Mughirah bin Muqsim dari Asy- Sya’bi ia berkata:” Sunnah itu tidak diciptakan dari qiyas-qiyas.” Kemudian beliau berkata lagi “Sesungguhnya kamu skalian akan binasa pada saat kamu meninggalkan atsar-atsar (Hadits) dan mengambil qiyas-qiyas”
k. Al- Khalal berkata: “Abu Bakar al- Maruzi berkata: “Aku mendengar Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali) mengingkari sahabat-sahabatnya mempergunakan qiyas dan ia berbicara tentang ,asalah ini dengan keras”.
l. Muhammad bin Haqqan mengatakan aku mendengar dari Ibnu al- Mubarok diakhir sebuah pertemuan. Kami berkata kepadanya: “berilah kami nasihat”. Ia berkata: “Janganlah kalian menjadikan Ra’yu sebagai imam”.
F. Kitab Ihya’ Ulumuddin dalam pandangan Ulama’
Kitab Ihya’ Ulumuddin adalah salah satu maha karya salah seorang Imam besar dari mahdzab Syafi’iyah, yakni Imam Abu Hamid al- Ghazali (Imam al- Ghozali). Kitab ini sangat terkenal, namun sangat disayangkan kitab ini memiliki banyak kesalahan dan kekeliruan, sebab ketika menulis kitab ini keadaan imam al- Ghazali Rahimahullah belum memiliki akidah yang kuat, perbendaharaan beliau akan ilmu hadits tidaklah banyak, serta ketika menulis kitab ini, Imam al- Ghazali tengah meneliti dan mendalani kitab Ikhwanish Shafa karya Ibnu Sina yang oleh para ulama’ disebut sebagai kitab yang sangat membahayakan aqidah disebabkan isinya banyak memuat filsafat Yunani kono yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai tauhid kepada Allah SWT.
Berikut adalah beberapa penilaian Ulama’ terhadap kitab Ihya’ Ulumuddin:
a. Imam ath- Thurthusi (Lahir tahun 520 H); beliau berkata: “ Ketika al- Ghazali menulis kitab Ihya’, ia berbicara tentang ilmu-ilmu dan tingkatan kaum sufi. Padahal dia tidak banyak mengetahui dan memamahaminya dengan baik. Beliau memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan atas nama Rasulullah SAW. Saya tidak mendapati satu kitabpun dimuka bumi ini, sepanjang pengetahuanku, yang paling banyak kedustaannya atas nama Rasulullah SAW selain kitab itu. Kitab tersebut banyak dipengaruhi oleh kitab Rasa’il Ikhwanish Shafa yang merupakan perpaduan antara filsafat Yunani dengan Filsafat Islam”
b. Imam Abu Bakar Ibnul ‘Arobi (Lahir tahun 543 H); beliau adalah murid utama dari Imam Al- Ghazali. Tehadap guru dan kitab Ihya’ Ulumuddin, beliau berkata dalam kitabnya Syahrul ‘Asma’il Husna: “Syaikh kami Abu Hamid al- Ghazali (Imam Al- Ghazali) Rahimahullah terperangkap pada perut filsafat dan nyaris terjatuh didalamnya. Seandainya beliau bukanlah orang yang muhlis, niscaya ia akan binasa. Beliau memenuhi kitab Ihya’nya dengan hadits- hadits palsu”
c. Imam An- Nawawi (Lahir tahun 676 H): ketika ditanyakan kepada beliau tentang shalat Rogho’ib pada jum’at pertama dibulan Raajab apakah Sunnah ataukah Bid’ah? Maka beliau menjawab: “Itu adalah bid’ah yang buruk dan diingkari dengan pengingkaran yang sangat keras. Janganlah kalian tertipu oleh banyaknya orang yang melakukan amalan tersebut dan tidak pula karena ia disebutkan dalam kitab Kuutul Qulub atau Ihya’ Ulumuddin.
d. Imam Adz-Dzahabiy (748 H), dalam kitabnya Siyar Alamin NUbala’ Juz 19 hal 329, ia berkata: “Didalam kitab Ihya’ banyak terdapat hadits yang batil. Selain itu juga terdapat kebaikan-kebaikan padanya”.
e. Imam Ibnu Katsir (774 H) dalam kitabnya Bidayah wal An- Nihayah Juz 12 Halaman 174 ia berkata:”Ia (Al- Ghazali) menulis kitab Ihya’ Ulumuddin, yang merupakan kitab yang mengherankan, kitab ini telah bercampur dengan sesuatu yang halus dari ajaran filsafat (Yunani) dan amalan-amalan hati akan tetapi didalamnya terdapat hadits-hadits aneh, mungkar dan palsu”.
f. Ibnu Syakr, berkata Imam Al- Ghazali pernah berkata kepadanya bahwa perbendaharaannya tentang ilmu hadits adalah sangat sedikit.
g. Al- hafidz al- Iraqy, beliau telah menulis sebanyak tiga kitab yang isinya berupa Takhrij dan Tahqiq terhadap sanad dan matan Hadits dalam kitab Ihya’ Ulumuddin dan beliau menemukan sebanyak 943 Hadits dalam kitab Ihya’ Ulumuddin adalah Hadits yang tidak ada asal-usulnya atau dengan kata lain terdapat 943 hadits palsu.
h. Al- Hafidz Ibnu Hajar al- Asqalaniy telah menulis kitab al- Istidrak ‘ala Takhrijul Ihya’ yang menjelaskan hadits-hadits mungkar dalam kitab Ihya’ yang terlewat pembahasan oleh alhafidz Al- Iraqy.
i. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, didalam kitabnya Al- Istiqomah berkata tentang Imam al- Ghazali:” Walaupun terdapat banyak celaan dan kritikan terhadabnya serta kitabnya Ihya’ Ulumuddin karena banyaknya kesalahan-kesalahan yang terdapat didalamnya yang memang perlu dijelaskan kepada ummat, namun diakhir hayatnya beliau kembali kepada kebenaran dan sunnah dan mendalami kitab as- Shahihain (Bukhari Muslim) bahkan ketika wafat, kitab Shahih Bukhari masih berada dipangkuannya”
G. Khatimah
Sebagai penutup pembahasan kali ini saya, tegaskan bahwa bershalawat kepada Rasulullah SAW, adalah perkara yang disyari’atkan, namun perlu dipahami bahwa dalam bershalawat kepada beliau SAW, haruslah mengikuti kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh sang pembuat syari’at, yakni Allah SWT dan Rasul Nya Muhammad SAW, karena sebaik apapun perkataan manusia, tidaklah sebaik perkataan Rasulullah SAW, karena tidak ada seorang manusiapun dimuka bumi yang terbebas dari dosa dan kesalahan, selain Rasulullah SAW. Sehingga pantaslah salah seorang Imam kaum Muslimin, Imam Malik Rahimahullah mengatakan siapapun perkataannya bisa diterima atau ditolak, kecuali penghuni makam ini” beliau mengatakan hal ini sambil menunjuk makam Rasulullah SAW.
Ingatlah, perkara yang baik menurut persangkaan kita, belumlah baik menurut syari’at, sebab apabila kita menganggap baik suatu amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, maka sesungguhnya kita telah membuat syari’at baru yang tidak diizinkan oleh Allah SWT, sebagaaimana perkataan Imam Asy- Syafi’I Raahimahullah: “Man Istahna Faqod Syaro’a”. Barangsiapa yang menganggap baik suatu amalan (yang tidak pernah dicontohkan) maka sesungguhnya ia telah membuat syari’at baru.
Terkadang kita menemukan sebagian dari saudara-saudara kita yang sangat taqlid terhadap pendapat Ustadz atau Kiainya, tanpa pernah melakukan tabayyun terhadap perkataan mereka. Keadaan ini mungkin sangat dipengaruhi oleh pendapat Syaikh Nawawi Banten yang mewajibkan taqlid terhadap salah satu imam dari Imam mahdzab, mungkin ini adalah salah satu kekeliruan terbesar beliau, dengan tanpa mengurangi sedikitpun rasa hormat kami terhadap jasa-jasa beliau dalam mengembangkan dakwah islam, namun sekali lagi bahwa tidak ada satupun dimuka bumi ini yang terbebas dari kesalahan selain Rasulullah SAW, maka hal ini pula pasti tidak luput dari pribadi Syaikh Nawawi Banten Rahimahullah.
Pendapat Syaikh Nawawi Banten, yang mewajibkan Taqlid terhadap salah satu Imam Mahdzab adalah sebuah kekeliruan, sebab bertentangan dengan pendapat Imam Mahdzabnya sendiri, yakni Imam Asy- Syafi’I rahimahullah, dimana Imam Asy- Syafi’I Rahimahullah pernah berkata : “
a. "Setiap orang harus bermadzhab kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mengikutinya. Apa pun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku katakan itu berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tetapi ternyata berlawanan dengan pendapatku, apa yang disabdakan oleh Rasulullah itulah yang menjadi pendapatku "
b. "Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa orang yang secara jelas telah mengetahui suatu hadits dari Rasulullah tidak halal meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang "
c. "Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan Hadits Rasulullah, peganglah Hadits Rasulullah itu dan tinggalkan pendapatku itu "
d. "Bila suatu Hadits shahih, itulah madzhabku "
e. "Engkau [ ] lebih tahu tentang Hadits dan para rawinya daripada aku. Apabila suatu Hadits itu shahih, beritahukanlah kepadaku biar di mana pun orangnya, apakah di Kuffah, Bashrah, atau Syam, sampai aku pergi menemuinya"
f. "Bila suatu masalah ada Haditsnya yang sah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menurut kalangan ahli Hadits, tetapi pendapatku menyalahinya, pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati "
g. "Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang ternyata menyalahi Hadits Nabi yang shahih, ketahuilah bahwa hal itu berarti pendapatku tidak berguna "
h. "Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Hadits Nabi lebih utama dan kalian jangan bertaqlid kepadaku "
i. "Setiap Hadits yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, berarti itulah pendapatku, sekalipun kalian tidak mendengarnya sendiri dari aku "
Demikianlah pendapat ima Asy- Syafi’i Rahimahullah tentang taqlid, sehingga apabila anda memang merasa perlu taqlid terhadap ajaran mahdzab beliau, maka tidak bertaqlid terhadap pendapat salah satu ulama’ saja adalah salah satu pendapat dalam mahdzab beliau Rahimahullah.
Demikianlah tulisan ini kami buat, apabila ada kesalahan dan kekurangannya semata bersumber dari kami pribadi, semoga Allah SWT, senantiasa memberikan petunjuk kepada kami, demi kesempurnaan tulisan ini dimasa yang akan datang, dan apabila ada benarnya, semoga Allah SWT menjadikan tulisan sebagai ladang pahala yang tiada putusnya, amiin ya Rabbal ‘alamiin.
Mulai ditulis di Desa Sarimulyo Kecamatan Kabangka dan Selesai di Kendari tanggal 3 Dzulqaidah 1432 H bertepatan dengan 30 September 2011M

Minggu, 25 September 2011

Koleksi_Font_01

Assalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Berawal dari bingungnya diri sendiri ketika kehilangan koleksi font yang telah didownload semenjak tahun 2007, yang disebabkan oleh rusaknya media penyimpanan Portable (Flash Disk) serta data yang kami titipkan komputer milik salah satu Kampuspun hilang karena diformat, maka atas dasar hal tersebut, maka kami berinisiatif untuk menyimpannya di beberapa lokasi penyimpanan data online. Dan untuk memudahkan proses pengunduhan nantinya, maka kami berinisiatif untuk memaketkan beberapa font dalam satu kesatuan archive agar mudah mengambilnya kembali dikemudian hari. Bagi yang berminat untuk mendownload koleksi font tersebut, kami persilahkan bagi anda untuk mengunduhnya. Adapun syarat dan ketentuan bagi masing-masing font, silahkan merujuk pada masing-masing situs penyedia font tersebut. Adapun password dari masing-masing koleksi font adalah : 12472
Koleksi_Font_01.zip
Koleksi_Font_2.zip

Salam hangat,
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi Wabarakatuh