Rabu, 27 Maret 2013

Perbedaan Antara Adat Dan Ibadah

Sebagian orang kurang memahami perbedaan antara ibadah dan adat sehingga rancu dalam memahami kaidah para ulama. Kaidah yang dimaksud adalah,

    “hukum asal adat atau muamalah itu boleh sampai ada dalil yang melarang, sedangkan untuk perkara ibadah, hukum asalnya haram sampai ada dalil yang mendukungnya“

Karena kurang paham akan hal ini, jadi ada yang seenaknya memasukkan suatu amalan yang sebenarnya berisi ibadah pada masalah adat, sampai ia mengatakan, “Kenapa dilarang? Kan asalnya boleh?”

Beda antara Adat dan Ibadah

    Ibadah kembali pada penjagaan agama dan ingin meraih pahala di sisi Allah seperti iman dan shalat. Adat kembali pada penjagaan diri, harta atau kehormatan seperti jual beli dan makanan.
    Ibadah adalah hak Allah yang harus ditunaikan oleh hamba seperti disebutkan dalam hadits Mu’adz, “Hak Allah yang harus ditunaikan oleh hamba adalah hendaklah mereka menyembah Allah dan tidak berbuat syirik pada-Nya dengan sesuatu pun” (Muttafaqun ‘alaih). Adapun adat adalah hak hamba yang mengandung maslahat bagi mereka.
    Ibadah dibangun di atas tawqif (dalil) dan dicukupkan apa yang ada dalam dalil. Sedangkan adat terdapat kebebasan untuk melakukannya selama tidak ada dalil yang melarang.
    Ibadah tidak mungkin bagi akal memikirkan maksudnya, seperti kita tidak perlu bertanya mengapa shalat Zhuhur empat raka’at. Sedangkan adat ditunjukkan oleh akal manakah yang maslahat. (Diringkas dari penjelasan Syaikh Dr. Muhammad bin Husain Al Jizaniy dinukil dari Multaqo Ahlil Hadits)

Kaidah Penting

Setelah kita memahami perbedaan antara adat dan ibadah, maka ada Kaidah yang perlu diperhatikan yang disebutkan oleh para ulama. Mereka berkata,

كل تقرب إلى الله بفعل شيء من العادات أو المعاملات من وجه لم يعتبره الشارع فهو بدعة

“Setiap pendekatan diri pada Allah dengan melakukan perkara adat atau muamalah dengan cara yang tidak dianggap oleh syari’at, maka ia termasuk bid’ah”.

Kaidah ini di antaranya disebutkan oleh Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom.

Contoh penerapan kaidah di atas:

    Menjadikan memakai pakaian shuf (wol) sebagai bentuk pendekatan diri pada Allah seperti yang dilakukan kalangan sufiyah.
    Menjadikan diam (tidak berbicara) selamanya, enggan makan daging (vegetarian) atau enggan minum air, begitu pula berdiri di terik matahari tanpa mau mengambil tempat untuk berteduh, semua ini dilakukan dalam rangka ibadah (pendekatan diri pada Allah).

Kaidah di atas berlaku untuk perkara adat dan muamalat saja yang digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah. Disebut bid’ah karena asalnya tidak ada tuntunan, dan tata caranya tidak diajarkan dalam Islam. Ada juga perkara adat atau muamalat yang secara hakiki termasuk bid’ah karena tidak ada dalilnya secara umum, maupun secara terperinci.

Lihat bahasan di atas dalam Qowa’id Ma’rifatil Bida’ karya Muhammad bin Husain Al Jizaniy, hal. 106-107.

Adat atau Muamalah Diniatkan Ibadah

Ada yang sering bertanya, “Berarti Facebook untuk dakwah itu bid’ah, begitu pula mencari nafkah juga bid’ah jika diniatkan untuk ibadah karena tidak ada dalilnya?” Nah, point berikut ini yang harus dipahami.

Perlu diketahui bahwa adat atau muamalah bisa termasuk ibadah dan bukan bid’ah ketika memenuhi salah satu dari dua syarat:

    Dilakukan dengan niat yang benar.
    Sebagai wasilah (perantara) dan men-support amalan shalih.

Dalil yang mendukung syarat pertama adalah hadits,

وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ ، إِلاَّ أُجِرْتَ ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ

“Sesungguhnya engkau tidaklah menafkahkan suatu nafkah dalam rangka mengharap wajah Allah melainkan akan diganjar dengan usaha itu sampai pun sesuap makanan yang engkau masukkan dalam mulut istrimu.” (HR. Bukhari no. 6373 dan Muslim no. 1628).

Di sini disebutkan dengan niat ikhlas mengharap pahala di sisi Allah, barulah perbuatan yang asalnya bukan ibadah berbuah pahala.

Dalil bahwasanya perbuatan non-ibadah jika sebagai wasilah (perantara) pada ketaatan atau ibadah dapat bernilai pahala dapat disimpulkan dari firman Allah Ta’ala,

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلَا نَصَبٌ وَلَا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ

“Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh.” (QS. At Taubah: 120). Ayat ini menunjukkan bahwa wasilah (perantara) dan mendukung terwujudnya ketaatan dianggap sebagai ketaataan pula dan bernilai pahala. [Lihat bahasan di atas dalam Qowa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 107]

Sebagai Wasilah (Perantara), Bukan Tujuan

Namun ingat di sini, itu jika perkara non-ibadah dijadikan sebagai sarana dan bukan tujuan. Sehingga tidak tepat berdalil dengan point ini untuk mendukung acara mauludan (peringatan Maulid Nabi) dan acara bid’ah lainnya. Karena mauludansendiri yang dimaksud adalah tujuan, bukan sarana karena yang melakukan mauludan memaksudkan amalan tersebut untuk meraih pahala dengan dibacakan shalawat, dll. Sedangkan jika seseorang menggunakan FB atau HP untuk berdakwah, itu sebagai wasilah (sarana) dan bukan maksud atau tujuan. Jadi sungguh keliru yang serampangan dalam menggunakan Kaidah ini karena tidak paham.

Dua syarat yang telah disebutkan sebelumnya dianggap oleh syari’at. Sehingga tepatlah dalam Kaidah yang kami sebutkan di atas ditambahkan embel-embel, “Setiap pendekatan diri pada Allah dengan melakukan perkara adat atau muamalah dengan cara yang tidak dianggap oleh syari’at, maka ia termasuk bid’ah.” Di antara cara yang tidak dianggap oleh syari’at adalah menjadikan perkara non-ibadah (adat atau muamalat) secara dzatnya sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Inilah yang terjadi di tengah masyarakat kita pada acara yasinan atau tahlilan. Acara ini termasuk adat, namun secara dzat dimaksudkan untuk ibadah. Dan di dalamnya dikhususkan ibadah pula yang tidak dituntunkan. Karena mengkhususkan selamatan kematian dengan surat Yasin atau bacaan tahlil tidak ada dalil pendukungnya.

Ibnu Rajab dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam berkata,

فمن تقرَّب إلى الله بعمل ، لم يجعله الله ورسولُه قربة إلى الله ، فعمله باطلٌ مردودٌ عليه

“Barangsiapa mendekatkan diri pada Allah dengan amalan yang Allah dan Rasul-Nya tidak nilai sebagai ibadah (pendekatan diri pada-Nya), maka amalannya batil dan tertolak.”



Coba renungkan berbagai amalan yang tersebar di tengah masyarakat, apakah termasuk ibadah atau non-ibadah? Contohnya peringatan Maulid, apakah itu non-ibadah? Bukankah -asalnya- acara maulid diadakan untuk cari pahala, bukan untuk cari keuntungan seperti dalam jual beli? Kalau jelas ibadah, lantas mengapa masih membuat rancu dengan mengatakan maulid Nabi itu perkara muamalat (sehingga sah-sah saja diperingati) dan bukan ibadah padahal di dalamnya terdapat shalawatan, yang tentu itu dimaksud untuk mendapatkan pahala di sisi Allah?

Semoga jadi renungan, hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Diselesaikan selepas shalat Fajar di Mabna 27, Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA

Rabu, 18 Rabi’ul Awwal 1434 H



Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di muslim.or.id dengan menyertakan muslim.or.id sebagai sumber artikel


Dari artikel 'Perbedaan Antara Adat Dan Ibadah — Muslim.Or.Id'

Selasa, 26 Maret 2013

LARANGAN HIDUP MEMBUJANG

Artikel almanhaj.or.id http://almanhaj.or.id
Oleh: Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

Arti tabattul (membujang), Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: "Tabattul di sini ialah menjauhkan diri dari wanita dan tidak menikah karena ingin terus beribadah kepada Allah."[1]

Hadits-hadits yang melarang hidup membujang cukup banyak, di antaranya:

1. Hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dari Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak hal itu pada ‘Utsman bin Mazh’un. Seandainya beliau membolehkan kepadanya untuk hidup membujang, niscaya kami membujang."[2]

2. Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan: "Aku mengatakan: 'Wahai Rasulullah, aku adalah seorang pemuda dan aku takut memberatkan diriku, sedangkan aku tidak mempunyai sesuatu untuk menikahi wanita.' Tetapi beliau mendiamkanku. Kemudian aku mengatakan seperti itu lagi kepada beliau, tapi beliau mendiamkanku. Kemudian aku mengatakan seperti itu lagi, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Wahai Abu Hurairah, pena telah kering dengan apa yang engkau temui (alami); mengebirilah atau tinggal-kan.'"[3]

Syaikh Mushthafa al-‘Adawi berkata -mengomentari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: "Mengebirilah atau tinggalkan"-: "Ini seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ

‘Maka barangsiapa yang (ingin) beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang (ingin) kafir biarlah ia kafir.' [Al-Kahfi/18: 29]

Dan ayat ini bukannya membolehkan kekafiran."[4]

Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ditemui oleh Sa’id bin Hisyam seraya bertanya kepadanya: "Aku ingin bertanya kepadamu tentang hidup membujang; bagaimana menurutmu?" Ia menjawab: "Jangan lakukan! Bukankah engkau mendengar Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً

‘Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum-mu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan...’ [Ar-Ra’d/13: 38]

Oleh karena itu, janganlah engkau hidup membujang."[5]

Tidak Ada "Kepasturan (Kerahiban)" Dalam Islam.

‘Aisyah Radhiyallahu anhuma menuturkan: “Aku menjenguk Khuwailah binti Hakim bin Umayyah bin Haritsah bin al-Auqash as-Salamiyyah, dan dia adalah isteri 'Utsman bin Mazh'un.” Ia melanjutkan: “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kondisi tubuhnya yang buruk, beliau bertanya kepadaku: ‘Wahai ‘Aisyah, apa yang memperburuk kondisi Khuwailah?’ Aku menjawab: ‘Wahai Rasulullah, ia seorang wanita yang mempunyai suami yang selalu berpuasa di siang hari dan bangun malam (untuk shalat). Ia seperti orang yang tidak mempunyai suami. Oleh karenanya, ia membiarkan dirinya dan menyia-nyiakannya.’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan kepada ‘Utsman bin Mazh’un (agar ia datang menghadap). Ketika dia datang kepada beliau, maka beliau bertanya: ‘Wahai ‘Utsman, apakah engkau membenci Sunnahku?’ Ia menjawab: ‘Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, bahkan Sunnahmu yang aku cari.’ Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya aku tidur, shalat, puasa, berbuka, dan menikahi beberapa orang wanita; maka bertakwalah kepada Allah wahai ‘Utsman, karena isterimu mempunyai hak atasmu, tamumu mempunyai hak atasmu, dan dirimu mempunyai hak atasmu. Oleh karenanya, berpuasalah dan berbukalah, shalatlah dan tidurlah.'"[6]
Asy-Sya’bi meriwayatkan: Ka’ab bin Sur pernah duduk di sisi ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, lalu seorang wanita datang seraya berkata: "Wahai Amirul Mukminin, aku tidak melihat seorang pun yang lebih baik daripada suamiku. Demi Allah, dia senantiasa beribadah pada malam harinya dan senantiasa berpuasa pada siang harinya." Mendengar hal itu ‘Umar memohonkan ampunan untuknya dan memujinya, tetapi wanita ini merasa malu dan beranjak pulang. Ka’ab berkata: "Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau membantu wanita ini (mendapatkan hak) atas suaminya. Sebab, dia telah menyampaikan keluhannya kepadamu." ‘Umar berkata kepada Ka’ab: "Putuskanlah perkara di antara keduanya, karena engkau memahami urusan apa yang tidak aku fahami." Ia mengatakan: "Aku melihat sepertinya dia seorang wanita bersama tiga isteri lainnya, dan ia keempatnya. Oleh karenanya, aku memutuskan tiga hari tiga malam di mana dia (pria ini) beribadah di dalamnya, dan untuknya (wanita ini) sehari semalam." ‘Umar berkata: "Demi Allah, pendapatmu yang pertama tidak lebih mengagumkan dari-pada yang terakhir. Pergilah! Engkau menjadi qadhi (hakim) atas Bashrah. Sebaik-baik qadhi adalah dirimu."[7]

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Wahai ‘Abdullah, benarkah apa yang aku dengar bahwa engkau selalu berpuasa di siang hari dan mengerjakan shalat malam?" Aku menjawab: "Benar, wahai Rasulullah." Beliau bersabda: "Jangan engkau lakukan! Berpuasa dan berbukalah, bangun dan tidurlah, karena tubuh mempunyai hak atasmu, kedua matamu mempunyai hak atasmu, isterimu mempunyai hak atasmu, dan tamumu mempunyai hak atasmu. Cukuplah engkau berpuasa tiga hari dalam sebulan, karena engkau akan mendapatkan pada setiap kebajikan sepuluh kali lipatnya. Jadi, itu seperti puasa sepanjang masa." Ketika aku bersikeras, maka aku sendiri yang akhirnya kesulitan. Aku mengatakan: "Wahai Rasulullah, aku masih memiliki kesanggupan." Beliau bersabda: "Kalau begitu berpuasalah dengan puasa Dawud Alaihissallam dan jangan menambahnya." Aku bertanya: "Bagaimana puasa Nabi Allah Dawud Alaihissallam?" Beliau menjawab: "Separuh masa." ‘Abdullah berkata setelah tua: "Duhai sekiranya aku menerima keringanan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam."[8]

Al-Marwazi mengatakan: Abu ‘Abdillah -yakni Ahmad bin Hanbal- berkata: "Hidup membujang sama sekali bukan dari ajaran Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi 14 isteri, dan beliau wafat meninggalkan sembilan isteri. Seandainya Basyar bin al-Harits menikah, niscaya urusannya menjadi sempurna. Seandainya manusia tidak menikah, niscaya tidak ada peperangan, tidak ada haji, dan tidak ada begini dan begitu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah, sedangkan mereka tidak memiliki apa-apa, dan beliau wafat meninggalkan 9 isteri serta memilih menikah dan menganjurkan akan hal itu. Beliau melarang hidup membujang. Barangsiapa yang membenci Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia berada di atas selain kebenaran. Ya’qub, dalam kesedihannya, masih menikah dan mendapatkan anak. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Dimasukkan ke dalam hatiku kecintaan kepada para wanita."[9]

Aku mengatakan kepadanya, diceritakan dari Ibrahim bin Ad-ham bahwa dia mengatakan: "Sungguh, rasa takut seorang laki-laki yang menanggung beban keluarga yang berat..." Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, tiba-tiba dia (memotongnya serta) berteriak kepadaku dan mengatakan: 'Kita terperangkap di jalan-jalan yang sempit.' Lihatlah -semoga Allah menyelamatkanmu- apa yang dilakukan oleh Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya." Kemudian dia mengatakan: "Sungguh tangisan anak di hadapan ayahnya karena meminta roti kepadanya, itu lebih baik daripada demikian dan demikian. Bagaimana mungkin ahli ibadah yang membujang bisa menyamai orang yang menikah?"[10]

Syubhat:

Makna Tabattul Dalam Al-Qur-an.
Syaikh Muhammad bin Isma’il berkata: Di antara hal yang patut untuk disebutkan bahwa al-Qur-an memerintahkan tabattul dalam firman-Nya:
وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا

“Sebutlah Nama Rabb-mu, dan bertabattullah (beribadahlah) kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” [Al-Muzzammil/73: 8].

Makna ayat ini adalah perintah agar menggunakan seluruh waktunya untuk Allah dengan ibadah yang ikhlas.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (men-jalankan) agama yang lurus...” [Al-Bayyinah/98: 5].

Sementara ada larangan tabattul dalam Sunnah. Dan yang dimaksud dengannya ialah memutuskan hubungan dari manusia dan komunitas, menempuh jalan kependetaan untuk meninggalkan pernikahan, dan menjadi pendeta di tempat-tempat sembahyang. Jadi, tabattul diperintahkan dalam al-Qur-an dan dilarang dalam Sunnah. Kaitan perintah berbeda dengan kaitan larangan; maka keduanya tidak kontradiktif. Dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah diutus untuk menjelaskan kepada manusia tentang apa yang diturunkan kepada mereka.

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]

______
Footnote
[1]. HR. Muslim, Syarh an-Nawawi (III/549).
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 5074) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1402) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1086) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3212) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1848) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 1517).
Faidah: Apakah boleh mengebiri binatang? Kalangan yang membolehkan mengebiri binatang berargumen dengan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau menyembelih dua domba yang dikebiri. Mereka berkata: “Seandainya mengebiri hewan yang dapat dimakan itu diharamkan, niscaya beliau tidak menyembelih domba yang dikebiri sama sekali.” Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni (VIII/ 625): “Mengebiri hewan diperbolehkan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih dua domba yang dikebiri.” Al-waj' ialah menghancurkan kedua buah zakar, dan apa yang dipotong kedua zakarnya, atau dicabut, maka ia seperti dikekang, karena semakna. Karena mengebiri adalah menghilangkan bagian yang tidak sedap sehingga membuat dagingnya sedap dengan hilangnya bagian itu dapat memperbanyak dan menggemukkan. Asy-Sya’bi berkata: "Apa yang bertambah pada daging dan lemaknya lebih banyak daripada yang hilang darinya. Demikianlah pendapat al-Hasan, ‘Atha’, asy-Sya’bi, an-Nakha'i, Malik dan asy-Syafi'i, dan saya tidak melihat perselisiahan di dalamnya.

[3]. HR. Al-Bukhari (no. 5076) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1404) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 3642) lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7832).
[4]. Jaami’ Ahkaamin an-Nisaa’, al-‘Adawi (III/20).
[5]. HR. At-Tirmidzi (no. 1982) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1849) kitab an-Nikaah, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Ibni Majah (no. 1499).
[6]. HR. Ahmad (no. 25776), yang di dalamnya terdapat ‘Abdullah bin Sa’id, ia adalah shaduq, dan para perawi lainnya adalah tsiqat, Abu Dawud (no. 1369) kitab ash-Shalaah.
[7]. Majmuu’ al-Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXIV/85), al-Mughni (VII/30), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwaa' (VII/80).
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 1975) kitab ash-Shaum, Muslim (no. 1159) kitab ash-Shaum, at-Tirmidzi (no. 770) kitab ash-Shaum, an-Nasa-i (no. 1630) kitab ash-Shaum, Ibnu Majah (no. 1712) kitab ash-Shaum, Ahmad (no. 6441), ad-Darimi (no. 1752).
[9]. HR. An-Nasa-i (VII/61) dalam ‘Isyratun Nisaa', bab Hubbun Nisaa', Ahmad (III/128), al-Hakim (II/160) dan ia menilainya sebagai hadits shahih sesuai syarat Muslim, dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Al-Hafizh al-‘Iraqi menilai sanadnya baik, dan Ibnu Hajar menilainya sebagai hadits hasan.
[10]. Raudhatul Muhibbiin (hal. 214).