Senin, 25 Mei 2015

Studi Kritis Shalat dengan gerakan dan bacaan cepat



Studi Kritis Shalat dengan gerakan dan bacaan cepat

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Dalam qiyam Ramadhan (shalat tarawih dan witir), kita dapati sebagian saudara-saudara kita yang shalat dengan bacaan dan gerakan yang cepat. Maka demi menjelaskan berbagai subhat terkait masalah ini, dengan sedikit ilmu yang kami miliki, kami akan mencoba membahas permasalahan ini dan semoga Allah  memberikan kepada kami kemudahan untuk menjelaskan subhat-subhat terkait masalah ini, Insya Allah.....
Saudaraku yang dimuliakan Allah.......
Permasalahan pertama : Bagaimanakah seharusnya kita membaca Surat al- Fatihah dan surat lainnya di dalam sholat.
Allah  memerintahkan kepada kaum muslimin untuk membaca al- Qur’an dengan tartil sebagaimana firman Nya:
...... وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلا (٤)
“Dan bacalah Al Quran itu dengan tartil.” (QS. Az- Zumar ayat 4)
Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam menjelaskan bahwa kedudukan seseorang itu di akhirat berada pada akhir ayat yang ia baca dengan tartil di dunia  sebagaimana sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam:
يُقْالُ لِصَاحِبِ الْقُر آنَ إِقْرَ أْ وَارْتَقِ، وَرَتِّلْ كَمَا تَرْتِلُ فِيْ الدُّنْيَا؛ فَإِنَّكَ مَنْزِ لَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُ وْهَا
“Dikatakan kepada ahli Qur’an: “Bacalah sambil naik keatas, bacakanlah dengan tartil sebagaimana engkau membacanya di dunia. Karena sesungguhnya kedudukanmu pada akhir ayat yang engkau baca (dengan tartil)” (HR, Abu Dawud, at- Tirmidzi, Ibnu Nashr, Ahmad, Baihaqy dan al- Hakim; Dishahihkan olehnya)
Bagaimanakah cara Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam membaca Surat al- Fatihah dan Surat lain nya di dalam shalat:
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam membaca surat al- Fatihah se ayat demi se ayat sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
ثُمَّ يَقْرَأُ {الْفَاتحَةَ}، وَيَقْطَعُهَا أٓيَةً أٓيَةً
“Kemudian beliau membaca surat al- Fatihah dan membacanya ayat per ayat” (HR. Abu Dawud, as- Sahmi, dan al- Hakim)
Dari Ummu Salamah Radiyallahu 'anha (Salah seorang Istri Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam)
أَنها سئلت عن قر اعة رسول الله ا فوالت: كان يقطع فر اءته آية آية
Beliau ditanya tentang bacaan Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam -sewaktu shalat-? Beliau menjawab: "Beliau Shalallahu 'alaihi wasallam membaca ayat-ayat al-qur'an dan berhenti pada tiap-tiap ayat" (HR. Ahmad, Abu Daud, Baihaqi, at- Tirmidzi, ad- Daruquthni. Imam Hakim mengatakan Hadits ini Shahih menurut Syarat Imam Muslim dan disetujui oleh Imam adz- Dzahabi)
Sebagai dalil pendukung/penguat bahwa Surat al- Fatihah dalam sholat, harus di baca ayat-per ayat adalah adanya sebuah hadits Qudsi, yang meyebutkan bahwa Allah membagi surat al- Fatihah dalam shalat menjadi dua bagian, dan pada setiap ayat yang dibaca, langsung di jawab oleh Allah , sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِىْ وَبَيْنَ عَبْدِي: نِصْفَيْنِ فَنِصْفُهَا لِى وَنِصْفُهَا لِعَبْدِيْ. وَلِعَبْدِىْ مَاسَأَلَ. وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ :  إِقْرَؤُوْ الْعَبْدُ: اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ، يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَ: حَمَدَنِيْ عَبْدِى: وَيَقُوْلُ الْعَبْدُ: الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، وَقُوْلُ اللهُ تَعَالَ: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِ. وَيَقُوْلُ الْعَبْدُ: مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ،يَقُلُ اللهِ تَعَالَ: مَجَدَنِى عَبْدِيْ: وَيَقُوْلُ الْعَبْدُ: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ اِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ، [قَالَ]: فَهَذِهِ بَيْنِى وَبيْنَ عَبْدِ وَلِعَبْدِى مَاسَأَلَ: وَيَقُوْلُ الْعَبْدُ: إِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ، صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمِ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّيْنَ [قَالَ] فَهَؤُلَاءِ لِعَبْدِيْ، وَلِعَبْدِى مَاسَأَلَ
Dari Ummu Salamah Radiyallahu 'anha; Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: “ Allah berfirman: “Aku membagi shalat antara Aku dengan hamba-Ku menjadi dua bagian. Sebagiannya untuk Ku dan sebagian lagi untuk hamba Ku. Sementara bagian hamba Ku adalah apa yang ia minta. Kemudian Rasulullah a bersabda: “Bacalah oleh kalian, seorang hamba membaca dalam shalatnya ; Alhamdulillahi rabbil ‘alamiin, maka Allah Ta’ala berfirman: “Hamba Ku telah memuji Ku”, kemudian bila hamba membaca :”Arrahmaanirrahiim” maka Allah berfirman: “Hamba-Ku telah menyanjung Ku”. Bila hamba membaca: ”Maalikiyaumiddin” maka Allah Ta’ala berfirman: “Hamba-Ku telah memuliakan-Ku”. Seorang hamba membaca: “Iyyaka na’budu waiyyaka nasta’in” [Allah Ta’ala berfirman]: “Hal ini adalah bagian antara Aku dengan hamba-Ku dan baginya apa yang ia minta”. Seorang hamba membaca: “Ihdinash shirothol mustaqiim, Shirotholladziina an’amta ‘alayhim Ghoiril Maghdhubi ‘alaihim waladh dholliin: [Allah Ta’ala berfirman]: “Semua itu adalah bagian milik hamba-Ku dan baginya apa yang ia minta” (HR. Abu Dawud No. 821, Muslim, Abu ‘Awanah dan Malik; Juga terdapat hadits saksi (penguat) yang bersumber dari Sahabat Jabir Radiyallahu 'anhu  yang diriwayatkan oleh As- Sahmi dalam kitab Tarikh Jurjan No. 144)
Dari ayat dan hadits2 tersebut kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa:
1.    Mentartilkan bacaan al- Qur’an merupakan perkara yang diperintahkan Allah  juga merupakan hal yang dicontohkan oleh Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, sehingga sebagai Hamba Allah dan Ummat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, wajib bagi kita untuk mentartilkan bacaan al- Qur’an baik dalam shalat maupun di luar sholat, dimana penetapan hukum ini dapat diterima dengan hujjah sebagai berikut:
-         Berdasarkan kaidah Ushul /pokoh Fiqh, disebutkan bahwa hukum asal dari perintah adalah wajib selama tidak ada dalil yang menyelisihinya, dan dikarenakan tidak adanya dalil yang menyelisihinya, maka Tsabit/tetaplah hukum kewajiban mentartilkan bacaan al-qur’an.
-         Mencontoh apa yang di amalkan oleh Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam (terkecuali yang dikhususkan oleh Allah pada beliau Shalallahu 'alaihi wasallam; Seperti bolehnya bagi Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam menikahi lebih dari 4 istri), merupakan bukti cinta kita kepada Allah dan Rasul Nya, sebagaimana yang disebutkan dalam dalil-dalil berikut:
a.    Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
وخير الهدي  هدي محمد صلي الله عليه وسلم
“Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shalallahu 'alaihi wasalla” (HR. Muslim, at- Tirmidzi dan an- Nasa’i)
b.    Firman Allah :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٣١)
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al- Imran: 31)
-         Menghentikan bacaan al-Qur’an (Surat al- Fatihah) dimasing-masing ayat dalam sholat, bermakna memberikan “kesempatan” bagi Allah untuk menjawab bacaan ayat surat al- fatihah yang kita baca. Sehingga sangat tidak pantas bagi seorang hamba yang merebut “kesempatan” yang menjadi milik Allah.
-         Dari dalil dan hujjah diatas dapat diperoleh satu kesimpulan bahwa membaca al-qur’an baik dalam sholat maupun diluar sholat dengan cara cepat/tergesa-gesa adalah perkara yang tidak di syari’atkan bahkan merupakan bentuk kemungkaran yang sangat jelas bila dilihat dari beberapa sisi:
a.    Membaca al- Qur’an dengan cepat dapat mengabaikan ahkam tajwid, dimana dengan mengabaikannya dapat merubah arti dan makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an.
b.    Membaca ayat-ayat al-Qur’an dengan cepat, merupakan bentuk pembangkangan terhadap perintah Allah dan contoh yang diberikan Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, sehingga tidak mungkin seorang yang beriman kepada Allah dan Rasul Nya melakukan hal yang berseberangan dengan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul Nya.
c.    Di dalam shalat, bacaan cepat dapat mempengaruhi sah-tidak nya sholat makmum, terlebih bagi penganut mahdzab Syafi’iyah, yang penjelasan rincinya akan saya paparkan sesaat lagi Insyaa Allah.
Hukum membaca Surat al- Fatihah bagi Makmu menurut Mahdzab Syafi’iyah
Sudah menjadi Ijma’ dikalangan Mahdzab Syafi’iyah, bahwa hukum membaca Surat al- Fatihah adalah wajib bagi setiap al- Musholliin (orang yang sholat) sehingga tidak sah sholat orang yang tidak membacanya, baik itu sholatnya sebagai Imam, Makmum atau Munfarid (sholat sendirian) pada sholat jahriyah maupun sirriyyah.
Yang menjadi pertanyaan, dimanakah tempat bagi makmum untuk membaca surat al- Fatihah, bila imam sholat membaca surat al- Fatihah dan ayat/surat lain dengan cara cepat/ tergesa-gesa. Terhadap pertanyaan ini, ada 3 kemungkinan dan ketiga kemungkinan tersebut tidak ada yang selamat dari bantahan. Ketiga kemungkinan tersebut dan bantahannya adalah sebagai berikut:
a.    Membaca Surat al- Fatihah bersamaan dengan imam, yakni ketika imam membaca Alhamdulillahi robbil ‘alamin, maka makmum mengikuti nya dengan membaca Alhamdulillahi robbil ‘alamin dan seterusnya. Tetapi cara seperti ini memiliki beberapa mafsadat diantaranya:
-         Makmum akan luput dari membaca Aamiin, ketika Imam membaca Ghoiril Maghdhubi ‘alaihim waladh dholliin, sebab ia akan fokus untuk menyelesaikan bacaan al- Fatihahnya, sementara membaca Aamin setelah imam mengucapkan Ghoiril Maghdhubi ‘alaihim waladh dholliin memiliki keutamaan diantaranya: Hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda yang maknanya: “Barang siapa yang mengucapkan Amin setelah Imam mengucapkan Ghoiril Maghdhubi ‘alaihim waladh dholliin bersamaan dengan ucapan amin para malaikat dilangit, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Imam Malik, Bukhari, Abu Dawud, Nasa’i, Baihaqy dan Imam Ahmad)
-         Terdapat larangan dari Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, bahwa tidak boleh membaca al- Qur’an bersamaan dengan bacaan imam sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Suatu hari tatkala selesai sholat jahriyah – dalam riwayat lain –shalat shubuh beliau a bertanya:
هَلْ قَرَأَ مَعِىْ مِنْكُمْ أَحَدٌ؟. فَقَالَ رَجُلٌ: نَعَمْ، أَنَا يَارَسُوْلُ الله. فَقَالَ: إِنِّىْ أَقُوْلُ: مَالِى أُنَارَعُ؟
“Apakah ada diantara kalian yang membaca bersamaku tadi?. Salah seorang laki-laki menjawab: “Benar Ya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, akulah orangnya”. Maka beliau Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Mengapa (bacaan) saya dibarengi dengan bacaan?” (HR. Imam Malik, at- Tirmidzi dan Abu dawud dll). Ctt: Secara dzahir kata-kata “Mengapa (bacaan) saya dibarengi dengan bacaan?” dalam hadits diatas adalah sebuah kalimat pertanyaan, namun yang benar makna dari pertanyaan tersebut adalah bermakna larangan ikut membaca bersama bacaan imam.
b.    Makmum membaca surat al- Fatihah, ketika imam diam sejenak antara bacaan surat al- Fatihah dengan surat atau ayat-ayat al- Qur’an. Namun keadaan seperti ini tidak akan ada pada shalat dengan bacaan cepat sebab ketika Makmum belum seluruhnya selesai membaca Amiin, imam sudah mulai membaca surat atau ayat-ayat al- Qur’an.
c.    Makmum membaca surat al- Fatihah ketika Imam, membaca surat/ayat al- Qur’an setelah imam membaca surat al- Fatihah. Dimana keadaan ini adalah keadaan yang paling memungkinkan bagi makmum bila Imam membaca ayat/surat yang agak panjang (setidaknya sepanjang surat al- Fatihah), yang menjadi permasalahan adalah bagaimana bila imam hanya membaca ayat Salamun Qoula min-robil rohiim wam tazul yauma ayyuhal mujrimuun atau bahkan hanya Alif Lam Mim, atau Alif Lam Min Shod dan yang semisalnya dapatkah makmum menyelesaikan bacaan al- fatihahnya ??, jawabnya adalah tidak mungkin walaupun dengan cara membaca dengan cepat apatah lagi bila bacaan tersebut dilakukan dengan tartil.
Sehingga dari pembahasan diatas dapat dipahami bahwa membaca surat al-Fatihah dan surat lain dengan cara cepat di dalam sholat, jelas-jelas memiliki mafsadat/ kerusakan menurut Mahdzab Syafi’iyah dari sisi kewajiban membaca Surotul Fatihah bagi makmum, dan menyelisihi seluruh mahdzab dalam hal kaifiah membaca Al- Fatihah dan surat/ayat al- Qur’an dari sisi ke tartilan nya. Sehingga tidak selayaknya seorang muslim mengambil pendapat yang menyelisihi al- Kitab dan as- Sunnah dalam beramal dan beribadah kepada Allah .
Bila makmum yang bermahdzb syafi’iyah tidak tahu, bahwa tidak sah shalat makmum yang tidak membaca surat al- Fatihah, maka beban dosanya di tanggung oleh Imam, sebagaiman sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يُصَلُّوْنَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوْا فَلَكُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوْا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ.
"Mereka shalat mengimami kalian. Apabila mereka benar, kalian dan mereka mendapatkan pahala. Apabila mereka keliru, kalian mendapat pahala sedangkan mereka mendapat dosa.” (HR. Al-Bukhari (no. 694) dan Ahmad (II/355, 537))
Tanbih
Pendapat yang benar mengenai tata cara membaca Surat al- Fatihah dalam shalat berjama’ah bagi makmum adalah: Ketika Imam Membaca dengan Jahr (keras) seperti pada shalat Subuh, Rakaat pertama dan kedua pada shalat Maghrib dan Isya’ serta shalat-shalat sunnah yang imam membaca dengan jahr (keras) maka makmum wajib untuk diam (tidak membaca) dan apabila imam membaca dengan sirr (pelan) maka makmum wajib membaca surat al- fatihah. Dan pendapat ini merupakan pendapat Imam Malik dan Sebagian Riwayat Imam Ahmad dan merupakan pendapat pertengahan dari dua pendapat yang berseberangan, yakni Imam Hanafi yang memutlak kan bagi makmum untuk tidak membaca surat al- fatihah baik pada shalat jahriyah maupun sirriyyah, sementara di sisi lain Mahdzab Syafi’iyyah mewajibkan bagi makmum membaca surat al- fatihah secara mutlak, baik pada shalat jahriyyah maupun sirriyah. Adapun dalil-dalil yang menjadi pendukung pendapat masing-masing dapat pembaca lihat pada tulisan kami sebelumnya yakni Petunjuk Shalat Praktis Shalat Sesuai Tuntunan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam maupun Kitab Ashlu Sifatish Sholat Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, karya al- Imam al- Muhaddits Syaikh Muh. Nashirudin al- Albany Rahimahullah.
Hukum Shalat dengan Gerakan Cepat
Dalam sebuah hadits, Nabi a bersabda:
صَلُّوْا كَمَ رَ أَيْتُمُوْنِىْ أُصَلِّىْ
 "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat." (HR. Al-Bukhari).
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi a memerintahkan kepada ummatnya untuk shalat sebagaimana tata cara shalat yang beliau a kerjakan, baik dari segi tata cara membaca maupun gerak-gerik dalam shalat beliau Shalallahu 'alaihi wasallam.
Saudaraku yang dimuliakan Allah......Bagaimanakah Cara Shalat nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, bila di tinjau dari cepat tidaknya dalam berpindah dari satu rukun ke rukun lainnya. Berikut uraiannya:
Dalam shalat kita diperintahkan untuk menyempurnakan Ruku’ dan sujud, dan menyempurnakan ruku’ dan sujud adalah salah satu dari bentuk thuma’ninah dalam sholat, sebagaimana disebutkandalam hadits-hadits berikut:
ثُمَّ يُكَبِّرُ وَيَركَعُ وَيَضَعْ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ حَتَّى تَطْمَئِنَ مَفَاصِلُهُ وَتَسْتَرْخِى.
“Setelah itu beliau bertakbir dan ruku’, dengan meletakkan kedua telapak tangannya diatas kedua lututnya sehingga seluruh tulang belakangnya lurus (Thuma’ninah)” HR. Abu Dawud, Nasa’i dan al- Hakim dishahihkan olehnya dan adz- Dzahabiy).
Dari Abu Mas’ud al- Badri Radiyallahu 'anhu, Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لَاتُجْزِ ئُ صَلَاةُ الرَّجُلِ حَتَّى يُقِيْمَ ظَهْرَهُ فِيْ الرُّكُوْعِ وَ السُّجُوْدِ.
“Tidak sempurna shalat seseorang sampai ia meluruskan punggungnya ketika ruku’ dan sujud” (HR. Abu dawud No. 855)
لَايَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ إِلَى صَلَاةِ عَبْدٍ لَا يُقِيْمُ صَلْبَهُ بَيْنَ رُكُوْعِهَا وَ سُجُوْدِهَا
“Allah tidak akan melihat kepada shalat seorang hamba yang tidak menegakkan tulang punggungnya antara ruku’ dan sujud” (HR. Imam Ahmad dan Thabraniy; Isnad Shahih)
Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِ يْ يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ. فَقَالُوْا: يَارَسوْلَ اللهِ! وَ كَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ؟. قَالَ: لَا يَتِمُّ رُكُوْ عَهَا وَ سُجُوْدَهَا.
“Sejahat-jahat pencuri adalah seseorang yang mencuri dalam sholatnya” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah! Bagaimana seseorang yang mencuri dalam sholatnya??.Nabi a bersabda: “Orang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya” (HR. Al- Hakim, Baihaqy, Thabrani dan Ibnu Hibban dari Sahabat Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِبْلٍ قَالَ: نَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ: عَنْ نَقْرَةِ الْغُرَابِ وَفْتِرَاشِ السَّبْعِ ....
“Dari Abdurrohman bin Syiblin ia berkata: “Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam melarang mengerjakan shalat seperti burung gagak mematuk (sujud tanpa thuma’ninah).” (HR. Abu Dawud No. 862)
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa tatkala Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam melihat seseorang yang shalat dengan gerakan yang cepat (tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya), maka beliau Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لَوْ مَاتَ هَذَا عَلَى حَالِحِ هَذِهِ؛ مَاتَ عَلَى غَيْرِ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ  
“Seandainya ia mati dalam keadaan demikian, maka sesungguhnya ia mati diluar agama Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam” (HR. At- Thohawi, Abu Ya’la dengan Sanad Abu Shalih dari Abu Abdullah al- As’ary, juga Amr bin Al- Ash, Khalid bin Walid dan Syarahbil bin Hasanah)
Dari dalil-dalil diatas dapat dipahami bahwa shalat dengan gerakan cepat (tanpa tuma’ninah) tidak sah secara Ijma’, sebab Tidak sempurna shalat seseorang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujud dan maksud kata tidak sempurna di sini bermakna tidak sahnya sholat yang tidak menyempurnaka ruku’ dan sujud, dimana penghukuman tidak sah ini diperkuat oleh hadits-hadits selanjutnya,
yakni Allah tidak akan memandang orang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, dan makna Allah tidak memandang adalah sholatnya tidak berpahala/dengan kata lain tidak sah.
Tidak menyempurnakan ruku’ dan sujud adalah tindakan mencuri dalam shalat, sementara mencuri adalah salah satu kemaksiatan yang besar apatah lagi kemaksiatan tersebut dilakukan pada perkara yang menjadi pembeda/pemisah antara seorang muslim dengan kekufuran, yakni sholat.
Apa bila seseorang yang mati dalam keadaan sholat dengan gerakan cepat, maka yang bersangkutan dinyatakan oleh Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam matinya diluar agama Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam, hadits ini semakin memperjelas dan mempertegas tidak sahnya sholat seseorang yang dilakukan dengan cepat, Wallahul a’lam.
Terkait masalah ini, ada satu subhat yang pernah kami dengar dari salah seorang tokoh agama di desa tetanga, bahwa Seseorang yang shalat dengan gerakan cepat/tergesa-gesa, menunjukkan takutnya seorang hamba kepada Allah , maka subhat ini kami bantah denga beberapa hadits berikut:
Abu Hurairah Radhiallahu anhu menceritakan: Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam biasa mengerjakan shalat malam hingga membengkak kedua telapak kakinya. Ada yang bertanya kepada beliau: "Wahai Rasulullah, mengapa Anda melakukan sedemikian itu, bukankah Allah telah mengampuni segala dosa Anda yang lalu maupun yang akan datang?" beliau menjawab: "Bukankah selayaknya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?" (HR. Ibnu Majah).
Al-Aswad bin Yazid berkata: "Aku pernah bertanya kepada 'Aisyah Radhiallaahu anha tentang shalat malam Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam. 'Aisyah menjawab: "Biasanya beliau tidur di awal malam, kemudian tengah malamnya beliau bangun mengerjakan shalat malam. Bila merasa ada keperluan beliau segera menemui istri. Beliau segera bangkit begitu mendengar seruan azan. Beliau segera mandi bila dalam keadaan junub. Jika tidak, maka beliau segera berwudhu' lalu berangkat (ke masjid untuk) shalat." (HR. Al-Bukhari)
Shalat malam beliau sangat mengagumkan, ada baiknya kita ketahui panjang ayat yang dibacanya. Semoga dapat kita jadikan contoh dan teladan.
Abu Abdillah Hudzaifah ibnul Yaman Radhiallaahu anhu mengisahkan: Pada suatu malam, aku pernah shalat tahajjud bersama Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam . Beliau mengawali shalat dengan membaca surat Al-Baqarah, saya berkata di dalam hati, "Mungkin setelah membaca kira-kira seratus ayat, ternyata beliau terus tidak berhenti, saya berkata lagi di dalam hati, "Mungkin, beliau selesaikan pembacaan surat Al-Baqarah. Dalam satu raka'at ternyata beliau terus memulai surat Ali Imron kemudian terus mem-bacanya saya berbicara di dalam hati: (mungkin) beliau mau ruku setelah selesai Ali-Imron, ternyata beliau terus membaca surat An Nisa sampai habis. Beliau membaca surat-surat tersebut dengan bacaan tartil. Setiap kali membaca ayat yang menyebutkan kemahasucian Allah Ta’ala beliau selalu bertasbih (mengucapkan subhanallah). Setiap kali membaca ayat yang berisikan permohonan, beliau pasti berdoa. Setiap kali membaca ayat yang menyebutkan permintaan berlindung diri kepada Allah Ta’ala, beliau segera mengucapkan ta'awwudz. Ketika ruku' beliau membaca: Subhaana Rabbiyal ‘Adzhiim ( "Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung." )
Lama ruku' beliau hampir sama dengan lama ber-diri. Kemudian beliau mengucapkan: Sami’allahuliman hamidah, Rabbana lakal hamdu
"Allah Maha mendengar terhadap hamba yang memuji-Nya. Ya Rabb kami, segala puji bagi-Mu."
Kemudian beliau tegak berdiri (i'tidal), hampir sama lamanya dengan ruku'. Kemudian beliau sujud dan membaca: Subhaana Rabbiyal ‘A’la ( "Maha Suci Rabbku Yang Maha Luhur." )
Lama sujud beliau hampir sama dengan lama i'tidal." (HR. Muslim)
Bila kemudian ada yang mengatakan bahwa shalat tarawih dengan bacaan cepat adalah perkara yang disukai, maka wajib baginya untuk membawakan dalil, sebab perkataan tanpa bukti dalil maka hal tersebut adalah sebuah kedustaan belaka. Sebab perkara ibadah adalah perkara tauqifiyah, yang harus dibangun diatas dalil dan hujjah yang shahih, bukan hanya persangkaan semata. Dan mendahulukan perkataan nabi adalah mutlaq dibanding perkataan siapapun juga, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi’i Rahimahullah:
Saudaraku.... lihatlah beberapa perkataan Imam asy- Syafi’i Rahimahullah, yang menunjukkan bahwa beliau menekankan pada para pengikutnya untuk mengambil hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bila ternyata perkataan beliau menyelisihi hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, diantara perkataan-perkataan beliau adalah sbb:
Ar- Rabie’ (murid Imam asy- Syafi’i) bercerita; Ada seseorang yang bertanya kepada Imam asy- Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian setelah dijawab oleh Imam Syafi’i, kemudian orang itu bertanya: “Bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan marahlah Imam Syafi’i. Beliau kemudian berkata:
أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِى وَ أَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِى إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ
“Langit mana yang akan menaungiku dan bumi mana yang akan aku pijak, bila kumeriwayatkan hadits Rasulullah kemudian aku berpendapat dengan pendapat lain (yang menyelisihi hadits tersebut) (AR. Abu Nu’aim dalam Kitab Hilyatul ‘Aulia).
Beliau juga berkata:
إِذَ وَجَدْتُمْ فِىْ كِتَابِىْ خِلَافَ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ فَقُوْلُوْا بِسُنَّتِ رَسُوْلِ اللهِ وَدَعُوْا مَاقُلْتُ - وَفِى رواية- فَاتَّبِعُوْهَا وَلَا تَلْتَفِتُوْا إِلَى قَوْلِ أَحَدٍ
“Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah (hadits) Nabi a, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku – dan dalam riwayat lain – maka ikutilah sunnah dan jangan pedulikan perkataan orang-orang” (AR. Imam an- Nawawi dalam Kitab Majmu Syarh Muhadzdzab 1:63)
كُلُّ حَدِيْثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِى وَ إِنْلَمْ  تَسْمَعُوْهُ مِنِّىْ.
“Setiap hadits yang di ucapkan oleh Nabi a, maka itulah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku” (Imam adz- Dzahabiy dalam kitab Siyar Alamin Nubala’ 10:35)
كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلَافِ مَا قُلْتُ فَأَنَا رَاجِعٌ عَنْهَا فِىْ حَيَاتِىْ وَبَعْدَ مَوْتِى.
“Setiap permasalahan yang padanya terdapat Hadits shahih menurut ahli Hadits, dan hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku akan mencabut pendapatku tersebut ketika aku masih hidup maupun setelah aku mati” (Abu Nu’aim – Hilyatul ‘Auliya’ 9:107)
إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِيْ وَ إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَضْرِبُوْا بِقَوْلِىْ الْحَائِطَ.
“Bila ada hadits shahih, maka itulah madzhabku, dan kalau ada hadits shahih maka lemparkanlah pendapatku ke balik tembok” (Imam adz- Dzahabiy - Kitab Siyar ‘Alamin Nubala’)
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَ عَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, maka tidak halal baginya meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat seseorang” (Ibnu Qayyim – I’lamul Mawaqi’in 2:282)
Lihatlah saudaraku yang dimuliakan Allah bagaimana takutnya Imam Syafi’i menyelisihi sunnah Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, padahal ia adalah Imam besar dan salah seorang dari 4 imam Mahdzab, tetapi lihatlah diri kita, kita begitu lancang membantah hadits-hadits nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, hanya demi mengikuti pendapat seseorang yang kita tidak tahu apakah perkataannya bisa di terima atau ditolak. Ketahuilah wahai saudaraku
Dalam Qur’an al- Hasyr ayat 7 Allah berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (٧)
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.
CTT: AR Maksudnya adalah Atsar Riwayat yang merupakan riwayat yang bersumber dari Perkataan, Perbuatan dari Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in

Mulai di tulis di Kendari, Jum’at 25 Rajab 1433 H Bertepatan dengan 15 Juni 2012 M
Selesai di tulis di Kendari, Selasa 29 Rajab 1433 H, Bertepatan dengan 19 Juni 2012 M
Dimuroja’ah Kembali hari Selasa, 13 Sya’ban 1433 H bertepatan dengan 3 Juli 2012

Maraji/Referensi:
Al- Qur’anul Karim
Kitab Shifat Sholat Nabi a Karya Syaikh Muh. Nashiruddin al- Albany
Kitab Shahih Bukhari – Karya Imam Bukhari
Kitab Shahih Muslim – Karya Imam Muslim
Kitab Fathul Baary Syarh Shahih Bukhari – Karya Imam al- Hafidz Ibnu Hajar al- Asqalany
Kitab I’lamul Mawaqi’in – Karya al- Imam Ibnu Qayyim al- Jauziah
Kitab Shahih Sunan Abu Dawud – Karya Abu Dawud as- Sijistani (Imam Abu Dawud) Tahqiq Syaikh Muh Nashirudin al- Albany
Kitab Shahih Sunan at- Tirmidzi – Karya Imam Abu Isa at- Tirmidzi (Imam At- Tirmidzi) Tahqiq Syaikh Muh Nashirudin al- Albany
Kitab Shahih Sunan Ibnu Majah – Karya Imam Ibnu Majah Tahqiq Syaikh Muh Nashirudin al- Albany
Terjemahan Kitab Sehari di Kediaman Rasulullah a karya Syaikh Abdul Malik bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Qasim
Buku Panduan Ramadhan – Karya al- Ustadz Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal
Faidah ta’lim Tatacara membaca Surat al- Fatihah dalam Sholat Oleh: al- Ustadz Hasan bi Rosyid, Lc Hafizhohulloh Mudir/Pimpinan Pondok Pesantren Minhajus Sunnah Kendari
Faidah Ta’lim Bacaan dalam Sholat oleh: Oleh: al- Ustadz Hasan bin Rosyid, Lc Hafizhohulloh Mudir/Pimpinan Pondok Pesantren Minhajus Sunnah Kendari
Faidah Ta’lim Hukum Membaca al- Fatihah bagi Makmum Oleh : al- Ustadz Hasan bi Rosyid, Lc Hafizhohulloh Mudir/Pimpinan Pondok Pesantren Minhajus Sunnah Kendari
Faidah Ta’lim al- Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi Hafizhohulloh
Panduan Praktis Sholat Sesuai Tuntunan Sunnah Nabi a Karya Wayer Haris Sauntiri, ST ...Dll.................