Senin, 16 Januari 2012

Petunjuk Shalat Praktis Sesuai Tuntunan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam


Petunjuk Shalat Praktis
Sesuai Tuntunan Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam

Oleh: : Wayer Haris Sauntiri, S.T
Sebelum melanjutkan membaca, download dulu file dan font pendukungnya:
http://www.4shared.com/zip/VESNZLYm/Upload_Tulisan_dan_komponen_pe.html

TATA CARA SHALAT NABI MUHAMMAD Shallallahu 'alaihi wasallam
Segala puji hanya milik Allah semata, shala-wat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada hamba dan utusanNya, yaitu Nabi Muhammad, keluarga dan para shahabatnya. Amma ba`du:
Berikut ini adalah uraian singkat tentang sifat (tata cara) shalat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam. Penulis ingin menyajikannya kepada setiap muslim, baik laki-laki ataupun perempuan, agar siapa saja yang membacanya dapat bersungguh-sungguh dalam mencontoh (berqudwah) kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. di dalam masalah shalat, sebagaimana sabda beliau:
صَلُّوْا كَمَ رَ أَيْتُمُوْنِىْ أُصَلِّىْ
 "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat." (HR. Al-Bukhari).
Kepada para pembaca, berikut ini uraiannya:
1.    Menyempurnakan wudlu;
(Seseorang yang yang hendak melakukan shalat) hendaknya berwudlu sebagaimana yang diperintahkan Allah; sebagai peng-amalan terhadap firmanNya:
"Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak melakukan shalat, maka cucilah muka kalian, kedua tangan kalian hingga siku, dan usaplah kepala kalian, dan (cucilah) kedua kaki kalian hingga kedua mata kaki..." (Al-Ma'idah: 6).
dan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam:
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ
"Tidak diterima shalat tanpa bersuci dan shadaqah dari penipuan." (HR. Muslim ).
Dan sabdanya kepada orang yang tidak betul shalatnya:
إِذَا قُمْتُ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبَغِ الْوُضُوْءَ
"Apabila kamu hendak melakukan shalat, maka sempurnakanlah wudhu". (HR. Bukhari, Muslim, As- Siraj, al- Albany dalam al- Irwa’ No. 289)
2.    Menghadap ke kiblat:
إِذَا قُمْتُ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبَغِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبَلِ الْكَعْبَةَ فَكَبِّرْ
"Apabila kamu hendak melakukan shalat, maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke kiblat (Ka’bah) lalu bertakbirlah". (HR. Bukhari, Muslim, As- Siraj, al- Albany dalam al- Irwa’ No. 289)
Yaitu Ka`bah, di mana saja ia berada dengan seluruh tubuhnya (secara sempurna), sambil berniat di dalam hatinya untuk melakukan shalat sesuai yang ia inginkan, apakah shalat wajib atau shalat sunnah, tanpa mengucapkan niat tersebut dengan lisannya, karena mengucapkan niat dengan lisan itu tidak dibenarkan (oleh syara`), bahkan hal tersebut merupakan perbuatan bid`ah. Sebab Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah melafadzkan niat ataupun memerintahkannya, begitu juga para sahabat. Seandainya niat itu menjadi suatu rukun yang wajib dipenuhi, tentunya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam akan mencontohkan ataupun memerintahkannya. Tetapi yang justru kita temui dalam hadits diatas adalah "Apabila kamu hendak melakukan shalat, maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke kiblat (Ka’bah) lalu bertakbirlah". BUKAN  kemudian menghadaplah ke kiblat (Ka’bah) lalu berniatlah kemudian bertakbirlah. Sehingga dapat dipahami bahwa niat bukanlah sesuatu yang diucapkan tetapi kehendak hati untuk melakukan sesuatu.
Dalam mengerjakan sholat disunnahkan meletakkan sutrah (pembatas) baik sebagai imam atau shalat sendirian karena demikian itu termasuk sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dalilnya adalah:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةِ فَلْيَدْنُ مِنْهَا وَلَا يَقْطَعُ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ
“Apabila salah seorang diantara kalian shalat menghadap kesutroh maka hendaklah ia mendekat kesutrohnya dan jangan sampai ada syaithan yang memutuskan shalatnya” (HR. Abu Dawud, al- Bazzar dan Al- Hakim, dishahihkan olehnya dan disepakati oleh Adz- Dzahabiy)
لَاتُصَلِّ إِلَّا إِلَى سُتْرَةٍ وَلَا تَدْعُ أَحَدًايَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنَّ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْنَ.
“Janganlah engkau shalat kecuali (menghadap) sutroh dan jangan biarkan seorangpun lewat dihadapanmu. Kalau dia enggan (tetap lewat dihadapanmu) maka perangilah ia (halangi sekuat tenaga) karena sesungguhnya ada syaithan yang menyertainya” (HR. Ibnu Khuzaimah dengan sanad Jayyid (Bagus)
Meletakkan sutrah (Pembatas) dalam shalat sangat penting, sebab besarnya dosa yang harus dipikul oleh orang yang lewat didepan orang yang sedang shalat, Rasulullah bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصْلِّيْ مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ ًربَعِيْنَ خَيْرًا لَهُ مِنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
Kalau seandainya orang yang lewat di depan orang yang sedang shalat mengetahui apa yang kan menimpanya (dosanya), niscaya ia akan memilih berdiri selama 40 (tahun) karena hal itu lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yang sedang shalat” (H.R Bukhari, Muslim dan Ibnu Khuzaimah)
Shalat harus menghadap kiblat sebab tidak sah shalat seseorang jika tidak menghadap kiblat kecuali dalam kondisi tertentu yang telah banyak dijelaskan dalam kitab-kitab fikih.
3.    Takbiratul ihram dengan mengangkat ke-dua tangan hingga sejajar dengan pundak atau sejajar telinga sambil mengucap Allahu Akbar
إِنَّهُ لَتَتِمُّ صَلَاةٌ لِأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ حَتَّى يَتَوَضَّأَ فَيَضَعُ الْوُضُوْءَ مَوَا ضِعَهُ ثُمَّ يَقُوْلُ: اللهُ اَكْبَرُ
“Sesungguhnya tidak akan sempurna Shalat seseorang sampai ia berwudhu’ dengan sempurna kemudian mengucapkan: “Allahu Akbar” ” (HR. Thabraniy dengan Sanad Shahih)
Diwajibkan bagi Imam untuk memperdengarkan Takbir
كَانَ يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالْتَكْبِيْرِ حَتَّى يَسْمِعَ مَنْ خَلْفَهَ
“Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mengeraskan suaranya ketika bertakbir sampai terdengar pada orang-orang yang berada dibelakangnya” (HR. Ahmad dan Al- Hakim, di Shahihkan olehnya dan disepakati oleh adz- Dzahabiy)
Bila Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam sakit, maka Abu Bakar lah yang membantu memperdengarkan suara takbir, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
كَانَ إِذَ امَرِضَ رَفَعَ أَبُوْ بَكْرٍ صَوْتَهُ يُبَلِّغُ النَّاسَ تَكْبِرَهُ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Akan tetapi ketika beliau sakit, Abu Bakar lah yang (membantu) memperdengarkan suara takbir Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam agar terdengar kebelakang” (HR. Muslim dan Nasa’i)
4.    Mengarahkan pandangan ke tempat sujud.
Ketika shalat, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menundukkan kepala dan pandangannya tertuju ketempat sujud (HR. Baihaqy dan Al- Hakim di Shahihkan olehnya), Selain itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam melarang mengangkat pandangan ke langit ketika shalat (HR. Bukhari dan Abu Dawud), juga melarang menoleh (Kekanan, kekiri) (HR. At- Tirmidzi dan al- Hakim di Shahihkan Oleh keduanya; Lihat juga Shahih at- Targhiib wat Tarhiib No. 353 karya al- Hafidz al- Mundziri Tahqiq Syaikh Al- Albany)
5.    Mengangkat kedua tangan di saat bertakbir hingga sejajar dengan kedua pundak  atau sejajar dengan kedua telinganya.
Adapun mengangkat kedua tangan, terkadang Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan Takbir (HR. Bukhari dan Nasa’i), terkadang setelah takbir (HR. Bukhari dan Nasa’i) dan terkadang sebelum takbir (HR. Bukhari dan Abu Dawud). Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya terbuka tidak meregangkannya atau menggenggamnya (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, at- Tamam dan Al- Hakim dishahihkan olehnya dan disepakati oleh adz- Dzahabiy). Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam mengangkatnya sejajar pundak (HR. Bukhari dan an- Nasa’i) dan terkadang sejajar daun telinga (HR. Bukhari dan Abu Dawud)
6.    Bersedekap dengan Meletakkan kedua tangan di atas dada-nya,
Dalil bersedekap adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:
إِنَّ مَعْشَرَ الْأَنْبِيَاءِ أُمِرْنَا بِتَعْجِيْلِ فِطْرِنَا، وَتَأْخِرِ سَحُوْرِنَا،وَأَنْ نَضَعَ أَيْمَانَنَا عَلَى شَمَائِلِنَا فِىْ الصَّلَاةِ
“Sesungguhnya kami (para nabi) diperintahkan untuk menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur serta meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri dalam shalat” (HR. Ibnu Hibban dan adh- Dhiya’ al- Maqdisi dengan sanad Shahih)
Beberapa cara bersedekap:
1.    Yaitu dengan meletakkan tangan kanan pada punggung telapak tangan kiri dan terkadang di pergelangan tangan serta dihasta (lengan) (HR. Abu Dawud, an- Nasa’I, dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad Shahih di Shahihkan oleh Ibnu Hibban No. 485),
2.    Menggenggamkan tangan kanan diatas tangan kiri (HR. An- Nasa’I, dan Daruquthni dengan Sanad Shahih)
3.    Dalam besedekap beliau Shallallahu 'alaihi wasallam meletakkannya di dada (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah Dalam Kitab Shahihnya, Ahmad, Abu Syaikh dalam Kitab Tarikh Ashbahan, Imam at- Tirmidzi menghasankan salah satu Sanadnya; Hadits serupa terdapat dalam Kitab al- Muwattha’, Bukhari dan lain-lain)
7.    Disunnahkan membaca do'a istiftah:
Dalam berbagai kitab Hadits terdapat 12 macam bentuk do’a Istiftah namun karena keterbatasan waktu dan tenaga, kami hanya akan membawakan beberapa diantaranya:
1.     اَللّٰهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِ وَ بَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ، اَللّٰهُمَّ نَقِّنِيْ مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ. اَللّٰهُمَّ اغْسِلْنِيْ مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَلْبَرَدِ.
(HR. Bukhari dan Muslim dari Sahabat Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu)
2.    وَجَهْتُ وَجْحِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ سَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ حَنِيْفًا [مُسْلِمًا] وَمَا أَنَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. إِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ. لَاشَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَ أَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ
(HR. Bukhari dan Muslim)
3.   اللهُ اَكْبَرْ كَبِيْرًا، وَ الْحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَّ أَصِيْلًا
(HR. Muslim, Abu ‘Awanah, at- Tirmidzi; diShahihkan olehnya. Juga diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Akhbar Ashbahan)
4.    اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَا رَكًا فَيْهِ
(HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
Karena do'a ini ada dalil shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan diperbolehkan membaca do'a istiftah selain dari yang disebutkan diatas yang penting ada dalil shahihnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Namun yang lebih afdhal (utama) adalah pada suatu saat membaca do`a istiftah yang pertama dan pada saat yang lain membaca yang kedua atau yang lainnya yang ada dalil shahihnya, karena yang demikian itu lebih sempurna dalam ber-ittiba` (mencontoh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam).
8.    Membaca Ta’awudz dan Basmalah
Setelah membaca do’a Istiftah, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam Kemudian membaca:
أَعُوْذُ بِا للّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَ نَفْثِهِ
(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Daruquthni, al- Hakim di Shahihkan olehnya, Ibnu Hibban dan adz- Dzahabiy; Al- Irwa’ No. 432) atau:
أَعُوْذُ بِا للّٰهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
(HR. Abu Dawud dan at- Tirmidzi dengan Sanad Hasan)
Kemudian membaca:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
9.    Membaca Surat al- Fatihah
Dalam membaca surat al- Fatihah dan surat-surat lainnya dalam shalat terkadang beliau Shallallahu 'alaihi wasallam memulainya dengan bacaan Basmalah dengan suara lirih (HR. Bukhari, Muslim, Abu ‘Awanah, ath- Thahawiy dan Imam Ahmad), terkadang dengan suara Jahr (Keras).
CTT: Terkait basmalah dalam Surat al- Fatihah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan Ahlul ‘Ilmi (‘Ulama’) ada yang mengatakan basmalah merupakan bagian surat al- Fatihah ada pula yang mengatakan bukan bagian dari Surat al- Fatihah, namun yang kuat untuk masalah ini adalah Basmalah bukanlah bagian dari Surat al- Fatihah, yang penjelasannya akan saya paparkan sebentar lagi, Insya Allah..
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam membaca Surat al- Fatihah dan Surat lainnya (dalam shalat) seayat demi seayat (berhenti pada tiap-tiap ayat) dengan tidak menyambungnya dengan ayat berikutnya. (HR. Abu Dawud, As- Sahmi, dan Al- Hakim di Shahihkan olehnya dan adz- Dzahabiy; al- Irwa’ no. 343; Juga diriwayatkan  oleh Amr ad- Dany dalam Kitab al- Mukhtafa Juz 5 hal. 2)
Dalam sebuah Hadits Qudsi Allah SWT berfirman:
قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِىْ وَبَيْنَ عَبْدِي: نِصْفَيْنِ فَنِصْفُهَا لِى وَنِصْفُهَا لِعَبْدِيْ. وَلِعَبْدِىْ مَاسَأَلَ. وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ :  إِقْرَؤُوْ الْعَبْدُ: اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ، يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَ: حَمَدَنِيْ عَبْدِى: وَيَقُوْلُ الْعَبْدُ: الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، وَقُوْلُ اللهُ تَعَالَ: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِ. وَيَقُوْلُ الْعَبْدُ: مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ،يَقُلُ اللهِ تَعَالَ: مَجَدَنِى عَبْدِيْ: وَيَقُوْلُ الْعَبْدُ: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ اِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ، [قَالَ]: فَهَذِهِ بَيْنِى وَبصَيْنَ عَبْدِ وَلِعَبْدِى مَاسَأَلَ: وَيَقُوْلُ الْعَبْدُ: إِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ، صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمِ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّيْنَ [قَالَ] فَهَؤُلَاءِ لِعَبْدِيْ، وَلِعَبْدِى مَاسَأَلَ
Dari Ummu Salamah Radiyallahu 'anha; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “ Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: “Aku membagi shalat antara Aku dengan hamba-Ku menjadi dua bagian. Sebagiannya untuk Ku dan sebagian lagi untuk hamba Ku. Sementara bagian hamba Ku adalah apa yang ia minta. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Bacalah oleh kalian, seorang hamba membaca dalam shalatnya ; Alhamdulillahi rabbil ‘alamiin, maka Allah Ta’ala berfirman: “Hamba Ku telah memuji Ku”, kemudian bila hamba membaca :”Arrahmaanirrahiim” maka Allah berfirman: “Hamba-Ku telah menyanjung Ku”. Bila hamba membaca: ”Maalikiyaumiddin” maka Allah Ta’ala berfirman: “Hamba-Ku telah memuliakan-Ku”. Seorang hamba membaca : “Iyyaka na’budu waiyyaka nasta’in” [Allah Ta’ala berfirman]: “Hal ini adalah bagian antara Aku dengan hamba-Ku dan baginya apa yang ia minta”. Seorang hamba membaca: “Ihdinash shirothol mustaqiim, Shirotholladziina an’amta ‘alayhim Ghoiril Maghdhubi ‘alaihim waladh dholliin: [Allah Ta’ala berfirman]: “Semua itu adalah bagian milik hamba-Ku dan baginya apa yang ia minta” (HR. Abu Dawud No. 821, Muslim, Abu ‘Awanah dan Malik; Juga terdapat hadits saksi (penguat) yang bersumber dari Sahabat Jabir Radiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh As- Sahmi dalam kitab Tarikh Jurjan No. 144)
Dari hadits dapat dipahami bahwa Surat al- Fatihah diawali dengan Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin. Wallahu a’lam bish-showaab..
Dan dilanjutkan dengan membaca Surat Al-Fatihah, sebab hukum membaca surat al- Fatihah adalah wajib, tidak sah shalat bila kita tidak membacanya sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Surat Al-Fatihah)” (HR. Bukhari, Muslim, Abu ‘Awanah dan Baihaqy; al- Irwa’ No. 302)
Terkait bacan Surat al- Fatihah bagi Imam dan orang yang shalat Sendirian, sepakat seluruh ‘Ulama’ tentang wajibnya, namun terdapat perbedaan pendapat tentang hukum membaca surat al- Fatihah bagi Makmum, berikut uraiannya:
a.    Pendapat Pertama: Gugur secara mutlak bagi makmum dari membaca surat al- Fatihah baik pada Shalat Jahriah (Imam membaca dengan suara keras) maupun Sirriyah (Imam membaca dengan suara lirih). Pendapat ini merupakan pendapat dari Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi), mereka berpendapat dengan berdalilkan dengan Firman Allah SWT:
وَإِذَاقُرِئَ الْقُرْءَانُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْ لَعَلَكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Dan apabila dibacakan Al Quran, maka diam dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat” (Q.S. al- A’raf : 204)
Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:
إِنَّمَا جُعِلُ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا، وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوْا.
Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti, maka bila ia bertakbir maka bertakbirlah kalian dan bila ia membaca maka diamlah kalian” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud, Abu ‘Awanah, Muslim dan ar- Ruyani; Al- Irwa’ No. 332 dan 334)
Kemudian Hadits:
مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَةٌ الْإِمَامِ قِرَ اءَةٌ
“Barang siapa shalat mengikuti imam, maka bacaan imam adalah bacaan baginya pula” (HR. Ibnu Abi Syaibah, ad- Daruquthni, Ibnu Majah, ath- Thohawy dan Imam Ahmad)
b.    Pendapat Kedua: Wajib bagi makmum membaca surat al- Fatihah baik pada shalat sirriyah maupun jahriyah. Ini merupakan pendapat Mahdzab Syafi’iyah dan sebagian riwayat Imam Ahmad. Mereka yang berpendapat seperti ini berdalilkan dengan :
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Surat Al-Fatihah)” (HR. Bukhari, Muslim, Abu ‘Awanah dan Baihaqy; al- Irwa’ No. 302)
Kemudian Hadits:
تَجْزِئُ صَلَاةٌ يَقْرَأَ الرَّجُلُوْ فِيْهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ.
“Tidak sah shalat yang pelakunya tidak membaca al- Fatihah didalamnya” (HR. Daruquthni, dishahihkan olehnya dan Ibnu Hibban)
c.    Pendapat ketiga: Makmum wajib diam ketika membaca Jahr (Keras) dan Makmum membaca ketika Imam membaca sirr (Pelan). Ini merupakan pendapat Imam Malik dan sebagian Riwayat Imam Ahmad, dimana pendapat ini menyatukan dalil yang menjadi pegangan pendapat pertama dan kedua, dan ini merupakan pendapat yang terkuat diantara pendapat yang ada.
Boleh mencukupkan diri dengan hanya membaca Surat al- Fatihah saja di setiap rakaat (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Kitab Shahihnya No. 1634, Baihaqy dengan Sanad Jayyid (Bagus), Abu Dawud No. 758; asal kisah Riwayat Bukhari Muslim)
10. Membaca Amiin setelah membaca Surat al- Fatihah dan kewajiban Imam menjahrkan bacaan Amiin nya pada Shalat Jahriyah.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam membaca Aamin dengan suara keras dan panjang (Pada Shalat Jahriyyah) (HR. Bukhari dan  Abu Dawud dengan Sanad Shahih)
11. Membaca Surat dalam al- Qur’an setelah mebaca Surat al- Fatihah
Kemudian membaca ayat-ayat Al-Qur'an, dan diutamakan bacaan dalam shalat Zhuhur, Ashar dan Isya' dari surat-surat yang agak panjang, dan pada shalat Shubuh surat-surat yang panjang, sedangkan pada shalat Maghrib surat-surat pendek dan pada suatu saat boleh juga membaca surah yang panjang atau setengah panjang, maksudnya pada shalat Maghrib, sebagaimana yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dan pada shalat Ashar hendaknya membaca surat yang lebih pendek dari pada bacaan shalat dzuhur
Setelah membaca surat al- Fatihah terkadang Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam membaca satu surat (HR. Ibnu Nashr dan ath- Thohawy), Satu surat dibagi 2 rakaat (HR. Ahmad dan Abu Ya’la), Terkadang mengulang Surat yang sama pada rakat kedua (HR. Abu Dawud dan Baihaqy dengan Sanad Shahih) terkadang pula menggabungkan dua surat atau lebih dalam satu rakaat (HR. Bukhari secara Mu’allaq dan Tirmidzi secara Maushul, di Shahihkan olehnya).
Dan diperintahkan untuk mentartilkan serta memperindah bacaan al-qur’an (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, di Shahihkan olehnya)
12. Ruku` sambil bertakbir dan mengangkat kedua tangan hingga sejajar  dengan kedua pun-dak atau kedua telinga,
Setelah membaca Surat al- Fatihah dan surat-suratb lainnya, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam diam sejenak kemudian ruku’ sambil bertakbir dan mengangkat tangan sebagaimana Takbiratul Ihram (HR. Abu Dawud, Nasa’I, al- Hakim dishahihkan olehnya dan adz- Dzahabiy). Kemudian meletakkan kedua telapak tangannya diatas kedua lututnya (HR. Bukhari dan Abu Dawud), ini haditsnya:
ثُمَّ يُكَبِّرُ وَيَركَعُ وَيَضَعْ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ حَتَّى تَطْمَئِنَ مَفَاصِلُهُ وَتَسْتَرْخِى.
“Setelah itu beliau bertakbir dan ruku’, dengan meletakkan kedua telapak tangannya diatas kedua lututnya sehingga seluruh tulang belakangnya lurus (Tuma’ninah)” HR. Abu Dawud, Nasa’I, al- Hakim dishahihkan olehnya dan adz- Dzahabiy).
Belia Shallallahu 'alaihi wasallam mengokohkan kedua telapak tangannya diatas kedua lututnya  (seolah-olah beliau mengenggamnya) (HR. Bukhari dan Abu ‘Awanah). Disamping itu, beliau Shallallahu 'alaihi wasallam merenggangkan jari-jemarinya (HR. Abu Dawud No. 809, Al- Hakim; di Shahihkan Olehnya, Abu Daud ath- Thayalisi  dan adz- Dzahabiy).
إِذَ ارَكْعَتَ فَضَعْ رَا حْتَيْكَ عَلَى رُكْبَتَيْكَ، ثُمَّ فَرِجْ بَيْنَ أَصَابِعِكَ، ثُمَّ امْكَثْ حَتَّى يَأْخُذُ كُلُّ عُدْوٍ مَأْخَذَهُ.
“Bila engkau ruku’ maka letakkanlah kedua telapak tanganmu diatas kedua lututmu dan renggangkanlah jari-jemarimu. Kemudian tetaplah dalam keadaan seperti itu sampai setiap ruas tulang belakang menempati tempatnya” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam menjauhkan kedua sikunya dari kedua sisi tubuhnya (HR. Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah). dan saat ruku’ beliau membentangkan punggungnya dan meluruskannya (HR. Bukhari dan Baihaqy), sampai-sampai seandainya diletakkan air diatasnya niscaya air itu akan tenang (HR. Thabraniy, Abdullah bin Ahmad bin Hambal dan Ibnu Majah)
Ketika ruku’, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak menundukkan kepalanya, tidak pula mengangkatnya (HR. Bukhari dan Abu Dawud), tetapi beliau meletakkannya diantara keduanya (sejajar dengan posisi punggung) (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah), dan beliau Shallallahu 'alaihi wasallam Thuma’ninah dalam ruku’ dan sujud:
أَتِمُّوْ الرُّكُوْعَ وَ السُّجُوْدً
Sempurnakanlah ruku’ dan sujud” (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melarang ruku’ dan sujud dengan cepat (seperti mematuk) dan mengancamnya dengan ancaman: seandainya ia mati dalam keadaan demikian (ruku’ dan sujud dengan cepat), niscaya ia akan mati dalam keadaan diluar agama Muhammad (HR. Abu Ya’la, Al- Jurri, Baihaqy, Thabrany, adh- Dhiya’ al- Maqdisi, Ibnu Asakir. Di Shahihkan oleh Ibnu Khuzaimah).
Kemudian hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:
يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِيْنَ، إِنَّهُ لَاصَلَاةً لِمَنْ لَا تُقِيْمُ صُلْبَهُ فِىْ الرُّكُوْعِ وَ السُّجُوْدِ.
Wahai kaum muslimin, tidak ada shalat bagi orang yang tidak meluruskan tulang punggungnya ketika ruku’ dan sujud” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Majah dan Imam Ahmad: Shahih; Lihat kitab Ash- Shahiihah No 2536). dalam hadits lain disebutkan : “Tidak sah shalat seseorang sampai ia meluruskan punggungnya ketika ruku’ dan sujud” (HR. Abu ‘Awanah, Abu Dawud dan as- Sahmi No. 61; Dishahihkan oleh ad- Daruquthni)
Faaidah Tambahan: Dari pembahasan mengenai tata cara membaca surat al- Fatihah, surat-surat dalam al-Qur’an serta tata cara ruku’ dan sujud, kita ketahui bahwa salahlah orang-orang yang shalat dengan bacaan dan gerakan cepat, sekaligus sebagai bantahan bagi sebagian penganut tashawwuf yang mengatakan bahwa orang yang shalat dengan cepat adalah orang yang takutnya kepada Allah demikian besar, wallahul musta’an wal ‘iyadzu billah…..
Bacaan ketika Ruku’
Terdapat tujuh macam bacaan ruku’ yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, diantaranya adalah:
(HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Daruquthni, ath- Thohawiy, al- Bazzar, Ibnu Khuzaimah No. 604 dan Thabrany)
1. سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ (٣x )
(HR. Abu Dawud, Daruquthni, Ahmad, Thabraniy dan Baihaqiy)
2.   سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ (٣ x )
Terkadang Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam membacanya berulang-ulang lebih dari 3 kali, sehingga lama ruku’ dan sujudnya sama dengan ketika ia berdiri membaca al- Fatihah dan ayat al- Qur’an (HR. Bukhari, Muslim; Lihat Kitab Irwa’ al- Ghalil No. 331) dan keadaan seperti ini juga berlaku ketika beliau ruku’, I’tidal, sujud dan duduk diantara 2 sujud.
Di dalam ruku’ dan sujud dilarang membaca al- qur’an, sebagai mana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:
أَلَا وَ إِنِّيْ نُهِيْتُ أَنْ أَقْرَ أَالْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا
Ketahuilah, aku dilarang untuk membaca al- Qur’an ketika Ruku’ dan Sujud” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
13. Bangki dari Ruku’ (I’tidal) dan Bacaan-bacaannya.
Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat tulang shulbinya (punggung) dari ruku’ seraya mengucapkan:
سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
(HR. Bukhari dan Muslim, juga diriwayatkan oleh Abu dawud, Abu ‘Awanah dan al- Hakim; di Shahihkan olehnya dan adz- Dzahabiy). Sambil mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan kedua pundak atau kedua telinga
Bacaan I’tidal:
(HR. Bukhori dan Imam Ahmad)……………………………
1.    رَبَّنَا [وَ]لَكَ الْحَمْدُ

(HR. AMuslim, Abu ‘Awanah, Imam Ahmad dan Abu Dawud)
2.   اَللّٰهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ

(Bukhori dan Muslim) ……………………………………
3.  رَبَّنَا َلَكَ الْحَمْدُ
Terkadang Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menambahkan salah satu dari bacaan diatas dengan:
(HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
مِلْ ءَالسَّمَاوَاتِ وَمِلْ ءَ الْٰأَرْدِ، وَمِلْ ءَمَاسِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ.
Atau kadang kala beliau Shallallahu 'alaihi wasallam membaca:
(HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
مِلْ ءَالسَّمَاوَاتِ وَمِلْ ءَ الْٰأَرْدِ، ومَا بَيْنَهُمَ، وَمِلْءَمَاسِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ.




Dan masih ada 4 macam lainnya.
Disyari’atkan memperlama I’tidal, sebagai mana disebutkan dalam sebuah hadits bahwa para sahabat menyangka Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam telah lupa (dikarenakan lamanya beliau Shallallahu 'alaihi wasallam berdiri I’tidal). (HR. Bukhari dan Muslim; Lihat kitab al- Irwa’ No. 307). atau paling tidak sampai tulang punggung kembali pada posisinya semula, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
ثُمَّ ارَفَعْ رَأْساكَ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا [ فَيَأْ خُذُ كُلُّ عَظْمٍ مَأْخَذَهُ[ )وَفِى رِوَايَةِ: وَإِذَ ارَفَعْتَ فَأَقِمْ صُلْبَكَ، وَ ارْفَعْ رَأْسَكَ حَتَّى تَرْجِعَ الْعَظَامُ إِلَى مُفَاصِلِهَا]
"Kemudian angkatlah kepalamu hingga engkau sempurna berdiri [hingga masing-masing tulang kembali ketempatnya semula]. (Dalam riwayat lain: Dan bila engkau bangkit dari ruku’ maka tegakkanlah tulang sulbi dan angkat kepalamu sampai tulang-tulang tersebut kembali kepersendiannya semula". (HR. Bukhari Muslim pada penggalan pertama [ ] dan ad- Darimi, al- Hakim, asy- Syafi’I dan Imam Ahmad). Kemudian hadits:
لَايَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ إِلَى صَلَاةِ عَبْدٍ لَا يُقِيْمُ صَلْبَهُ بَيْنَ رُكُوْعِهَا وَ سُجُوْدِهَا
Allah tidak akan melihat kepada shalat seorang hamba yang tidak menegakkan tulang punggungnya antara ruku’ dan sujud” (HR. Imam Ahmad dan Thabraniy; Isnad Shahih)
لَا تاتِمُّ صَلَاةَ لِأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ حَتَّي........... يَقُوْلُ: سامِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ: حَتَّى يَسْتَوِيَ قَائِمًا ثُمَّ يَقُوْلُ: اللهُ اَكْبَرُ، ثُمَّ يَسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ
“Tidak sempurna shalat salah seorang diantara manusia sampai…………..ia mengucapkan Sami’ Allahu liman hamidah sampai ia berdiri dengan sempurna, lalu bertakbir kemudian sujud hingga tenang seluruh persendiannya” (HR. Abu Dawud dan al- Hakim, di Shahihkan olehnya dan disepakati  adz- Dzahabiy).
Dan ketika hendak sujud, boleh mengangkat tangan seperti saat takbiratul ihram (HR. An- Nasa’I, ad- Daruquthni, al- Murkhis diamalkan juga oleh Abdurrahman bin Mahdi, Imam Ahmad, Imam Malik dan Imam asy- Syafi’i) namun boleh juga tidak mengangkat tangan (HR. Abu Ya’la dengan Sanad Jayyid dan Ibnu Khuzaimah dengan Sanad Shahih).
14. Sujud sambil bertakbir dengan meletak-kan kedua tangan sebelum kedua lutut (HR. Ibnu Khuzaimah, ad- Daruquthni, al- Al- Hakim di Shahihkan olehnya, adz- Dzahabiy, Imam Ahmad dan Imam Malik), juga hadits:
إِذَ سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيْرُ وَلويوضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
Jika salah seorang diantara kalian hendak sujud, maka janganlah ia menderum (turun) seperti unta, tetapi hendaklah ia mendahulukan kedua tangannya sebelum kedua kakinya” (HR. Abu Dawud dan an- Nasa’i)
Sebenarnya juga terdapat hadits yang menyebutkan tentang mendahulukan kedua lutut sebelum kedua tangan dan ini merupakan pendapat Syaikh bin Baz dan Syaikh ‘Abdurrahman al- Jibrin, tetapi haditsnya telah dinyatakan lemah oleh al- Imam al- Muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albany dan saya (Wayer Haris) lebih tenang mengikuti pendapat Ulama’ ahli Hadits, karena merekalah yang lebih memahami lemah tidaknya suatu hadits bila ditinjau dari segi Ilmu Jarh wat Ta’dil, Ilmu diroyah war riwayah, Ilmu Mustholaah Hadits, Asbabul Wuruz Hadits serta Ilmu Nasikh wal Mansukh dalam hadits.
Ketika sujud, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bertumpu dengan kedua telapak tangannya (dan beliaupun membentangkannya) (HR. Abu Dawud, al- Hakim di Shahihkan olehnya dan disepakati adz- Dzahabiy). Beliau juga merapatkan jari jemari (tangannya) (HR. Ibnu Khuzaimah, Baihaqy, al- Hakim di Shahihkan olehnya dan disepakati adz- Dzahabiy). Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam juga menghadapkan jari-jarinya ke kiblat (HR. Baihaqy sedangkan tambahan menghadapkan jari-jemari ke kiblat riwayat Ibnu Abi Syaibah dan as- Siraj). Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam juga menjadikan kedua (telapak tangan) sejajar dengan pundak/bahu (HR. Abu Dawud, at- Tirmidzi di Shahihkan olehnya dan Ibnu Mulaqqin; lihat Kitab al- Irwa’ No. 309), terkadang sejajar dengan telinga (HR. Abu Dawud dan an- Nasa’i).
Ketika sujud, beliau Shallallahu 'alaihi wasallam meletakkan hidung dan keningnya ke tanah (tempat sujud) (HR. Abu Dawud, at- Tirmidzi dan Ibnu Mulaqqin), juga disebutkan dalam hadits:
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَا يُصِيْبُ أَنْفُهُ مِنَ الْأَرْضِ مَا يُصِيْبُ الْجَبِيْنَ
Tidak ada shalat bagi yang hidungnya tidak menyentuh tanah (tempat sujud) ketika sujud” (HR. Ad- Daruquthni, Ath- Thabraniy dan Abu Nu’aim dalam Kitab al- Akhbar Asbahan)
Thuma’ninah dalam Sujud
إِذَا أَ نْتَ سَجَدْتَ فَأَمْكَنْتَ وَجْهَكَ وَيَدَيْكَ حَتَّى يَطْمَئِنَّ كَلُّ عَظْمٍ مِنْكَ إِلَى مَوْ ضِعِهِ
Bila engkau sujud, maka mantapkanlah posisi wajah dan kedua tanganmu hingga setiap tulang tubuhmu berada pada tempatnya dengan Thuma’ninah” (HR. Ibnu Khuzaimah dengan Sanad Hasan).
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam juga memantapkan posisi kedua lutut  dan ujung jari jemari kakinya (HR. Baihaqiy: Shahih. Riwayat mengarahkan jari jemari ke kiblat Ibnu Abi Syaibah dan as- Siraj serta al- Hakim di Shahihkan olehnya dan disepakati adz- Dzahabiy)
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mrnghadapkan (bagian depan kakinya) dan ujung jari jemari kakinya menghadap kiblat (HR. Imam Bukhari dan Abu Dawud; tambahan riwayat dalam kurung, riwayat milik Ibnu Rahawaih dalam Musnadnya; Ibnu Sa’ad meriwayatkan bahwa Ibnu Umar suka bila seluruh anggota badannya menghadap kiblat ketika shalat sampai-sampai ibu jari kakinya juga menghadap kiblat)
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam merapatkan kedua tumitnya ketika sujud (HR. ath- Thabraniy, Ibnu Khuzaimah No. 654 dan al- Hakim di Shahihkan olehnya dan disepakati adz- Dzahabiy) dan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menegakkan kedua telapak kakinya (HR. Baihaqy: Shahih)
Sujud dengan 7 anggota badan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجَدَ (وَفِى رِوَايَةٍ: أُمِرْنَا أَنْ تَسْجُدَ) عَلَى سَبْعِ أَعْظُمٍ: عَلَى الْجَبْحَةِ - وَ أَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ - وَالْيَدَيْنِ (وَفِى لَفْظٍ: اَلْكَفَّيْنِ)، وَ الرُّكْبَتَيْنِ، وَ أَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ، وَلَا نَكْفَتُ الثِّيَابَ وَ الشَّعْرَ.
Aku diperintahkan untuk sujud (dalam riwayat lain: Kami diperintahkan untuk sujud dengan tujuh (7) anggota tubuh yakni – beliau juga menunjuk ke hidungnya—kedua tangan (dalam lafadz lain: 2 telapak tangan), kedua lutut dan ujung jari jemari kaki serta kami dilarang menjalin (menyatukan) pakaian dan rambut” (HR. Bukhari, Muslim; al- Irwa’ No. 310)
Dilarang menempelkan kedua lengan ketanah saat sujud (HR. Bukhari dan Abu Dawud), Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat lengannya dan menjauhkannya dari kedua sisi tubuhnya hingga nampak putih ketiak beliau dari belakang (HR. Bukhari, Muslim; al- Irwa’ No. 310), sampai-sampai seandainya anak kambing hendak lewat dibawah ketiak beliau, niscaya akan dapat melewatinya (HR. Muslim, Abu ‘Awanah dan Ibnu Hibban)
Bacaan Sujud:
Terdapat 12 riwayat yang menyebutkan macam-macam bacaan Rasulullah ketika sujud didalam shalat, namun kali ini kami hanya akan membawakan beberapa yang mashur diantaranya:
1.     سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى (٣ x )
(HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, ad- Daruquthni, ath- Thohawiy, al- Bazzar dan Thabraniy)
2.    سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ (٣x  )
(HR. Abu Dawud, ad- Daruquthni, Imam Ahmad, ath- Thohawiy dan Baihaqiy)
3.   سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَ الرُّوْحِ
(HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
4.    سُبْحَانَكَ اللّٰهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اَللّٰهُمَّ اغْفِرلِى
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ø  Bacaan no 3 dan 4 juga biasa dibaca Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam ketika ruku’
Ø  Dilarang membaca al- Qur’an ketika ruku’ dan sujud. (telah berlalu bersama kita pembahasannya)
Ø  Memanjangkan waktu sujud (telah berlalu bersama kita pembahasannya)
CTT:



Dianjurkan memperbanyak do’a ketika sujud, sebagaimana sabda NabiShallallahu 'alaihi wasallam:
فَأَمَّا الرُّكُوْ عَ فَعَظِّمُوْا فِيْهِ الرَّبَّ، وَأَمَّ السُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِيْ الدُّعَاءِ فَقَمِنَّ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ.
"Adapun ruku`, maka agungkanlah Tuhan pada saat itu, dan adapun sujud, maka bersungguh-sungguhlah kalian dalam berdo'a, sebab layak untuk diterima bagi kalian." (HR. Muslim)
Dan juga sabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam:
إِقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ، فَأَكْثِرُوْا الدُّعَاءَ.
"Posisi terdekat seorang hamba dari Tuhannya adalah di saat ia sedang sujud, maka dari itu perbanyaklah do'a." (HR. Muslim)
15. Mengangkat kepala sambil bertakbir lalu duduk diantara dua sujud,
لَا تَتِمُّ صَلَاةٌ لِأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ حَتَّى ............... يَسْجُدُ، حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ، ثُمَّ يَقُوْلُ: اللهُ اَكْبَرُ، فَيَرْفَعُ رَ أْسَهُ حَتَّي يَسْتَوِيَ قَاعِدًا.
Tidak sempurna shalat seseorang sampai…… (kemudian ia) sujud, hingga lurus tulang punggungnya (Thuma’ninah), lalu ia bertakbir dan mengangkat kepalanya hingga ia duduk dengan sempurna” (HR. Abu Dawud dan al- Al- Hakim; di Shahihkan olehnya dan disepakati oleh adz- Dzahabiy- Dzahabiy).
Adapun cara duduknya adalah:
فَإِذَا رَفَعْتا فَاقْعُدْ عَلَى فَخْدِكَ الْيُسْرَى.
Dan bila engkau bangkit (dari sujud), maka duduklah diatas paha kirimu” (HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud dengan Sanad Jayyid).
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menegakkan telapak kaki kanannya (HR. Bukhari dan Bayhaqiy) dan menghadapkan jari jemari (kakinya) ke kiblat” (HR. An- Nasa’I dengan Sanad Shahih). Terkadang Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam melakukan duduk I’q’aa (duduk dengan menegakkan kedua tumit) (HR. Muslim, Abu ‘Awanah, Abu Syaikh dan Bayhaqiy).
Ketika duduk, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam thuma’ninah hingga tulang belakangnya tegak lurus (HR. Abu Dawud dan Baihaqiy dengan Sanad Shahih. ada hadits serupa yang dieiwayatkan oleh Abu Dawud, al- Al- Hakim di Shahihkan olehnya dan disepakati adz- Dzahabiy)..
Bacaan duduk diantara dua sujud:
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam biasanya membaca do’a ketika duduk diantara dua sujud, diantaranya:
اَللّٰهُمَّ (وَفِىْ لَفْظٍ: رَبِّ) اغْفِرْلِى، وَ ارْحَمْنِىْ، [وَاجْبُرْنِيْ]، [وَرْفَعْنِيْ]، وَا هْدِنِيْ، [وَعَافِيْنِ]، وَا رْزُقْنِيْ.
(HR. Abu Dawud, at- Tirmidzi, Ibnu Majah,  Al- Hakim; di Shahihkan Olehnya dan adz- Dzahabiy).
Terkadang beliau Shallallahu 'alaihi wasallam membaca:
رَبِّاغْفِرْلِى إِغْفِرْلِى
(HR. Ibnu Majah dengan Sanad Hasan, Imam Ahmad dan Imam Ishaq Ibnu Rahawaih memilih do’a ini)
16. Sujud yang kedua:
ثُمَّ يَقُوْلُ: اللهُ اَكْبَرْ، ثُمَّ تَسْجُدُ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُكَ [ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِيْ صَلَا تِكَ كُلِّهَا].
“Kemudian ucapkanlah :”Allahu ‘Akbar” kemudian sujudlah sehingga tenang seluruh persendianmu (Thuma’ninah), [kemudian lakukanlah hal itu pada setiap rakaat shalatmu]” (HR. Abu Dawud dan al- Al- Hakim, di shahihkan olehnya dan disepakati adz- Dzahabiy sementara dengan tambahan ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِيْ صَلَا تِكَ كُلِّهَا, ada dalam riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Adapun tatacara dan bacaan sujud kedua, sama halnya tatacara dan bacaan sujud pertama.
17. Bangkit dari sujud untuk melaksanakan Rakaat ke- dua
ثُمَّ يَرْفَعُ رَ أْسَهُ فَيُكَبِّرُ
Kemudian hendaklah ia mengangkat kepalanya sambil bertakbir” (HR. Abu Dawud dan al- Hakim di Shahihkan olehnya dan adz- Dzahabiy).
Ketika bangkit dari sujud untuk melaksanakan rakaat kedua, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak langsung berdiri, tetapi beliau duduk dulu dengan sempurna hingga tenang persendiannya (HR. Bukhari dan Abu Dawud)
CTT: Tatacara seperti ini juga diamalkan oleh Imam asy- Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan Ishaq ibnu Rahawaih)
Bertumpu dengan kedua tangan ketika bangkit untuk berpindah rakaat. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallambangkit dengan bertumpu pada tanah (lantai tempat shalat) ketika berpindah ke rakaat selanjutnya (HR. Bukhari dan Imam asy- Syafi’i).
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam melakukan ajn (mengepalkan tangan) tatkala bertumpu untuk bangkit ke rakaat berikutnya (HR. Abu Ishak al- Harby dengan Sanad Shahih. Hadits semakna juga diriwayatkan oleh Imam Baihaqy juga dengan Sanad Shahih.
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إِذَا نَهَضَ فِىْ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ؛ إِسْتَفْتَحَ بِ [الْحَمْدُ لِلّٰهِ] وَلَمْ يَسْكُتْ
Tatkala berpindah kerakaat kedua, (langsung) mulailah dengan bacaan [Al- Hamdulillah] dan janganlah diam (sebelumnya)” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah).
CTT: Dari hadits diatas dapat dipahami bahwa Basmallah bukanlah bagian dari surat al- Fatihah, hadits ini sekaligus memperkuat hadits sebelumnya (hadis qudsi tentang pembagian surat al-fatihah dalam shalat), tetapi juga perlu di pahami bahwa tidak terdapat larangan membaca basmalah sebelum membaca al- Fatihah dan surat lainnya dalam shalat baik di baca jahr maupun sirr, bahkan asy- Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albany menyatakan di syariatkan membaca ta’awudz dan basmalah setiap rakaat sebelum membaca Surotul Fatihah, hanya saja beliau Rohimahullah menguatkan pendapat dalam membaca taawudz dan basmalah dengan cara tidak di jelaskan, Wallahu a’lam – Wayer Haris).
Pada rakaat kedua, memiliki persamaan dalam hal bacaan dan tata cara, hanya saja bacaan surat setelah al- Fatihah lebih pendek dari rakaat pertama.
18. Duduk Tasyahud Awal
Setelah menyempurnakan rakaat kedua untuk shalat lebih dari 2 rakaat di syariatkan duduk tasyahud awal (hukumnya wajib) adapun kaifiah atau tata caranya adalah sama dengan duduk antara 2 sujud sebagai mana sabda Rasullah Shallallahu 'alaihi wasallam:
فَإِذَا جَلَسْتَ فِىْ وَصَطِ الصَّلاةِ، فَا طْمَئِنَّ وَفْتَرِشْ فَخِذَكَ الْيُسْرَي، ثُمَّ تَشَهَّدْ.
“Bila engkau duduk dipertengahan shalat. Maka Thuma’ninah lah dan bentangkan paha kirimu dan bertasyahudlah” (HR Abu Dawud dan Baihaqy dengan sanad jayyid (bagus)).
Dalam bertasyahud, nabi Shallallahu 'alaihi wasallam meletakan telapak tangan kanannya di atas pahanya (dalam riwayat lain lututnya) sebelah kanan, dan meletakan di sebelah tangan kirinya di atas pahanya (dalam riwayat lain: lututnya) sebelah kiri. Beliau membentangkan tangannya di atasnya’’ (HR Muslim dan Abu ‘Awanah). Disamping itu nabi Shallallahu 'alaihi wasallam meletakkan ujung siku kanannya di atas paha kanannya” (HR. Abu Dawud dan An- Nasa’I dengan Sanad Shahih).
Dalam bertasyahud kita di perintahkan untuk memberikan isyarat dengan jari telunjuk, dengan cara: Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam membentangkan tangan kirinya di atas lutut sebelah kiri dan menggenggam jari jemari tangan kanan seluruhnya kemudian mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan mengarahkannya ke kiblat. Pandangan beliau di arahkan pada jari telunjuk tersebut (HR. Muslim, Abu ‘Awanah dan Ibnu Khuzaimah, AL- Humaidi dan Abu Ya’laa dengan Sanad Shahih).
Cara berisyarat adalah : Meletakkan ibu jari di atas jari tengah (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah) dan terkadang membentuk semacam lingkaran.
Rasululah Shallallahu 'alaihi wasallam berisyarat sambil mengerak-gerakkan dengan jari telunjuknya (HR Abu Dawud, an-Nasa’I, Ibnu Jarrud: dalam kitab al-Muntaqa no.208, Ibnu Hibban, di Shahihkan oleh Ibnu Mulaqqin juga terdapat syawahid (hadis saksi sebagai penguat) yang di riwayatkan oleh Ibnu ‘Adi).
Do’a tasyahud:
إِذَا قَعَدْتُمْ فِيْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَقُوْلُوْا: أَالتَّحِيَا تُ لِلّٰهِ. الخ .... وَلْيَتَخَيَّرْ أَحَدُكُمْ مِنَ الدُّعَاءِ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ فَلْيَدْعُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ [بِهِ].
Bila kalian duduk disetiap  2 rakaat maka bacalah “Attahiatullillah…..hingga selesai. Kemudian memilih do’a yang paling berkesan baginya lalu berdo’a berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla (dengan do’a tersebut)” (HR. An- Nasai, Ahmad dan Ath- Thabrani)

Bentuk-bentuk Tasyahud:
Setidaknya terdapat beberapa bentuk Tasyahud dan 6 antaranya Sanadnya Shahih sampai kepada para sahabat, yakni Ibnu Mas’ud (Abdullah bin Mas’ud Radiyallahu 'anhu), Ibnu Abbas (Abdulah bin Abbas Radiyallahu 'anhu) Ibnu Umar (Abdulah bin Umar bin al- Khatab Radiyallahu 'anhu),  Abu Musa al- Asy’ari Radiyallahu 'anhu dan ‘A’isyah Radiyallahu 'anha namun pada kesempatan ini kami hanya akan membawakan beberapa diantaranya:
(HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Abi Syaibah, as- Siraj, Abu Ya’la dari Ibnu UmarRadiyallahu 'anhu)
1.     اَتَّحِيَاتُ لِلّٰهِ، وَ الصَّلَوَاتُ، وَالطَّيِبَاتُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ اَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، اَسَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّلِاحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
(HR. Muslim, Abu ‘Awanah, Asy- Syafi’I dan an- Nasa’I dari Ibnu Abbas Radiyallahu 'anhu)
2.    اَتَّحِيَاتُ الْمُبَارَكَاتُ، الصَّلَوَاتُ الطَّيِبَاتُ لِلّٰهِ، [ال] سَّلَامُ عَلَيْكَ اَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ،[ ال]َسَّلَامُ عَلَيْنَ وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّلِاحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَ[ أَشْهَدُ] أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ (وَفِيْ رِوَايَةٍ:  عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ).
Dari beberapa bentuk tasyahud, kita boleh memilih salah satu diantaranya.
Bersholawat kepada nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam dalam tasyahud dan bentuk-bentuknya.
19. Membaca Shalawat setelah Tasyahud
Terdapat 7 macam sholawat yang di riwayatkan dari nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam. namun dalam kali ini kami hanya akan membawakan beberapa di antaranya:
(HR. Bukhari, Muslim, an- Nasa’I dalam kitab ‘Amalul yaum wal Lailah, Al- Humaidi, Ibnu Mandah, Baihaqi, ath- Thohawiy, Ahmad dan lain-lain)
1.     اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ. كَمَا صَلَيْتَ عَلَى [إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى] آلِ إِبْرَهِيْمَ إِنَّكَ حَمِدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى [إِبْرَ هِيْمَ،وَعَلَى] آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِدٌ مَجِيْدٌ].
(HR. Ahmad dan ath- Thohawiy serta Bukhari Muslim tanpa tambahan lafadz Ahli Baitihi)
1.     اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَعَلَى أَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَتِهِ . كَمَا صَلَيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ  إِنَّكَ حَمِدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَعَلَى أَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَتِهِ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ  إِنَّكَ حَمِدٌ مَجِيْدٌ.
Tanbih/ Peringatan:
1.    Dari 7 macam bentuk bacaan shalawat kepada Rasulluloh Shallallahu 'alaihi wasallam tidak ada satupun yang mencantumkan lafadz sayyidina kepada Rasululloh shallahu alaihi wasalam atau yang selainnya bahkan terdapat hadis shahih yang melarang menambahkan kata sayyidina di depan nama beliau Shallallahu 'alaihi wasallam. Periksa kitab, Shahih Sunan Abu Dawud no. 4806, Imam Bukhori dalam kitab al-‘Adabul Mufrad no. 211 juga Musnad Imam Ahmad juz 111 hal. 153, 241 & 249. An-nasa’I dalam kitab ‘Amalul Yaum  wa Lailah no. 249 dan 250, al-Lalikai no, 2675 untuk lebih jelasnya tentang masalah ini silahkan lihat tulisan kami Kaifiah Shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam dan Bantahan Ilmiah terhadap orang-orang yang menyelisihinya di Blog kami dengan alamat http://wayergo.blogspot.com  
2.    Imam asy- Syafi’I Rohimahullah berkata dalam kitabnya al -Umm juz 1 hal 102 “Bacaan tasyahud awal dan akhir adalah satu lafadz tidak ada bedanya. Sementara makna bacaan tasyahud di sini mencakup bacaan tasyahud dan shalawat atas nabi Shallallahu 'alaihi wasallam salah satunya tidak dapat mencukupi sebagaian yang lain”.
3.    Untuk shalat 2 raka’at, perlu di pahami bahwa duduk tasyahudnya (akhirnya) adalah duduk Iftirosy sebagai mana duduk di antara 2 sujud dan duduk tasyahud awal untuk shalat 3 raka’at atau lebih berdasarkan hadits berikut:
ثُمَّ كَانَ صلى الله عليه وسلمْ يَجْلِسُ لِتَشَهَدِ بَعْدَ الْفَرَغِ مِنَ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةٍ، فَإِذَا كَانَتِ الصَّلَاةِ رَكْعَتَيْنِ كَا الصُّبْحِ جَلَسَ مُفْتَرِشَ.
Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tasyahud setelah menyelesaikan raka’at kedua.apabila shalat yang beliau lakukan adalah shalat 2 rakaat seperti shalat subuh, beliau duduk (tasyahud) nya iftirosy” (HR. an-Nasa’i ada hadits serupa yang di riwayatkan oleh Imam Buhkhori no. 288, Abu Dawud, at-Tirmizi dan lain-lain.)
Bagi masyarakat awam, hadits ini seolah bertentangan dengan hadits Shahih, yang menyebutkan tentang duduk tasyahud (akhir) adalah tawaruk untuk semua shalat”. Ketahuilah wahai saudaraku yang di Rahmati Allah didalam ilmu hadits di kenal istilah dalil umum dan dalil khusus, dua hadis dalam malah ini, dalil umumnya adalah tawarruk adalah untuk semua shalat baik itu ,2,3,4,5, ,7 dan 9 (ctt: ada hadits Shahih yang menyebutkan tentang witir 5 roka’at, 1x salam, 7 rokaat 1 kali salam tahiyat awal di rokaat ke 6 dan 9 rokaat 1 kali salam dan tahiyat awal di rakaat ke- 8), namun ketika ada hadits khusus yang menyebutkan tentang tasyahud untuk shalat 2 rakaat adalah Iftirosy, maka keumuman hadits tersebut gugur untuk shalat 2 rakaat dan tetap berlaku untuk selainnya (selain 2 rakaat) Wallahu Ta’ala a’lam bish- Showaab.
Bangkit ke rokaat ke tiga dan ke empat:
Kemudian nabi Shallallahu 'alaihi wasallam beralih ke rakaat ketiga sambil bertakbir (HR. Bukhori dan Muslim). kemudian setalah rokaat ke tiga selesai beliau beralih ke rokaat ke empat (untuk shalat 4 rakaat), adapun untuk shalat 3 rakaat, beliau Shallallahu 'alaihi wasallam langsung duduk tawarruk (HR. bukhori) adapun kaifiah duduk tawaruk adalah menempelkan paha kiri ke tanah (tempat shalat) dan mengeluarkan kedua telapak kaki dari satu arah (HR. Abu Dawud dan Baihaqi dengan Sanad Shahih) sekaligus menjadikan telapak kaki kiri di bawah paha dan betis (kanannya) (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah) beliau menegakkan telapak kaki kanan (HR.buhari) dan terkadang membentangkannya. (HR. Muslim, Abu ‘Awanah) beliau Shallallahu 'alaihi wasallam meletakan telapak tangan kirinya di atas lutut (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah). dalam tasyahud akhir selain membaca do’a tasyahud juga di syariatkan sholawat sebagai mana tasyahud awal dan keadaan seperti ini berlaku untuk tasyahud akhir pada shalat dan yang lebih dari itu.
Sebelum salam juga di syariatkan berdo’a memohon perlindungan kepada Allah dari  empat perkara sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam:
إِذَا فَرَغَ أَحَدُكُمْ مِنَ التَّشَهَّدِ [الْأٓ خِرِ]، فَلْيَسْتَعِذْ بِاللهِ مِنْ أَرْبَعٍ، [يَقُوْلُ: اللّٰهُمَّ إِنِّى أَعُوْذُ بِكَ] مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَ الْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ [فِتْنَةِ] الْمَسِيْحِ الدَّجَالْ، [ثُمَّ يَدْعُوْ لِنَفْسِهِ بَدَالَهٗ]
“Jika salah seorang di antara kalian selesai dari tasyahud akhirnya hendaknya ia memohon perlindungan kepada Allah dari empat perkara (Ucapkanlah dalam do’a): “Allahhumma inni a’uudzubika min ‘adzaabi jahannam, wamin fitnatil mahya wal ma maat wamin syarri (fitnatil) masilhid dajaal” (kemudian ia berdoa untuk dirinya sendiri apa yang terlintas dalam hatinya) (HR. Muslim, Abu ‘Awanah, an- Nasa’i dan Ibnu Jarrud).
Tanbih:
Doa memohon perlindungan dari 4 perkara hukumnya adalah wajib menurut pendapat Imam Ahmad dan inilah pendapat yang terkuat, karena dalam hadis di atas terdapat kalimat perintah “Hendaknya ia memohon perlindungan kepada Allah dari 4 perkara” dengan sighat al-amr (perintah) sebagai mana di sebutkan di dalam qoidah ushul fiqih, hukum asal perintah adalah wajib, sehingga tetaplah bagi kita bahwa membaca do’a memohon perlindungan dari 4 perkara setelah tasyahud dan sebelum salam adalah wajib, Walaahu Ta’ala a’lam bish Showaab.
Adapun do’a setelah di atas hukumnya adalah sunnah, di mana perlu di pahami bahwa yang di maksud dengan do’a keinginan kita bukanlah dengan lafadz yang kita buat sendiri tetapi dengan lafadz yang dicontohkan oleh Rasullah Shallallahu 'alaihi wasallam, sebagaiman yang disebutkan oleh Imam Ahmad Rahimahullah misalnya:
(HR. an- Nasa’I dan Ibnu Ashim, dengan Lafadz tambahan Ba’du) merupakan tambahan dari Ibnu Ashim
1.     اَللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا عَمِلْتُ، وَمِنْ شَرِّ مَا لَمْ أَعْمَلْ [بَعْدَ].
(HR. Ahmad dan al- Al- Hakim di Shahihkan Olehnya dan adz- Dzahabiy)
2.    اَللّٰهُمَّ حَاسِبْنِى حِسَابًا يَسِيْرًا.

(HR. Bukhari dan Muslim)
3.   اَللّٰهُمَّ إِنِّى ظَلَمْتُ نَفْسِىْ ظُلْمًا كَثِيْرًا، وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ، فَاغْفِرلِيْ مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ، وَ ارْحَمْنِيْ، إِنَّكَ أَنتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.



Sebagai penutup dari segala bentuk do’a yang beliau Shallallahu 'alaihi wasallam contohkan, beliau juga menambahkan do’a berikut:
اَللّٰهُمَّ اغْفِرلِىْ مَاقَدَّمْتُ وَمَا أَخَرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ وَمَا أَسْرَفْتُ، وَمَا أَنْتَ ألْمُقَدِّمُ، وَ أَنْتَ الْمُؤَخِرُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ.
(HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
20. Mengucapkan Salam
Setelah menyelesaikan bacaan Tasyahud, Shalawat dan do’a dalam tasyahud, nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mengakhirkan Sholatnya dengan membaca Salam. Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam memalingkan wajahnya kearah kanan (Sambil membaca): ”Assalamualaikum Warohmatullah’’  hingga terlihat putih pipi beliau  yang kanan lalu menoleh kearah kiri (sambil membaca): “Assalamu ‘alaikum Warohmatullah”  hingga terlihat putih pipi beliau  yang kiri” (HR. Muslim No. 582, Abu Dawud, at- Tirmidzi dan an- Nasa’i). Terkadang Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menambahkan dalam salamnya lafadz “Wabarokaatuh” (HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Abdul Haq, an- Nawawi, Ibnu Hajar al- Asqolaniy, Abdurrozzaq, Abu Ya’la, ath- Thohawiy dan ad- Daruquthni).
Terkadang Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan “Assalamualaikum Warohmatullah’’  ketika menoleh ke kanan dan hanya mengucapkan : “Assalamualaikum’’  ketika menoleh kearah kiri ( HR. an- Nasa’I, Ahmad dan as-Siraj dengan Sanad Shahih). Terkadang beliau Shallallahu 'alaihi wasallam hanya salam satu kali saja dengan mengucapkan: “Assalamualaikum’’ dengan menghadap kedepan kemudian sedikit berpaling kesisi kanan (HR. ibnu khuzaimah, al- Baihaqy, adh-Dhiya al- Maqdisi, Abdul Ghoniy, al- Maqdisi, Ahmad, Thabraniy, al- Hakim, adz- Dzahabiy, dan Ibnu Mulaqqin dengan Sanad Shahih).
Mengucapkan salam (Ketika mengakhirkan shalat) hukumnya adalah wajib (HR.  Al- Hakim dan adz- Dzahabiy).
21. PENUTUP:
Kaifiah shalat itu berlaku untuk laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan sedikitpun sebagai mana perkataan seorang tabi’in utama (10 tabi’in utama) Ibrahim an-Nakhai:
تَفْعَلُ الْمَرْأَةُ فِىْ الصَّلَاةِ كَمَا يَفْعَلُ الرَّجُلُ.
Wanita mengerjakan shalat sebagai mana laki-laki mengerjakannya” Sementara hadits tentang sujud wanita harus merapatkan tangannya kelambung berbeda dengan laki-laki adalah hadits mursal sehingga tidak boleh di jadikan dalil.
Imam Bukhori dalam kitab at- Tarikh Ash- Shaghiir meriwayatkan dengan sanad yang Shahih dari Ummu Darda as-Sughra (istri muda) Abu Darda*
أَنَّهَا كَانَتْ تَجْلِسُ فِىْ صَلَاتِهَا جِلسَةَ الرَّجُلِ، وَكَانَتْ فَقِيْهَةً.
Bahwa beliau duduk saat shalat sebagai mana duduknya laki-laki dan beliau adalah wanita yang fiqih (ahli fiqih).
·         Dikatakan Ummu Darda as- Shughra sebab Istri pertama Abu Darda adalah Seorang Shahabiyah (Shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dari kalangan perempuan)
Demikian rangkuman kitab Ashlu Shitatish Shalat min Taqbiri Ilaa at- Taslimi Ka-annaka Tarooha (Sifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mulai dari Takbiratul Ihram hingga Salam seolah-olah engkau melihatnya) dan ringkasannya Shifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam karya al- Imaam al- Muhaddits Nashir as-Sunnah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany Rahimahullah.
Dalam rangkuman ini, pada beberapa tempat kami memberikan beberapa catatan kecil dengan maksud lebih memudahkan pembaca awam untuk dapat memahami kitab tersebut, sebab kitab yang asli yang edisi terjemahannya terdiri dari sekitar 1500 halaman diluar Mukaddimah dan kata pengantar karena setiap tatacara dan bacaan selalu di sebutkan dalil-dalilnya demikian pula pada edisi ringkasannya yang mencapai 270 halaman yang mungkin bagi mereka yang tidak mengerti ilmu hadits akan sedikit membingungkan, Wallahul Ta’ala a’lam bish Showaab
Adapaun beberapa kaifah dizikir setelah shalat, baru akan saya tulis pada edisi yang khusus untuk itu demikian halnya dengan tata cara wadhu,shaum, zakat, shalat jum’at, haji, dan lain-lain. Sebab saat ini saya masih sementara mengumpulkan dalilnya. Karena saya berusaha untuk mengemukakan segala sesuatunya dengan hanya berdasarkan dalil bukan akal /argument semata terkecuali pada beberapa hal yang memang membutuhkan penjelasan lebih lanjut, yang tentunya dengan sebatas kemampuan dan ilmu yang saya miliki, dengan harapan untuk lebih mendekatkan diri pada as-Sunah as- Shahiihah (Sunnah yang Shahih) Insya Allah adapun bila terdapat kesalahan dan kekurangan semua itu semata berasal dari diri saya pribadi, oleh karena itu saya mohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla dan memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada para pembaca sekalian dan semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuknya kepada saya demi menyempurnakan tulisan-tulisan saya untuk masa yang akan datang INSYA ALLAH
Muroja’ah
1. TIGA MASALAH PENTING TENTANG SHALAT Karya : Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz
2. TUNTUNAN SHALAT menurut Al-Qur'an & As-Sunnah Karya
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
3. Kitab Ashlu Shifati Shalatin Nabiy Shalallahu ‘alaihi wa sallam Karya al- Imam al- Muhaddits Nashir as- Sunnah Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albany
4. Kitab Shifat Shalat Nabiy Shalallahu ‘alaihi wa sallam Karya al- Imam al- Muhaddits Nashir as- Sunnah Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albany. Ctt. Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab Ashlu Shifati Shalatin Nabiy Shalallahu ‘alaihi wa sallam

Kendari, 14 Januari 2012
Dikoreksi Kembali di Bungku, Morowali 26 Mei 2017