Sabtu, 31 Desember 2011

Hukum Sembelihan 2 (Dua Kali)

Hukum Sembelihan Dua Kali
Oleh   : Wayer Haris Sauntiri, S.T
Assalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Beberapa waktu yang lalu, saya pernah ditanya tentang bagaimana hukum daging hewan yang disembelih dua kali, maka dengan keterbatasan ilmu yang saya miliki pada waktu itu, maka jawaban saya adalah “Insya Allah halal” dengan argumen/ hujjah bahwa saya pernah membaca sebuah hadits shahih yang menyatakan bahwa seorang muslim boleh memakan sembelihan ahlul kitab (Yahudi dan Nashara), dan bila kita ragu apakah sembelihan tersebut dibacakan nama Allah atau tidak, maka cara “menyembelihnya” adalah dengan membaca nama Allah ketika hendak memakannya. Apatah lagi bila hewan tersebut disembelih oleh seorang muslim dan padanya disebutkan nama Allah. Pertanyaan tersebut muncul karena adanya kejadian sembelihan dua kali dalam suatu hajatan dan menurut keyakinan sebagian masyarakat disana bahwa hukum daging hewan yang disembelih dua kali adalah haram mereka berhujjah dengan sebuah pernyataan dalam sebuah kitab yang ditulis bukan oleh ulama terkenal bahkan saya katakan majhul/asing dikalangan ahlul ‘ilmi, sehingga kitabnyapun merupakan kitab yang tidak dikenal. Dan yang dimaksud dengan sembelihan dua kali disini adalah ketika melakukan sembelihan tiba-tiba alat sembelihan terjatuh dan penyembelih mengambil ulang alat sembelihan dan melanjutkan sembelihan tersebut. Maka setelah memperoleh tambahan ilmu mengenai masalah ini, maka saya merasa perlu untuk memberikan penjelasan guna meluruskan kesalahpahaman kaum muslimin terhadap permasalahan ini, sehingga kita tidak terjatuh pada persoalan ghulluw/berlebih-lebihan dalam beragama. Berikut uraiannya:
Suatu sembelihan dihukumi halal bila dalam sembelihan tersebut memenuhi syarat-syarat sembelihan sebagai berikut:
1.   Syarat orang yang menyembelih.
a.     Berakal dan sudah Tamyiz
b.     Penganut Agama Samawi (beragama Islam, Yahudi atau Nashara), dalil tentang halalnya sembelihan ahlul kitab adalah:
-      Dalam al- Qur’an Surah al- Maa’idah ayat 5 Allah SWT berfirman yang artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahlul Kitab”. Al- Imam al- Hafidz Ibnu Katsir Rahimahullah dalam kitab Tafsirnya (Tafsir Ibnu Katsir) berkata yang dimaksud dengan “Makanan” dalam ayat ini (Al- Maa’idah ayat: 5) adalah sembelihan ahlul kitab. Beliau mengatakan bahwa hal tersebut merupakan penafsiran dari Ibnu Abbas r.a dan Abu Umamah al- Bahili r.a dari kalangan sahabat serta Mujahid, Sa’id ibnu Jubair, Ikrimah, Atha’ bin Yasir, Al- Hasan, Makhul, Ibrahim an- Nakha’I, as- Sa’di dan Muqatil bin Hayyan dari kalangan tabi’in.
-      Dalam hadits ‘Aisyah r.a disebutkan: Artinya: “Bahwa ada suatu kaum bertanya kepada Nabi SAW: “Ada suatu kaum membawa daging kepada kami yang tidak kami ketahui, apakah mereka menyebut nama Allah atau tidak, maka beliau SAW menjawab: “Sebutkanlah nama Allah padanya dan makanlah” (H.R Imam Bukhari, tercantum dalam kitab Bulughul Marom No. 1.363).
-      Dari sahabat Rafi’ bin Khodij r.a: Rasulullah SAW bersabda: ”Apa yang dapat menumpahkan darah dengan diiringi sebutan nama Allah, maka makanlah. Selain gigi dan kuku. Sebab gigi adalah tulang dan kuku adalah pisau bangsa Habasyah (Ethiopia)” (HR: Bukhari, Muslim, Ibnu Majjah No. 3.187, at- Tirmidzi No. 1491 dan Bulughul Marom No. 1367).
-      Adapun menggunakan bejana (alat-alat rumah tangga) orang-orang musyrik dan ahlul kitab diperbolehkan oleh Rasulullah SAW dengan syarat dicuci terlebih dahulu sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat at- Tirmidzi No. 715, al- Albani dalam kitab Irwa’ al- Ghaliil No. 37, Bukhari dan Muslim yang bersumber dari sahabat Abu Tsa’labah al- Kasyani r.a dan ‘Abdullah bin Amru:
يَا رَسُوْلَ اللهِ! إِنَّا بِأَرْضِ قَوْمِ أَهْلِ كِتَابِ، أَفَنَأْكُلُ فِيْ آنِيَتِهِمْ؟ قَالَ: لَا تَأْكُلُوْا فِيْهَا إِلَّا أَنْ لَاتَجِدُوْا غَيْرَهَا، فَاغْسِلُوْهَا، ثُمَّ كُلُوْا فِيْهَا
“Wahai Rasulullah ! Kami berada di perkampungan Ahli Kitab, apakah boleh kami makan dengan tempat mereka?” Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian makan dengannya, kecuali kalian tidak mendapatkan yang lain. Cucilah dahulu, barulah makan dengannya”
c.      Tidak sedang ihram
d.     Adanya niat untuk dimakan dan membaca bismillah dengan lisan. Membaca bismillah ketika menyembelih dihukumi wajib oleh Imam Hanafi, Malik dan Hambali sementara menurut Imam Syafi’I hukumnya sunnah. Namun apabila kita lupa membaca bismillah maka terdapat beberapa pendapat untuk masalah ini:
-      Sembelihan tidak sah dan dagingnya  haram, mereka berdalilkan dengan surah al- An’am ayat 121, namun berdalilkan dengan ayat ini, tidaklah benar sebab hukum ayat ini telah dinasakh (dihapus hukumnya) oleh surah al- Maa’idah ayat 5 yang telah berlalu pembahasannya.
-      Sembelihannya sah dan dagingnya halal dimakan. Mereka yang berpendapat seperti ini berdalilkan dengan:
¨       hadits ‘Aisyah r.a yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Ibnu Hajar dalam kitab Bulughul Marom No. 1363.
¨       Rasulullah SAW bersabda: Artinya : “Allah meletakkan pena (tidak menghukum) umatku karena salah atau lupa dan karena dipaksa" [HR ath-Thahawi dalam kitab Syarhu Ma'anil Atsar Juz 2 hal 56, Al-Hakim Juz 2 hal.198, Ibnu Hazm dalam kitab Al-Ihkam Juz 5 hal. 149, Ad-Daruquthni 4/171 dari dua jalan yaitu dari Al-Auza'i dari Atha' bin Abi Rabah dari Ubaid bin Umar, dari Ibnu Abbas, sanadnya Shahih, dikutip dari Kitab Shifat Shaum Nabi SAW karya Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid al- Halabi al- Atsari dan Syaikh Salim bin Ied al- Hilaly]
¨       Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang muslim itu cukup dengan namanya. Bila ia lupa menyebut (nama Allah) ketika menyembelih, hendaknya ia menyebut nama Allah sebelum makan, kemudian memakannya." (HR Daruquthni dan dalam sanadnya ada seorang perawi yang lemah hafalannya, bernama Muhammad Ibnu Yazid Ibnu Sinad. Ia seorang yang jujur, namun lemah hafalannya), Abdurrazaq juga meriwayatkannya dengan sanad shahih hingga Ibnu Abbas yang mauquf padanya. Ada hadits saksi riwayat Abu Dawud dalam hadits mursalnya dengan lafadz: "Sembelihan orang muslim adalah halal, ia menyebut nama Allah atau tidak." Para perawinya dapat dipercaya. Kesimpulan yang dapat diambil dari tiga hadits ini adalah secara makna dapat dihukumi sebagai hadits hasan, atau paling tidak hasan lighoirihi, dengan asumsi pada hadits pertama adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lemah hafalannya, tetapi jujur dan haditsnya diperkuat oleh hadits bersanad shahih mauquf  yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq serta hadis mursal yang diriwayatkan oleh perawi-perawi tsiqah,
Sehingga dari hadits-hadits diatas dapat diambil suatu kesimpulan hukum bahwa apabila seseorang lupa menyebut nama Allah ketika menyembelih, maka sembelihannya sah dan halal. Adapun untuk mereka yang dengan sengaja tidak menyebut nama Allah ketika menyembelih, maka saya pribadi dengan keterbatasan ilmu yang saya miliki, belum berani membuat kesimpulan hukum.
2.   Syarat alat untuk menyembelih
a.     Tajam dan bisa memotong
b.     Bukan alat yang terbuat dari kuku, gigi dan tulang dengan dalil yang telah berlalu dalam pembahasan diatas.
3.   Syarat hewan yang disembelih
a.     Termasuk hewan yang halal untuk disembelih.
-      Terpotong pada bagian leher yang harus dipotong pad sembelihan normal. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menyebutkan bahwa penyembelihan yang sesuai syariat itu ada tiga keadaan (dinukil dari Shalatul idain karya Syaikh Sa’id Wahf Al Qahthani):
-      Terputusnya tenggorokan, kerongkongan, dan dua urat leher. Ini adalah keadaan yang terbaik. Jika terputus empat hal ini maka sembelihannya halal menurut semua ulama.
-      Terputusnya tenggorokan, kerongkongan, dan salah satu urat leher. Sembelihannya benar, halal, dan boleh dimakan, meskipun keadaan ini derajatnya di bawah kondisi yang pertama.
-      Terputusnya tenggorokan dan kerongkongan saja, tanpa dua urat leher. Sebagian ulama berpendapat bahwa sembelihannya halal. Ini merupakan pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini. Dalilnya adalah sabda Nabi SAW, ”Apa yang dapat menumpahkan darah dengan diiringi sebutan nama Allah, maka makanlah. Selain gigi dan kuku. Sebab gigi adalah tulang dan kuku adalah pisau bangsa Habasyah (Ethiopia)” (HR: Bukhari, Muslim, Ibnu Majjah No. 3.187, at- Tirmidzi No. 1491 dan Bulughul Marom No. 1367).
Apabila ketiga syarat tersebut diatas telah terpenuhi, maka suatu sembelihan dikatakan sah dan dagingnya halal untuk dimakan, maka apabila terjadi 2 kali atau lebih sembelihan terhadap hewan maka para ulama’ membaginya menjadi 3 kemungkinan:
1.   Jika terjadi sembelihan 2 kali disebabkan keadaan darurat, seperti pisau terlepas secara tidak sengaja, maka sembelihan itu sah secara Ijma’ dengan sebagian ulama’ mensyaratkan ketika dilakukan sembelihan kali kedua hewan masih dalam keadaan hayat mustaqirrah.
2.   Jika terjadi sembelihan dua kali tanpa sebab darurat dan sembelihan kedua dilakukan sejurus (segera) setelahnya, maka terdapat khilaf dikalangan ahlul ilmi, namun yang kuat untuk masalah ini adalah sembelihan tersebut sah dan halal.
3.   Jika terjadi sembelihan dua kali karena hewan yang disembelih tersebut lepas dan masih kuat maka terdapat perselisihan dikalangan ulama. namun yang kuat menurut kami adalah sembelihan tersebut sah dan halal jika diyakini bahwa hewan tersebut merupakan sembelihan yang terlepas, dan yang mendasari pendapat kami adalah keumuman hadits  Nabi SAW, ”Apa yang dapat menumpahkan darah dengan diiringi sebutan nama Allah, maka makanlah. Selain gigi dan kuku. Sebab gigi adalah tulang dan kuku adalah pisau bangsa Habasyah (Ethiopia)” (HR: Bukhari, Muslim, Ibnu Majjah No. 3.187, at- Tirmidzi No. 1491 dan Bulughul Marom No. 1367).
Maka sebagai seorang muslim, hendaknya kita membangun amalan dan I’tiqod kita berdasarkan dalil bukan berdasarkan prasangka semata, memang berhati-hati terhadap suatu permasalahan sangat dianjurkan namun kita harus memilah-milah pada perkara mana hal tersebut pantas kita lakukan dan pada hal mana tidak kita lakukan. Jangan sampai kita tergolong sebagai orang-orang yang menghalalkan perkara yang haram ataupun mengharamkan perkara yang halal berdasarkan prasangka semata, yang dapat menyebabkan kita terjatuh pada perkara ghulluw dalam beragama.
Sebagai penutup kami nukilkan beberapa riwayat yang mungkin dapat sedikit merubah cara pandang kita terhadap pendalilan:
1.   Dari Sahabat Abdullah bin Abbas r.a (Ibnu Abbas): Rasulullah SAW bersabda: “Jauhkanlah diri kalian dari sikap ghulluw (berlebih-lebihan) dalam beragama, karena sesungguhnya sikap ghulluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian” (HR. Ahmad Juz 1 hal. 215 dan 347, an- Nasa’I Juz. Hal 268, Ibnu Majjah No. 3029, Ibnu Khuzaimah No. 2867).
2.   “Dari Abu Tsalabah al- Kasyani r.a: Rasulullah SAW bersabda:”Sesunguhnya Allah telah mewajibkan kewajiban-kewajiban Nya maka janganlah kamu mempersempitnya dan Dia juga telah menentukan ketentuan-ketentuan Nya, maka janganlah kamu melampauinya. Dia telah melarang bagimu berbagai hal, maka janganlah kamu melanggarnya”.
3.   Abdul ‘Aziz bin Al- Muthalib mengatakan dari Ibnu Mas’ud r.a : “Sesungguhnya kamu sekalian jika kamu mengajarkan agama kamu dengan Qiyas, maka kamu akan menghalalkan banyak hal yang diharamkan atas kamu dan mengharamkan banyak hal yang telah dihalalkan atas kamu”
4.   Asy- Sya’bi (seorang Tabi’in) berkata: “Jika kamu ditanya tentang suatu masalah maka janganlah kamu mengqiyaskannya dengan sesuatu yang lain, karena mungkin kamu kan mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram”.
Demikianlah uraian singkat tentang masalah ini, semoga bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian, Wallahu Ta’ala A’lam Bish Showaab akhiiru da’waana ‘anil hamdulillahi rabbil ‘alamiin
Wassalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wa barakaatuh.
Kendari, 06   Shafar 1433 H
31 Desember 2011