Secara keilmuan, sebenarnya saya belumlah pantas untuk memberikan tanggapan terhadap suatu permasalahan dien, sebab saya bukanlah seorang alumni pesantren yang memiliki banyak ilmu, untuk itu apabila dalam pembahasan saya ini terdapat beberapa kekeliruan atau mungkin kesalahan, maka alangkah baiknya bila antum semua memberikan tanggapan dan koreksinya, melalui e-mail pribadi ana di: wayerharis.haris@gmail.com , insya Allah setiap masukan antum semua, akan ana publikasikan pada koreksi tulisan ini, Insya Allah dengan catatan koreksi antum memiliki nilai Ilmiah, bukan kritik buta yang disebabkan atas ghirah yang berlebihan dan melampaui batas.
Mengenai gaya bahasa yang saya kemukakan dalam tulisan ini, mungkin kurang dapat dipahami sebab ana bukanlah seorang jurnalis ataupun orang yang pernah memenangkan lomba karya tulis ilmiah, jangankan menang ikut saja nggak pernah. Atas ketidaknyamanan antum semua ana mohon maaf dan atas perhatian dan koreksinya ana ucapkan banyak terima kasih
Sesungguhnya Allah SWT berfirman didalam kitab Nya yang mulia Q.S. Al- Ahzab : 56
Saudaraku yang Insya Allah dirahmati Allah SWT, telah maklum bagi kita bahwa ayat yang mulia ini menunjukkan kepada kita tentang disyari’atkannya bershalawat kepada Rasulullah yang mulia. Sehingga sebagai orang yang menyatakan diri sebagai ummat Rasulullah SAW, hendaknya mengambil keutamaan yang terkandung didalamnya, sebagai mana yang akan saya uraikan nanti Insya Allah.
Namun terdapat keanehan dalam pemahaman sebagian masyarakat, dimana mereka memahami ayat ini terlampau jauh, sampai-sampai mengqiyaskan ayat ini dengan kelapa menjadi minyak yang harus melalui tahapan demi tahapan. Sebagai ending dari pemahaman mereka adalah mereka memahami ayat ini dengan bolehnya melakukan perayaan-perayaan bid’ah seperti maulid, Isra’ mi’raj, dan lain-lain, dengan berladaskan Qiyas Shalawat dengan Maulid dan kawan-kawan, suatu pemahaman yang terlampau jauh sehingga sangat rumit dan menyulitkan. Padahal agama ini bukanlah agama yang sulit dan memberatkan ummatnya.
B. Keutamaan Shalawat
Tentang keutamaan bershalawat kepada Rasulullah SAW, telah terdapat banyak hadits-hadits yang menyebutkan tentangnya. Diantaranya adalah:
1. Hadits No. 1405 dari kitab Riyadush Shalihiin Karya Imam An- Nawawi:
2. Hadits dari Sunan an- Nasa’i:
3. Hadits No. 1406 dari Kitab Riyadush Shalihiin:
4. Hadits Ke empat:
5. Hadis ke 5:
6. Hadis No 6:
وَعَنْ أَبِىْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنْه قَالَ: قَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم: لَاتَجْعَلُوْا قَبْرِى عِيْدًا، وَصَلُّوْا عَلَىَّ، فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِىْ حَيْثُ كُنْتُمْ
Dari Abu Hurairah ra: Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian menjadikan kuburku sebagai tempat perayaan, tetapi bershalawatlah untukku, karena sesungguhnya bacaan shalawat mu akan sampai kepadaku dimanapun kalian berada “ (Hadits Shahih Riwayat Abu dawud, No. 1409 dari kitab Riyadush Shalihiin).
7. Hadits No. 7
8. Hadits No. 8
Dari Fadhalah bin Ubaid r.a : Rasulullah SAW bersabda :” Apabila salah seorang diantara kalian berdo’a hendaklah ia memulai dengan memuji dan menyanjung Tuhannya Yang Maha Suci, lalu membaca Shalawat untuk Nabi SAW dan setelah itu berdo’alah sekehendaknya” (Hadits Hasan Shahih Riwayat at- Tirmidzi, No. 1412 dari kitab Riyadush Shalihiin)
C. Kaifiah/ tatacara Shalawat kepada Nabi SAW
Sesungguhnya dalam bershalawat kepada Rasulullah SAW, tentunya kita harus mengikuti apa-apa yang telah diajarkan oleh beliau SAW, sebab beliau tentunya tidak akan mengajarkan kepada ummatnya tatacara yang tidak tepat, karena beliau tidaklah bicara dengan hawa nafsunya, tetapi berdasarkan wahyu yang diwahyukan, dan sebagai umatnya kita harus meyakini bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah SAW.
Setelah melakukan pengkajian mendalam terhadap beberapa kitab hadits, saya menemukan beberapa kaifiah/ tatacara dalam bershalawat kepada Rasulullah SAW, yang diantaranya adalah sbb:
1. Hadits No. 1413 dari kitab Riyadush Shalihiin dan No. 214 dari kitab Mukhtashor (Ringkasan) Shahih Bukhari Muslim.
2. Hadits No. 1414 dari Kitab Riyadush Shalihiin.
3. Hadits NO. 1415 dari Kitab Riyadush Shalihiin, No. 215 dari Kitab Mukhtashor Shahih Bukhari Muslim
D. Larangan berlebih-lebihan (Ghulluw dan Ithra’) dalam menyanjung Rasulullah SAW.
Dalam diskusi tentang bagaimana bacaan Shalawat dalam Tasyahud dengan beberapa santri yang dimana saya adalah salah seorang yang turut membagikan sedikit ilmu yang saya ketahui, saya sampaikan kepada mereka untuk menghapus tambahan lafadz Sayyidina dalam Shalawat kepada Rasulullah SAW dan kepada nabi Ibrahim AS. Demi mengetahui keadaan tersebut, salah seorang ustadz yang ada dikampung kami, yang konon katanya 18 tahun dipesantren, membantah pendapat kami dan menyatakan wajib hukumnya menambahkan lafadz Sayyidina ketika menyebut nama Nabi SAW. Dengan berdalihkan dengan kisah yang dimuat dalam kitab Ihya’ Ulumuddin. Maka demi menjelaskan masalah tersebut, maka ada baiknya saya akan memaparkan apa yang menjadi dalil dan hujjah yang mendasari pendapat saya tersebut.
1. Hadits Pertama:
Adapun ucapan yang biasa diucapkan, yang dimaksud oleh Rasulullah SAW adalah ‘Abduhu wa Rosuluhu, hamba Allah dan RasulNya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitabnya al- Musnad Juz 3 hal 153, 241 dan 249, an- Nasa’I dalam kitab ‘Amalul Yaum wal Lailah No. 249 dan 250, Imam al- Lalika’I dalam Kitab Syarh Ushuul I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah No. 2675 dari Sahabat Anas bin Malik r.a berikut:
2. “Dari Anas bin Malik r.a: “Sebagian orang berkata kepada Nabi SAW: “Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik diantara kami dan putra orang yang terbaik diantara kami!, wahai sayyid kami dan putra sayyid kami!” maka seketika Rasulullah SAW bersabda: “Wahai manusia, ucapkanlah tentangku dengan ucapan yang biasa kalian ucapkan!. Janganlah kalian terbujuk oleh syaithan. Aku adalah Muhammad, hamba Allah dan RasulNya. Aku tidak suka kalian menyanjungku melebihi kedudukan yang telah Allah berikan kepadaku”.
3. Menambahkan kata Sayyidina dihadapan nama Rasulullah SAW, menurut Imam Ibnu Qayyim al- Jauziah adalah bentuk ghulluw dan Ithra’ terhadap Rasulullah SAW dan perbuatan tersebuit adalah perbuatan yang dicela oleh Rasulullah SAW, sebagaimana sabda beliau: “Janganlah kalian Ithra’ (Berlebih-lebihan) dalam memujiku sebagai mana kaum Nashrani memuja Isa bin Maryam AS. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah (tentangku) Abduhu wa Rasuluh (HR. Bukhari No. 3445, at- Tirmidzi dalam kitab Mukhtashor Syama’il Muhammadiyah No. 80, Imam Ahmad dalam Kitab Musnadnya Juz 1 hal 23, 24, 47 dan 55 serta Ad- Darimi Juz 2 hal. 320 dari Sahabat Umar bin KLahthab r.a)
4. Dalam Hadits lain dari Sahabat Abdullah bin Abbas ra (Ibnu Abbas): Rasulullah SAW bersabda: “Jauhkanlah diri kalian dari sikap ghulluw (berlebih-lebihan) dalam beragama, karena sesungguhnya sikap ghulluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian” (HR. Ahmad Juz 1 hal. 215 dan 347, an- Nasa’I Juz. Hal 268, Ibnu Majjah No. 3029, Ibnu Khuzaimah No. 2867).
5. Anas bin Malik berkata, "Tak seorang pun yang lebih dicintai oleh para sahabat dari-pada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam. Tetapi, bila mereka melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam (hadir), mereka tidak berdiri untuk beliau. Sebab mereka mengetahui bahwa beliau membenci hal tersebut." (HR. At-Tirmidzi, hadits shahih)
6. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda, "Barangsiapa suka dihormati manusia dengan berdiri, maka hendaknya ia mendiami tempat duduknya di Neraka." (HR. Ahmad, hadits shahih)
7. Menganggap bahwa Nabi SAW, memiliki kedudukan yang lebih mulia dibandingkan hamba Allah yang lain semisal Malaikat dan para Nabi adalah perkara yang dilarang oleh beliau SAW, sebagaimana Sabda beliau SAW:
8. Dari Abu Hurairah r.a: Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian mengunggulkan aku atas Musa as. Sesungguhnya manusia akan dibangkitkan setelah kiamat dan aku adalah orang yang pertama siuman. Tiba-tiba Musa as. Memukulkan tangannya berada disisi Arsy. Aku tidak tahu apakah ia termasuk yang terkena kejutan luar biasa, sehingga pingsan dan siuman sebelumku atau yang termasuk dikecualikan Allah, tidak mengalami kejutan luar biasa” (HR. BUkhari, Muslim, Ath- Thahawi, Abu Dawud No. 4671, Hadits ini juga tercantum dalam kitab Mukhtashor al- Ulluw)
Mencintai Rasulullah SAW adalah suatu kewajiban bagi seorang muslim, sehingga tidak sempurna keimana seseorang dihadapan Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Tidak beriman salah seorang diantara kalian sehingga aku lebih dicintai daripada bapaknya, anaknya dan seluruh manusia” (HR. Bukhari)
Bila kita benar-benar mencintai Rasulullah SAW, maka buktikanlah dengan berusaha untuk melakukan apa-apa yang dicintai oleh beliau SAW serta meninggalkan apa-apa yang dibenci oleh beliau SAW.
Bukti kongkrit cinta kepada Rasulullah SAW diantaranya adalah: Firman Allah SWT: “Katakanlah jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku. Niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”
E. Qiyas dalam pandagan Salafush Shalih
a. Hadits Pertama: “Dari Abu Tsalabah al- Kasyani r.a: Rasulullah SAW bersabda:”Sesunguhnya Allah telah mewajibkan kewajiban-kewajiban-Nya mak janganlah kamu mempersenpitnya dan Dia juga telah menentukan ketentuan-ketentuan Nya, maka janganlah kamu melampauinya. Dia telah melarang bagimu berbagai hal, maka janganlah kamu melanggarnya”.
b. Hadits kedua: Abu Hurairah r.a, Ia pernah berkata kepada Ibnu Abbas r.a: “Jika telah sampai suatu hadits kepadamu dari Rasulullah SAW, maka janganlah kalian membuat perumpamaan-perumpamaan bagi hadits tersebut” (HR. Muslim dari Sahabat Samurah bin Jundub r.a).
c. Umar bin Khathab r.a pernah berkata: “Ilmu itu terdiri dari 3, kitab yang berbicara, sunnah yang telah lalu dan aku tidak tahu”
d. Abdul ‘Aziz bin Al- Muthalib mengatakan dari Ibnu Mas’ud: “Sesungguhnya kamu sekalian jika kamu mengajarkan agama kamu dengan Qiyas, maka kamu akan menghalalkan banyak hal yang diharamkan atas kamu dan mengharamkan banyak hal yang telah dihalalkan atas kamu”
e. Imam Al- Auza’I berkata:” Saya pernah mendengar dari Ubadah bin Abu Lubaba dari Ibnu Abbas r.a: “Orang yang mengemukakan pendapatnya tidak didasarkan dari kitab Allah dan Sunnah Rasulullah SAW, maka sesungguhnya ia tidak mengetahui atas dasar apa ia menentukan hal itu ketika ia bertemu dengan Allah Azza wa Jalla”
f. Abu Hanifah (Imam Hanafi) berkata:”Saya mendengar dari Mujahid (ulama’ besar dikalangan Tabi’in), bahwa Umar bin Khathab r.a telah melarang Qiyas”
g. Al- Atsram berkata:”Abu Bakar bin Abu Syaibah menceritakan, Ja’far bin Ghiyats menceritakan dari Ayahnya dari Mujahid, ia berkata : “Umar berkata: ”Hati-hatilah kalian dengan perumpamaan (Qiyas)”.
h. Muhammad bin Sirrin (Seorang Tabi’in) berkata:” Qiyas itu adalah kesialan dan orang yang pertama kali mengqiyaskan adalah Iblis dan ia binasa dan sesungguhnya matahari dan bulan itu disembah dikarenakan qiyas-qiyas tersebut”.
i. Ibnu Abi Hatim (Juru Tulis Imam Bukhori) mengatakan :” Muhammad bin Isma’il al- Ahmasi menceritakan: Wahhab bin Ismail menceritakan dari Dawud al- Ajdi, ia berkata: Asy- Sya’bi (seorang Tabi’in) berkata kepadaku: Jagalah 5 perkara yang memiliki kejelasan. Diantaranya adalah (Yang kedua): “Jika kamu ditanya tentang suatu masalah maka janganlah kamu mengqiyaskannya dengan sesuatu yang lain, karena mungkin kamu kan mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram”.
j. Imam Ath- Thahawi berkata : Yusuf mansur bin Yazid al- Qarathisi menceritakan Sa’ad bin Mansyur menceritakan dari Al- Mughirah bin Muqsim dari Asy- Sya’bi ia berkata:” Sunnah itu tidak diciptakan dari qiyas-qiyas.” Kemudian beliau berkata lagi “Sesungguhnya kamu skalian akan binasa pada saat kamu meninggalkan atsar-atsar (Hadits) dan mengambil qiyas-qiyas”
k. Al- Khalal berkata: “Abu Bakar al- Maruzi berkata: “Aku mendengar Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali) mengingkari sahabat-sahabatnya mempergunakan qiyas dan ia berbicara tentang ,asalah ini dengan keras”.
l. Muhammad bin Haqqan mengatakan aku mendengar dari Ibnu al- Mubarok diakhir sebuah pertemuan. Kami berkata kepadanya: “berilah kami nasihat”. Ia berkata: “Janganlah kalian menjadikan Ra’yu sebagai imam”.
F. Kitab Ihya’ Ulumuddin dalam pandangan Ulama’
Kitab Ihya’ Ulumuddin adalah salah satu maha karya salah seorang Imam besar dari mahdzab Syafi’iyah, yakni Imam Abu Hamid al- Ghazali (Imam al- Ghozali). Kitab ini sangat terkenal, namun sangat disayangkan kitab ini memiliki banyak kesalahan dan kekeliruan, sebab ketika menulis kitab ini keadaan imam al- Ghazali Rahimahullah belum memiliki akidah yang kuat, perbendaharaan beliau akan ilmu hadits tidaklah banyak, serta ketika menulis kitab ini, Imam al- Ghazali tengah meneliti dan mendalani kitab Ikhwanish Shafa karya Ibnu Sina yang oleh para ulama’ disebut sebagai kitab yang sangat membahayakan aqidah disebabkan isinya banyak memuat filsafat Yunani kono yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai tauhid kepada Allah SWT.
Berikut adalah beberapa penilaian Ulama’ terhadap kitab Ihya’ Ulumuddin:
a. Imam ath- Thurthusi (Lahir tahun 520 H); beliau berkata: “ Ketika al- Ghazali menulis kitab Ihya’, ia berbicara tentang ilmu-ilmu dan tingkatan kaum sufi. Padahal dia tidak banyak mengetahui dan memamahaminya dengan baik. Beliau memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan atas nama Rasulullah SAW. Saya tidak mendapati satu kitabpun dimuka bumi ini, sepanjang pengetahuanku, yang paling banyak kedustaannya atas nama Rasulullah SAW selain kitab itu. Kitab tersebut banyak dipengaruhi oleh kitab Rasa’il Ikhwanish Shafa yang merupakan perpaduan antara filsafat Yunani dengan Filsafat Islam”
b. Imam Abu Bakar Ibnul ‘Arobi (Lahir tahun 543 H); beliau adalah murid utama dari Imam Al- Ghazali. Tehadap guru dan kitab Ihya’ Ulumuddin, beliau berkata dalam kitabnya Syahrul ‘Asma’il Husna: “Syaikh kami Abu Hamid al- Ghazali (Imam Al- Ghazali) Rahimahullah terperangkap pada perut filsafat dan nyaris terjatuh didalamnya. Seandainya beliau bukanlah orang yang muhlis, niscaya ia akan binasa. Beliau memenuhi kitab Ihya’nya dengan hadits- hadits palsu”
c. Imam An- Nawawi (Lahir tahun 676 H): ketika ditanyakan kepada beliau tentang shalat Rogho’ib pada jum’at pertama dibulan Raajab apakah Sunnah ataukah Bid’ah? Maka beliau menjawab: “Itu adalah bid’ah yang buruk dan diingkari dengan pengingkaran yang sangat keras. Janganlah kalian tertipu oleh banyaknya orang yang melakukan amalan tersebut dan tidak pula karena ia disebutkan dalam kitab Kuutul Qulub atau Ihya’ Ulumuddin.
d. Imam Adz-Dzahabiy (748 H), dalam kitabnya Siyar Alamin NUbala’ Juz 19 hal 329, ia berkata: “Didalam kitab Ihya’ banyak terdapat hadits yang batil. Selain itu juga terdapat kebaikan-kebaikan padanya”.
e. Imam Ibnu Katsir (774 H) dalam kitabnya Bidayah wal An- Nihayah Juz 12 Halaman 174 ia berkata:”Ia (Al- Ghazali) menulis kitab Ihya’ Ulumuddin, yang merupakan kitab yang mengherankan, kitab ini telah bercampur dengan sesuatu yang halus dari ajaran filsafat (Yunani) dan amalan-amalan hati akan tetapi didalamnya terdapat hadits-hadits aneh, mungkar dan palsu”.
f. Ibnu Syakr, berkata Imam Al- Ghazali pernah berkata kepadanya bahwa perbendaharaannya tentang ilmu hadits adalah sangat sedikit.
g. Al- hafidz al- Iraqy, beliau telah menulis sebanyak tiga kitab yang isinya berupa Takhrij dan Tahqiq terhadap sanad dan matan Hadits dalam kitab Ihya’ Ulumuddin dan beliau menemukan sebanyak 943 Hadits dalam kitab Ihya’ Ulumuddin adalah Hadits yang tidak ada asal-usulnya atau dengan kata lain terdapat 943 hadits palsu.
h. Al- Hafidz Ibnu Hajar al- Asqalaniy telah menulis kitab al- Istidrak ‘ala Takhrijul Ihya’ yang menjelaskan hadits-hadits mungkar dalam kitab Ihya’ yang terlewat pembahasan oleh alhafidz Al- Iraqy.
i. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, didalam kitabnya Al- Istiqomah berkata tentang Imam al- Ghazali:” Walaupun terdapat banyak celaan dan kritikan terhadabnya serta kitabnya Ihya’ Ulumuddin karena banyaknya kesalahan-kesalahan yang terdapat didalamnya yang memang perlu dijelaskan kepada ummat, namun diakhir hayatnya beliau kembali kepada kebenaran dan sunnah dan mendalami kitab as- Shahihain (Bukhari Muslim) bahkan ketika wafat, kitab Shahih Bukhari masih berada dipangkuannya”
G. Khatimah
Sebagai penutup pembahasan kali ini saya, tegaskan bahwa bershalawat kepada Rasulullah SAW, adalah perkara yang disyari’atkan, namun perlu dipahami bahwa dalam bershalawat kepada beliau SAW, haruslah mengikuti kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh sang pembuat syari’at, yakni Allah SWT dan Rasul Nya Muhammad SAW, karena sebaik apapun perkataan manusia, tidaklah sebaik perkataan Rasulullah SAW, karena tidak ada seorang manusiapun dimuka bumi yang terbebas dari dosa dan kesalahan, selain Rasulullah SAW. Sehingga pantaslah salah seorang Imam kaum Muslimin, Imam Malik Rahimahullah mengatakan siapapun perkataannya bisa diterima atau ditolak, kecuali penghuni makam ini” beliau mengatakan hal ini sambil menunjuk makam Rasulullah SAW.
Ingatlah, perkara yang baik menurut persangkaan kita, belumlah baik menurut syari’at, sebab apabila kita menganggap baik suatu amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, maka sesungguhnya kita telah membuat syari’at baru yang tidak diizinkan oleh Allah SWT, sebagaaimana perkataan Imam Asy- Syafi’I Raahimahullah: “Man Istahna Faqod Syaro’a”. Barangsiapa yang menganggap baik suatu amalan (yang tidak pernah dicontohkan) maka sesungguhnya ia telah membuat syari’at baru.
Terkadang kita menemukan sebagian dari saudara-saudara kita yang sangat taqlid terhadap pendapat Ustadz atau Kiainya, tanpa pernah melakukan tabayyun terhadap perkataan mereka. Keadaan ini mungkin sangat dipengaruhi oleh pendapat Syaikh Nawawi Banten yang mewajibkan taqlid terhadap salah satu imam dari Imam mahdzab, mungkin ini adalah salah satu kekeliruan terbesar beliau, dengan tanpa mengurangi sedikitpun rasa hormat kami terhadap jasa-jasa beliau dalam mengembangkan dakwah islam, namun sekali lagi bahwa tidak ada satupun dimuka bumi ini yang terbebas dari kesalahan selain Rasulullah SAW, maka hal ini pula pasti tidak luput dari pribadi Syaikh Nawawi Banten Rahimahullah.
Pendapat Syaikh Nawawi Banten, yang mewajibkan Taqlid terhadap salah satu Imam Mahdzab adalah sebuah kekeliruan, sebab bertentangan dengan pendapat Imam Mahdzabnya sendiri, yakni Imam Asy- Syafi’I rahimahullah, dimana Imam Asy- Syafi’I Rahimahullah pernah berkata : “
a. "Setiap orang harus bermadzhab kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mengikutinya. Apa pun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku katakan itu berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tetapi ternyata berlawanan dengan pendapatku, apa yang disabdakan oleh Rasulullah itulah yang menjadi pendapatku "
b. "Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa orang yang secara jelas telah mengetahui suatu hadits dari Rasulullah tidak halal meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang "
c. "Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan Hadits Rasulullah, peganglah Hadits Rasulullah itu dan tinggalkan pendapatku itu "
d. "Bila suatu Hadits shahih, itulah madzhabku "
e. "Engkau [ ] lebih tahu tentang Hadits dan para rawinya daripada aku. Apabila suatu Hadits itu shahih, beritahukanlah kepadaku biar di mana pun orangnya, apakah di Kuffah, Bashrah, atau Syam, sampai aku pergi menemuinya"
f. "Bila suatu masalah ada Haditsnya yang sah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menurut kalangan ahli Hadits, tetapi pendapatku menyalahinya, pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati "
g. "Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang ternyata menyalahi Hadits Nabi yang shahih, ketahuilah bahwa hal itu berarti pendapatku tidak berguna "
h. "Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Hadits Nabi lebih utama dan kalian jangan bertaqlid kepadaku "
i. "Setiap Hadits yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, berarti itulah pendapatku, sekalipun kalian tidak mendengarnya sendiri dari aku "
Demikianlah pendapat ima Asy- Syafi’i Rahimahullah tentang taqlid, sehingga apabila anda memang merasa perlu taqlid terhadap ajaran mahdzab beliau, maka tidak bertaqlid terhadap pendapat salah satu ulama’ saja adalah salah satu pendapat dalam mahdzab beliau Rahimahullah.
Demikianlah tulisan ini kami buat, apabila ada kesalahan dan kekurangannya semata bersumber dari kami pribadi, semoga Allah SWT, senantiasa memberikan petunjuk kepada kami, demi kesempurnaan tulisan ini dimasa yang akan datang, dan apabila ada benarnya, semoga Allah SWT menjadikan tulisan sebagai ladang pahala yang tiada putusnya, amiin ya Rabbal ‘alamiin.
Mulai ditulis di Desa Sarimulyo Kecamatan Kabangka dan Selesai di Kendari tanggal 3 Dzulqaidah 1432 H bertepatan dengan 30 September 2011M