Oleh : Wayer Haris Sauntiri, S.T
Alhamdulillahi
robbil ‘alamiin, Allahumma Sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aalihi wa ashaabihi wa
man tabi’ahum ‘ila kiyamis Sa’ah, amma ba’du
Tulisan
singkat ini adalah sedikit bentuk muhasabah diri, sebab kebiasaan jahiliyyah
dan penuh dengan kebodohan ini pernah saya amalkan sendiri, sehingga bagi
mereka yang pernah berada dalam satu “manhaj” dengan saya di masa lalu dapat
mengambil i’tiba’/pelajaran sehingga dengan izin Allah dapat pula meninggalkan
bentuk-bentuk amalan yang menyelisihi sunnah Rasul, dan kembali pada amalan
yang sesuai dengan sunnah Rasulullah saw.
Dahulu
kala ketika saya masih berada di kampung halaman, dimana pengetahuan agama yang
saya miliki hanya sekedarnya saja. Itupun kebanyakan amalan saya di dasarkan
atas taqlid (mengikut secara Buta) tanpa pernah tahu atau mau tau dengan dalil
yang melatar belakanginya, pokoknya apa yang diucapkan Ustadz atau tokoh agama
saya nurut saja, bahkan tatkala saya disuruh puasa mulai hari selasa, berbuka
maghrib, hari Rabu, juga berbuka pada waktu maghrib dan dilanjutkan pada hari
Kamis dengan tanpa berbuka + tidak tidur Sampai Subuh + mengamalkan Amalan
tertentu dengan jumlah tertentu, sayapun nurut saja, padahal jelas-jelas Allah
Azza wa Jalla melarang seseorang untuk mengikuti apa-apa yang kita tidak punya
ilmu tentangnya, sebagai mana firmannya:
وَلا
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ
كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا (٣٦)
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai Ilmu tentangnya
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al- Isro’ ayat 36).
Kemudian,
Allah Azza wa Jalla juga memerintahkan kepada kita untuk mengikuti “Manhaj” Nabi
SAW, sebagaimana firman Nya:
قُلْ إِنْكُنْتُمْ
تُحِبُّوْنَ اللهُ
فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَ ياَغْفِر لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ
"Katakanlah (Wahai Muhammad)!, Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu" (QS. Ali- Imran : 31)
Dan diantara Manhaj Nabi
sebagai mana disebutkan oleh Imam Asy- Syafi’i (Imam Syafi’i) adalah
menyesuaikan amalan dengan sunnah Rasulullah saw, bila sesuai dengan sunnah
maka ambillah dan bila tidak sesuai dengan sunnah maka kita tinggalkan, bahkan
beliau (Imam Syafi’i) mengatakan bila ada pendapatnya yang menyelisihi Sunnah
(Hadits) Nabi saw, maka beliau memerintahkan pengikutnya untuk meninggalkan
pendapatnya. Berikut beberapa perkataan Imam asy- Syafi’:
إِذَا
وَجَدْ تم سنّة من رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم خلاف قولي فخذوا باسنّة،
ودعوا قولي فإنّى أقولبِها
“Jika kalian mendapati Sunnah dari
Rasulillah saw yang menyelisishi perkataanku maka ambillah sunnah dan
tinggalkanlah pendapatku. Karena aku (akan) berpendapat dengan sunnah tersebut”
(Atsar Shahih diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam Kitab Tarikh Damasyq Juz 51
hal. 389)
كلّ
حديث عن النّبيّ صلى الله عليه وسلم فهو قولى، وإنّلم تسمعوه منّ
“Seluruh hadits dari Nabi saw maka
itu adalah pendapatku, meskipun kalian tidak mendengarnya dariku” (Atsar Shahih
diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam Kitab Tarikh Damasyq Juz 51 hal. 389)
Dari dua perkataan ini, jelaslah
bagi kita bahwa tidak ada satupun dalil dari mahdzab Syafi’iyah yang mewajibkan
Taqlid, kepada salah satu Imam Mahdzab; bahkan Imam asy- Syafi’i sendiri
melarang taqlid, sehingga terang bagi kita bahwa barang siapa yang
mengkampanyekan bahwa kita harus taqlid kepada salah satu imam Mahdzab dan ia
mengatas namakan mahdzab Syafi’i, maka ketahuilah bahwa ia telah berdusta atas
nama Imam asy- Syafi’i Rahimahullah.
Itulah sedikit gambaran betapa
Jahilnya saya dahulu, sehingga dengan mudahnya saya ikut dalam ritual-ritual
bid’ah yang penuh dengan penentangan kepada Sunnah as- Shohiihah. Diantara
penentangan yang pernah saya lakukan dulu adalah Puasa Wishol, sebagaimana yang
telah saya kemukakan diatas, lantas bagaimanakan dalil syari’at menyikapi puasa
Wishol ??, berikut pembahasannya:
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْوِصَالِ قَالُوا إِنَّكَ تُوَاصِلُ قَالَ إِنِّي لَسْتُ
كَهَيْئَتِكُمْ إِنِّي أُطْعَمُ وَأُسْقَى
“Telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya ia berkata, saya telah membacakan
kepada Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar radliallahu 'anhuma : bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam melarang puasa Wishal, maka para sahabat
pun berkata, "Bukankah Anda sendiri melakukan puasa Wishal?"
Beliau bersabda: "Sesungguhnya saya
tidaklah sebagaimana kalian, karena saya diberi makan dan minum (oleh Rabb-ku)."
(HR. Bukhari No. 1788, Muslim No. 1844), Abu Dawud No. 2013, Ahmad Juz 2 hal
128 dan Malik No. 590)
و
حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
نُمَيْرٍ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا عُبَيْدُ
اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاصَلَ فِي رَمَضَانَ فَوَاصَلَ
النَّاسُ فَنَهَاهُمْ قِيلَ لَهُ أَنْتَ تُوَاصِلُ قَالَ إِنِّي لَسْتُ مِثْلَكُمْ
إِنِّي أُطْعَمُ وَأُسْقَى و حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ بْنُ عَبْدِ الصَّمَدِ
حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِمِثْلِهِ وَلَمْ يَقُلْ فِي رَمَضَانَ
“Telah
menceritakannya kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan
kepada kami Abdullah bin Numair -dalam jalur lain- Dan telah
menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami bapakku
telah menceritakan kepada kami Ubaidullah dari Nafi' dari Ibnu
Umar radliallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
melakukan puasa Wishal di bulan Ramadlan, sehingga orang-orang pun ikut
melakukannya. Mengetahui hal itu, maka beliau melarang mereka.
Akhirnya mereka bertanya, Bukankah Anda sendiri
melakukan puasa wishal? beliau bersabda: Sesungguhnya
saya, tidaklah sebagaimana kalian, karena saya diberi makan dan minum (oleh
Rabb-ku). Dan telah menceritakan kepada kami Abdul Warits bin Abdush
Shamad telah menceritakan kepadaku bapakku dari kakekku dari Ayyub
dari Nafi' dari Ibnu Umar radliallahu 'anhu, dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, dengan hadits semisalnya, namun ia tidak
mengatakan; Di bulan Ramadlan.” (HR. Muslim No. 1845)
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِيَّاكُمْ وَالْوِصَالَ
“Dari Abu
Hurairah radliallahu 'anhu, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: Janganlah kalian melakukan
puasa wishal.” (HR. Bukhari No. 1829 dan
1830, Muslim No. 1846 dan 1847, Imam Ahmad Juz 2 hal. 237, 244, 253,
257, 261, 281, 315, 345, 377, 495 dan 516, Imam Malik No. 591 dan ad- Darami
No. 1641 dan 1644).
Dari
hadits-hadits diatas dapat kita ketahui bahwa puasa wishol (puasa terus menerus
tanpa berbuka) adalah perkara yang dilarang oleh Nabi saw, dan bila hal ini
kita kembalikan kepada kaidah Ushul Fiqh, bahwa hukum asal perintah adalah
wajib dan hukum asal larangan adalah Haram, maka hukum puasa wishol adalah
haram, sebab tidak ada dalil yang menyelisihi hadits yang melarang tersebut,
sehingga tsabit lah bagi kita tentang haramnya puasa wishol tersebut, Wallahu
Ta’ala a’lam bish- Showaab.
Jadi
masih mau menjalani rutinitas yang mengharuskan puasa wishol sebagai salah satu syaratnya???, Yang pasti
bahwa sesuatu yang mengharuskan pelanggaran terhadap hukum-hukum syari’at,
telah jelas baginya kemungkaran, dan setiap kemungkaran akan mendapatkan
balasan yang pedih dari Allah Azza wa Jalla, Wal ‘Iyadzubillah...........
Kendari, 19
Rabiul Awwal 1433 H
12 Februari 2012 M
Wayer Haris sauntiri, S.T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar