Senin, 05 Maret 2012

Tatacara mandi wajib dari Rasulullah 

Oleh
:
Wayer Haris Sauntiri, S.T

Mukaddimah
Alhamdulillah, segala puji bagi Nya dan hanya kepada Nya kita menyembah dan memohon pertolongan, shalawat dan salam kepada qudwah terbaik kita Rasulullah Muhammad a, berikut keluarganya para sahabat serta seluruh pengikutnya yang tetap istiqomah dijalan Islam hingga akhir zaman nanti.
Amma ba’du,
Beberapa waktu yang lalu, ketika ana masih berada di kampung halaman, ana terlibat diskusi tentang berbagai persoalan dien dengan salah seorang ustadz. Diantara berbagai materi yang kami diskusikan adalah tentang persoalan pemahaman sebagian kaum muslimin tentang mandi wajib, yang menurut beliau banyak diantara kaum muslimin yang ternyata belum memahami secara benar bagai mana cara mensucikan dirinya dari hadats besar. Dan ketika ana katakan bahwa hal tersebut tentunya tidak berlaku bagi mereka-mereka yang sudah pernah menempuh pendidikan di pesantren, ternyata jawaban yang beliau utarakan diluar dugaan, beliau mengatakan tidak semuanya yang dari pesantren memahami tata cara mandi wajib dengan benar, terlebih bila perkara tersebut disesuaikan dengan Sunnah Rasulullah a.
Dan demi mengetahui kenyataan seperti ini, dengan keterbatasan ilmu yang ada, ana tergerak untuk menulis risalah singkat tentang tata cara mandi wajib sesuai yang dicontohkan oleh Rasulullah a dengan bahasa yang se-sederhana mungkin dengan harapan  masyarakat awam dapat memahaminya dengan mudah.
Demikianlah sedikit pemaparan tentang tata cara mandi wajib sesuai yang dicontohkan oleh Rasulullah a, semoga dapat memberikan manfaat bagi pembaca sekalian dan semoga dapat menjadi amal shalih di hadapan Allah Azza wa Jalla.
                                                                        Kendari, 4 Februari 2012
Di Muroja’ah kembali pada hari Jum’at 10 Februari 2012
                                                                       
                                                                            




Beberapa kaifiah mandi wajib sesuai Sunnah Rasulullah a.
1.    Cara Pertama; bersumber dari ‘Aisyah I.
كَانَ رَسُوْلُ اللهa   إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الجَنَابِهِ يَبْدَ أُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ ثُمَّ يَفْرِغُ بِيَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ ثُمَّ يَتَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ يَأْخُذُ الْمَاءَ فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ  فِىْ أُصُوْلِ الشَّعْرِ حَتَّى إِذَ ارَأَى قَدِ اسْتَبَرَأَ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَا تٍ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَا ئِرِ جَسَدِهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ
“Bahwa Rasulullah a jika mandi wajib, beliau memulainya dengan mencuci kedua tangan, lalu menuangkan air dengan tangan kanan ke tangan kirinya, kemudian mencuci kemaluannya. Setelah  itu,  beliau berwudlu sebagai mana wudhu’ untuk shalat, kemudian beliau mengguyurkan air dikepalanya dan dengan jari-jarinya beliau menyela-nyela pangkal rambut sampai merata. Kemudian beliau menciduk air dengan kedua telapak tangannya dan disiramkan kekepalanya tiga kali, kemudian mengguyur seluruh tubuhnya dan (terakhir) beliau membasuh kedua kakinya” (Hadits Shahih Marfu’ : HR. Bukhori No. 240, 250, 254 dan 264, Muslim No. 474, at- Tirmidzi No. 97, an- Nasa’I No. 228, 231, 232, 233, 234, 235, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 249, 407, 408, 409, 410, 419, 420 dan 421, Abu Dawud No. 208, 209, 210 dan 211, Ibnu Majah No. 370 dan 567, Imam Ahmad dalam Kitab Musnadnya. JUz VI halaman. 52, 70, 71, 96, 101, 115, 143, 161, 171, 173, 188, 222, 236 dan 252, Imam Malik dalam Kitab al- Muwattha’ No. 89 dan 90 serta ad- Daramiy No. 741 dan 743).
Dari Hadits diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa tata cara mandi wajib Rasulullah a yang di saksikan oleh istri beliau a, ‘Aisyah Iadalah:
1.       Mencuci kedua tangan (Dengan maksud membersihkannya dari kemungkinan najis yang ada padanya)
2.     Menciduk air dengan tangan kanan lalu dituangkan ketangan kiri, kemudian dengan tangan kiri mencuci kemaluan.
3.      Berwudhu sebagai mana wudhu untuk shalat.
4.     Mengguyur kepala dengan air kemudian menyela-nyela pangkal rambut dengan jari (dengan maksud agar seluruh kulit kepala terkena air).
5.      Menciduk kepala dengan kedua tangan (yang disatukan) lalu disiramkan ke kepala 3 kali.
6.      Mengguyur seluruh tubuh (dengan maksud membasahi seluruh tubuh tanpa terkecuali).
7.      Sebagai penutup mandi wajibnya, nabi a membasuh kedua kakinya.




2.   Cara kedua; bersumber dari Maimunah I.
أَدْنَيْتُ لِرَ سُوْلِلّٰهِ a  غُسْلَهُ مِنَ الجَنَابِهِ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ مَرَّتَيْنِ اَوْ ثَلَاثَ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِى الْإِنَاءِ ثُمَّ أَفْرَغَ بِهِ  عَلَى فَرْجِهِ وَ غَسَلَهُ بِشِمَالِهِ ثُمَّ ضَرَبَ بِسِمَالِهِ الْأَرضَ فَدَلَكَهَا دَلْكًا شَدِيْدًا ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ مِلْءَ كَفِّهِ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ ثُمَّ تَنَحَّى ءَنْ مَقَامِهِ مِن ذَلِكَ فَغَسَلَ رِجْلَيْهِ ثُمَّ أَتَيْتُهُ بِا اْمِنْدِ يْلِ فَرَدَّهُ
Maimunah Iberkata: “Saya pernah memberikan air kepada Rasulullah a untuk mandi jinabat. Beliau a mencuci kedua telapak tangannya dua atau tiga kali, kemudian memasukkan tangannya kedalam air dan menuangkan air pada kemaluan beliau dan mencucinya dengan tangan  kiri. Setelah itu, beliau a menekankan tangan kirinya ketanah dan menggosokkannya keras-keras. Setelah itu, beliau berwudhu’ dengan sebagaimana wudhu’ untuk shalat. Kemudian beliau menuangkan air ke kepala tiga kali cidukan tangan, selanjutnya beliau membasuh seluruh tubuh lalu bergeser dari tempat semula. Kemudian aku (Maimunah I) mengambil handuk untuk beliau tetapi beliau menolaknya” (HR. Bukhori No. 241, Muslim No. 476, at- Tirmidzi No. 96, an- Nasa’I No. 415 dan 416, Ibnu Majah No. 556, Imam Ahmad dalam Kitab Musnadnya Juz VI hal. 329, 335 dan 336 dan ad- Daraniy No. 740).
Sehingga dari hadits diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa tata cara mandi wajib Rasulullah a yang di ketahui dan disaksikan oleh Maimunah I adalah:
1.       Nabi a  mencuci kedua telapak tangannya dua atau tiga kali.
2.     Menciduk air dengan tangan (kanan) lalu menuangkan air pada kemaluan dan mencucinya dengan tangan kiri.
3.      Menggosok tangan kiri ke tanah keras-keras.
4.     Berwudhu’ sebagai mana wudhu’ untuk shalat.
5.      Menuangkan air ke kepala dengan 3 kali cidukan tangan.
6.      Mengguyur (membasahi) seluruh tubuh.
7.      Bergeser dari posisi semula lalu mencuci kedua kaki.
8.      Maimunah Imemberi handuk pada Nabi a, tetapi Nabi a menolaknya.
Dalam dua hadits diatas disebutkan tata cara mandi wajib Rasulullah a yang diriwayatkan oleh dua istri beliau a, maka sebagai ummatnya, hendaknya kita memilih salah satu diantaranya dan lebih utama bila kita melakukan salah satu diantaranya secara bergantian didalam setiap melakukan mandi jinabat. Karena sesungguhnya Rasulullah a telah mencontohkan kepada kita tata cara mandi jinabat yang benar dan petunjuk Nabi a adalah sebaik-baik petunjuk sebagaimana sabda beliau a:
وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيِ مُحَمَّدٍ a
“Dan sebaik- baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad a” (HR. Muslim dan at- Tirmidzi).
Secara umum, tidak ada perbedaan cara mandi wajib antara laki-laki dan perempuan, terkecuali beberapa hal sebagai berikut:
1.       Seorang perempuan yang telah berhenti/ selesai dari haid atau nifasnya, sebelum ia melaksanakan mandi wajib hendaknya ia mengambil kapas yang telah diberi minyak wangi kemudian dengan kapas tersebut ia membersihkan sisa darah ditempat keluarnya darah. Sebagaimana hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ I قَالَتْ: سَأَلْتُ أَمْرَأَةٌ اَلنَّبِيِّ a  كَيْفَ تَغْتَسِلُ مِنْ حَيْضَتِهَا؟. قَالَ: فَذَكَرَتْ أَنَّهُ عَلَيْهَا كَيْفَ تَغْتَسِلُ ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مِنْ مِسْكٍ فَتَطَهَّرَ بِهَا. قَالَتْ: كَيْفَ أَتَطَهَّرَ بِهَا؟. قَالَ تَطَهَّرِى بِهَا سُبْحَانَ الله، وَسْتَتَرَ وَ أَثَرَ لَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ بِيَدِهِ وَجْهِهِ قَالَ قَالَتْ عَئِشَةُ وَجْتَذَبْتُهَا إِلَيَّ وَ عَرَفْتُ مَا أَرَادَ اَلنَّبِيِّ a  فَقُلْتُ تَتَبَّعِىْ بِهَا أَثَرَ الدَّمِ
“Dari ‘Aisyah I ia berkata: Seorang wanita bertanya kepada Nabi a, tentang cara mandi dari haidh, kemudian ‘Aisyah I menjelaskan cara mandi wajib; kemudian Rasulullah a bersabda: “Ambillah kapas yang telah diberi misk (sejenis minyak wangi), lalu bersihkanlah dengan kapas itu”. Wanita itu bertanya: “Bagaimana cara membersihkannya?”. Nabi a bersabda: “Subhanallah, bersihkan saja dengan kapas itu!”. Dan beliau a bersembunyi. (Sufyan bin Uyainah memberi isyarat tangan kepada kami pada wajahnya). Perawi hadits melanjutkan : “Aisyah berkata: Kemudian aku tarik wanita itu mendekat kepadaku kemudian berkata: “Aku tahu apa yang dimaksud dengan nabi a, bersihkan bekas darah haidmu dengan kapas itu”. (HR. Bukhari No. 303, 304 dan 6.810, Muslim No. 449, an- Nasa’I No. 251 dan 424, Abu Dawud No. 270, Ibnu Majah No. 634, Imam Ahmad dalam Kitab Musnadnya hal. 147 dan 188 dan ad- Daraami No. 766.)
2.      Bagi wanita yang menggelung rambutnya, hendaklah ia tidak perlu repot-repot mengurai rambutnya, tetapi cukup baginya menyiram kepalanya tiga kali sebagai mana disebutkan dalam hadits berikut:
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: قَلْتُ: يَا رَسُوْلُ اللهِ! إِنِّى امْرَأَةٌ أَشُذُّ ضَفْرَ رَأْسِىْ، أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟، فَقَالَ: إِنَّمَا يَكْفِيْكِ أَنْ تَحْشِ عَلَيْهِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ مِنْ مَاءٍ، ثُمَّ تُفِيْضِ عَلَيْكِ مِنَ الْمَاءِ فَتَطْهُرِيْنَ. اَوْ قَالَ: فَإِذَا أَنْتِ قَدْ طَهُرَتِ.
“Dari Ummu Salamah I, dia berkata: “Wahai Rasulillah! Aku adalah seorang wanita yang menggelung rambut kepalaku, apakah aku harus mengurainya untuk mandi junub?.” maka Nabi a menjawab: “Cukuplah bagimu menuangi rambutmu dengan tiga kali siraman air, kemudian kamu siram tubuhmu (seluruhnya) dengan air, maka sucilah kamu” atau beliau bersabda: “Dengan demikian kamu telah suci”. (HR. Muslim, Abu Dawud No. 245, Ibnu Majah No. 493, tercantum dalam Kitab al- Irwa’ al- Ghalil No. 136 dan as- Shahiihah No. 189)  


Berikut adalah beberapa kesalahan seputar Thaharah dan Mandi Wajib.
1.   Ada sebaian kaum  muslimin yang melarang orang yang berhadats untuk menyentuh air yang volumenya kurang dari 2 kullah, bila air itu digunakan untuk bersuci, padahal anggapan ini adalah anggapan salah karena bertentangan dengan nash yang memperbolehkan menyentuh air bila diyakini tidak terdapat najis, sebab hadats bukanlah najis dan tubuh seorang muslim tidaklah najis. Adapun hadits Keadaan ini, sebenarnya telah dijelaskan pada dua hadits tentang tata cara mandi wajib Rasulullah a diatas, yakni bahwa nabi a menciduk dengan kedua tangannya untuk membasahi rambutnya, namun demi untuk semakin memperjelas tentang masalah ini, maka ada baiknya bila kami kemukakan beberapa dalil tambahan sebagai berikut:
عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّ النَّبِيِّ  aلَقِيَهُ فَأَهْوَى إِلَيْهِ فَقَالَ: إِنِّى جُنُبٌ فَقَالَ: إِنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَنْجُسُ.
“Dari Hudzaifah (bin Yaman) E: “Bahwasannya Nabi a pernah bertemu dengannya. maka beliau a mengulurkan tangannya (untuk bersalaman), lalu aku berkata: “Sesungguhnya saya sedang junub”, maka Nabi a bersabda: “Sesungguhnya orang muslim itu tidak najis” (HR. Muslim dan Abu Dawud No. 230) ada juga hadits serupa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud No. 231 dari Abu Hurairah E).
عَنْ عَائْشَةَ قَالَتْ: كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَ النَّبِيُّ aمِنْ إِنَاءٍ وَ احِدٍ تَخْتَلِفُ أَيْدِيْنَا فِيْهِ.
“Dari ‘Aisyah I: ia berkata: “Aku mandi bersama Nabi a dari satu bejana, dan tangan kami bergantian didalamnya” (HR. Bukhari No. 261).
Dan dari hadits ini dapat di lihat bahwa Nabi a dan ‘Aisyah I ketika mandi dari Jinabat secara bersama-sama (mandi bareng), dan mereka menciduk air dengan tangan mereka, sebab dari dzahir hadits ini sama sekali tidak menunjuk kan bahwa mereka mandi jinabat dengan menggunakan timba/gayung atau yang semisalnya, dan hal ini diperkuat dengan hadits yang telah saya kemukakan pada awal pembahasan kali ini. Wallahu Ta’ala a’lam bish- Showaab.  
Dari Maimunah I; Ia berkata :”Saya dalam keadaan junub, maka akupun mandi dari bak air, lalu air tersisa dalam bak tersebut kemudian datanga Nabi a untuk berwudhu’, maka akupun memberitahukan hal tersebut padanya, dan beliau bersabda: “Sesungguhnya air itu tidak junub” (HR, Bukhari dan ad- Daruquthni). Ada hadits serupa yang bersumber dari Ibnu Abbas (Abdullah bin Abbas) E berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: اِغْتَسَلَ بَعْضَ أَزْوَ اجِ النَّبِيِّa  فِيْ جَفْنَةٍ فَجَاءِ النَّبِيِّ a  لِيَتَوَ ضَّأَ مِنْهَا أَوْ يَغْتَسِلَ فَقَالتْ لَهُ: يَا رَسُوْلَ الله إِنِّيْ كُنْتُ جُنُبًا فَقَالَ رَسُوْلَ الله a إِنَّ الْمَاءَ لَا يَجْنِبُ.
“Dari Ibnu Abbas E, ia berkata: “Pernah sebagian istri Nabi a mandi dengan air di dalam bejana besar, kemudian datang Nabi a untuk berwudhu atau mandi (dengan sisa air) dalam bejana tersebut, maka Maimunah berkata padanya : “Wahai Rasulullah ! tadi saya dalam keadaan junub, lalu Nabi a bersabda : “Sesungguhnya air itu tidak junub” (HR. Abu Dawud No. 68).
وَ أَدْخَلَ ابْنُ عُمَرَ وَ الْبَرَ اعُ بْنُ عَازِبٍ يَدَهُ فِىْ الطَّهُوْرِ وَلَمْ يَغْسِلُهَا ثُمَّ تَوَضَأَ وَلَمْ يَرَ ابْنُ عَبَّاسٍ بَأْسً بِمَا يَنْتَضِعُ مِنْ غُسْلِ الْجَنَابَةٍ.
“Ibnu Umar dan Barra’ bin ‘Azib E memasukkan tangannya kedalam air untuk bersuci dan tidak mencuci kedua tangannya, kemudian berwudlu. Ibnu Abbas menganggap tidak masalah dengan bekas percikan mandi junub” (HR. Bukhari dalam Kitab Fathul Baary  juz III hal 421).
“Dari Sya’bi (seorang tabi’in) ia berkata: “Sahabat-sahabat Rasulullah a memasukkan tangan mereka kedalam air sebelum mencucinya padahal mereka dalam keadaan junub (HR. Bukhari dalam Kitab Fathul Baary  juz III hal 422). Pendapat seperti ini juga dikemukakan oleh Hasan al- Basri w (Tabi’in besar dari Basrah, Iraq): “Siapa yang bisa menjaga percikan air?. Kita berharap rahmat Allah Azza wa Jalla yang sangat luas”.
Terhadap masalah ini, mungkin dari kalangan muta’ashibin (Fanatikus mahdzab) akan berkata mungkin air yang digunakan untuk mandi jinabat tersebut lebih dari dua kullah, maka terhadap pendapat ini saya katakan merupakan pendapat yang salah. Saya katakana salah dengan berargumen dengan dalil yang akan saya kemukakan berikut, Insya Allah
 عَنِ ابْنِ جَبْرٍ قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسًا ياقُوْلُ: كَانَ النَّبِيُّ a يَغْسِلُ أَوْ كَانَ يَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ إِلَي خَمْسَةِ أَمْدَ ادٍ وَيَتَوَ ضَّأْ بِالْمُدِّ.
“Dari Ibnu Jabr ia berkata: “Saya mendengar Anas E berkata: “Nabi a pernah mencuci atau mandi dengan air sebanyak satu sho’ hingga lima mud dan berwudhu’ dengan satu mud” (HR. Bukhari No. 201; Fathul Baary Juz 2 hal. 227).
Berikut adalah uraian tentang Mud dan Sho’.
Diketahui bahwa Massa Jenis = 103 Kg/m3
1m = 10 dm dan 1 Liter = 1dm3;
10 dm x 10 dm x 10 dm = 1000dm3 = 1000 Liter
1 m3 =1000 Kg = 1000 Liter
1 Kg =1000 gr
¨      1 Sho’ = 5 Rithl menurut pendapat Jumhur ‘Ulama’ sementara menurut Mahdzab Hanafiyah 1 Sho’= 8 Rithl.
1 Rithl = 12 Uqiyah = 2564 gram = 2,564 Kg =2,564 Liter ≈ 2,6 Liter
Sehingga 1 Sho’ = 2,6 liter X 5  Rithl =13,858 Liter menurut Jumhur ‘Ulama’ atau 2,6 X 8 Rithl = 20,8 Liter menurut Mahdzab Hanafiyah.
¨      1 Mud adalah bejana yang dapat menampung 1  Rithl Iraq menurut Jumhur ‘Ulama’ dan 2 Rithl menurut Mahdzab Hanafiyah.
Sehingga 1 Mud => 1  Rithl X 2,6 Liter = 3,458 Liter menurut Jumhur ‘Ulama atau 2 Rithl X 2,6 Liter = 5,6 Liter menurut Mahdzab Hanafiyah.
5 Mud = 17,29 Liter menurut Jumhur Ulama’ dan 28 Liter menurut Mahdzab Hanafiyah
Perhatian !!!
Air dikatakan mencapai dua kullah bila volumenya mencapai 216 Liter sementara Nabi a dan para sahabatnya walaupun mereka dalam keadaan Junub ataupun berhadats tetap mencelupkan tangan mereka kedalam air baik ketika hendak berwudhu’ ataupun mandi jinabat dalam 1 Mud air (± 3,5 – 5,6 liter) ataupun mandi jinabat dengan 1 Sho’ air (± 13,9 – 20,8 Liter) atau 5 Mud17,29 - 28 Liter), sehingga jelaslah bagi yang memiliki basyirah bahwa tidak mengapa mencelupkan anggota tubuh kedalam air bila diyakini padanya tidak terdapat najis, dan perlu diperhatikan bahwa Hadats bukanlah Najis, sebab Najis dan Hadats adalah sesuatu yang berbeda. Maka perhatikan !!!.
وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ a إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ  أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ
Dari Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah a bersabda: "Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya kecuali oleh sesuatu yang dapat merubah bau, rasa atau warnanya." Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dianggap lemah oleh Ibnu Hatim.
وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ a : إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ
Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah a bersabda: "Jika banyaknya air telah mencapai dua kullah maka ia tidak mengandung kotoran." (HR. Abu Dawud No. 63, at- Tirmidzi, Ibnu Majah dan an- Nasa’i dan dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Hakim, dan Ibnu Hibban.)
وَفِي لَفْظٍ لَمْ يَنْجُسْ  أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ  وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وَابْنُ حِبَّانَ
Dalam suatu lafadz hadits: "Tidak najis". (HR. Abu Dawud No. 65, at- Tirmidzi, Ibnu Majah dan an- Nasa’i dan dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Hakim, dan Ibnu Hibban.)
عَنْ أَبِىْ سَعِدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُ قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ a أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُطْرَحُ فِيْهَا الْحِيْضُ وَلَحْمُ الْكِلَابِ وَالنَّتْنُ فَقَالَ رَسُوْلِ اللهِ a: الْمَاءُ طَهُوْرٌ لَايُنَجِّسُهُ شَيْءٌ.
"Dari Abu Sa'id al- Khudri r.a, bahwa Rasulullah a pernah ditanyakan: "Apakah kita akan berwudlu dengan memakai air sumur Budho'ah?. Sedangkan sumur tersebut biasa di airi air hujan, yang membawa kain bekas darah haid, daging-daging anjing dan kotoran manusia?" Maka Rasulullah a menjawab: "Sesungguhnya air itu suci dan mensucikan, tidak dinajiskan oleh sesuatu apapun" (HR Abu Dawud No. 66; Isnad Shahih)
Perhatian !!!
Catatan Tentang Hadits ini: Pada hadits selanjutnya No. 67 dalam Shahih Sunan Abu Dawud disebutkan bahwa: "Abu Daud berkata: "Aku mendengar dari Qutaibah bin Sa'id berkata: "Aku pernah menanyakan tentang kedalaman (air) sumur Budho'ah, maka di katakan sampai setinggi kemaluan dan dibawah aurat (lutut) bila surut." Kata Abu Daud aku pernah mengukur sumur tersebut menggunakan selendangku, ternyata lebarnya 6 hasta)"
Dalam Riwayat Ibnu Majah dengan jalan Hisyam bin Ammar dari Malik dan Riwayat Abu Dawud dari jalan Ubaidillah bin Umar dari Nafi’ dari Ibnu Umar E: “Kami memasukkan tangan-tangan kami kedalam air.”. Dalam riwayat ini terdapat keterangan bahwa menciduk air yang sedikit dengan tangan tidak menjadikan air itu musta’mal, sebab bentuk bejana mereka pada umumnya kecil sebagaimana ditegaskan oleh Imam asy- Syafi’i w dalam kitabnya al- Umm (Fathul Baary Juz II hal. 211), lihat penjelasan tentang volume air yang digunakan oleh Nabi a dan para sahabatnya diatas (Penulis).
Sebagai Faidah tambahan, Imam asy-Syafi’i w berkata dalam kitabnya al- Umm: “Tidak mengapa berwudhu’ dengan air seorang Musyrik atau menggunakan sisa air yang ia pakai selama diketahui tidak adanya najis”. Dari sini semakin jelas bagi kita bahwa bolehnya seseorang yang berhadats untuk menyentuh air walaupun air itu hendak digunakan untuk bersuci, sebab kondisi seorang Musyrik akan tetap dalam keadaan berhadats sampai kapanpun juga, sebab mereka tidak mengetahui kaifiah mensucikan diri dari hadats sebab bersuci dari hadats bukanlah bagian dari syari’at agama mereka (penulis).
Alasan kedua yang mungkin akan mereka gunakan untuk membantah pendapat kami adalah menghindarkan diri dari mencelupkan tangan kedalam air adalah kaidah was-wasah (berhati-hati), namun hal inipun ternyata telah dibantah oleh Imam asy- Syafi’i w dalam kitabnya al- Umm: ”Bila kalian mendapati air yang kalian ragu tentang kesuciannya, maka hukum air itu kembali pada hukum asalnya, yakni hukum asal segala sesuatu adalah suci, sehingga air itu dapat digunakan untuk bersuci”.
2.      Banyak orang yang meyakini bahwa orang yang dalam kondisi berhadats besar tidak boleh mencukur rambut, memotong kuku bahkan bila mendapati rambut atau kukunya lepas, maka ia harus menyimpannya dan ketika ia melakukan mandi wajib maka ia harus membasuhnya, mereka yang berpendapat seperti ini tentunya bukan tanpa dasar sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
مَنْ تَرَ كَ مَوْضِعَ شَعْرَةٍ مِنْ جَنَابَةٍ لَمْ يَغْسِلْهَا فُعِلَ بِهِ كَذَا وَكَذَا النَّارِ.
"Barangsiapa yang membiarkan seutas rambut tidak dibasuh ketika mandi jinabat, maka pastilah akan dibegini dan dibeginikan dengan api neraka."
Hadits ini dha'if.  Diriwayatkan oleh Abu Daud (249), Ibnu Abi Syibah dalam Al-Mushannif (II/35  ), Ibnu Majah (599), dan lainnya, dengan sanad dari Hammad bin Salamah, dari Atha' bin as-Saib, dari Zadan, dari Ali bin Abi Thalib a.
Asy-Syaukani w dalan kitab Nailul-Authar (I /239)  mengomentari pernyataan al-Hafidz Ibnu  Hajar al- Asqalaniy w dalam kitabnya at-Tahhish (hlm.52) mengatakan, "Imam Nawawi w menyatakan bahwa riwayat/hadits ini dha'if.  Atha'  dinyatakan dha'if  oleh jumhur  muhadditsin, sedangkan Hammad banyak riwayat yang dibawanya kurang mantap. Adapun mengenai Za’dan ada perbedaan pendapat di  kalangan muhadditsiin dalam menilainya.
Al- Imam Ash-Shon'ani w dalam kitabnya  Sabulus-Salam Syarh Bulughul Marom (I/127) mengatakan, "Sesungguhnya hadits dari Ali bin Abi Thalib ini telah diriwayatkan oleh Atha' bin Saib yang dikenal buruk hafalannya dan lmam Nawawi pun telah menyatakannya sebagai riwayat/hadits dha'if ."  Wallahul a'lam. (Al- Albany w dalam Kitab adh- Dha’ifah No. 930).
Dan oleh sebagian Ulama’ mengamalkan hadits dha’if untuk fadha’ilul amal diperbolehkan dengan syarat tidak dimashurkan (dipopulerkan) dan ketika menyampaikan hadits dha’if, wajib baginya menjelaskan tentang kelemahan hadits tersebut, tentu suatu beban dan tanggung jawab yang berat terkecuali bagi mereka yang telah memiliki ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu hadits, dan yang lebih menenangkan hati sebagai mana yang telah saya kemukakan dalam mukaddimah tulisan ini, lebih baik meninggalkan hadits dha’if secara mutlak dan lebih cenderung berpegang pada hadits-hadits yang rajah dan tsabit, dan hal ini merupakan pendapat Imam Ahmad bin Hambal, Bukhari, Muslim, Yahya bin Ma’in, Abu bakar Ibnul A’robi, Ibrahim an- Nakha’i dan lain-lain.
Yang benar untuk masalah ini adalah, boleh bagi seseorang yang sedang berhadats besar untuk bercukur, memotong kuku dan berbekam sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut:
وَقَالَ عَطَاءٌ يَحْتَجِمُ الْجُنُبُ وَيُقَلَّمُ أَظْفَارَهُ وَيُحْلِقُ رَ أْسَهُ وَإِنْ لَمْ يَتَوَضَأَ.
“Dan telah berkata Atha’ (Atha’ bin Yasir w seorang pembesar tabi’in): “Seorang yang dalam keadaan junub boleh berbekam, memotong kuku dan mencukur rambut, meskipun belum berwudhu’”. (HR. Bukhari secara mu’allaq dalam Fathul Baary Juz II hal. 469, di Maushulkan (Dinyatakan bersambung sanadnya sampai Rasulullah l) oleh Abdurrozzaq dengan Sanad Shahih, pendapat ini juga diperkuat dengan adanya hadits saksi yang bersumber dari Anas bin Malik a).


3.      Hal Niat dalam mandi wajib.
Sebagaimana telah saya jelaskan dalam tulisan-tulisan saya terdahulu bahwa niat adalah urusan hati dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan lisan, sebab setelah saya mencoba menelusuri berbagai kitab, sama sekali tidak saya dapatkan hadits Nabi a maupun atsar dari kalangan Sahabat, Tabi’in dan tabi’ut tabi’in, bahkan sejauh yang saya ketahui bahwa kesalahan tentang harus adanya pengucapan niat dilakukan oleh Abdullah az- Zubairi, karena kesalahan beliau dalam memahami ucapan Imam asy- Syafi’i w, dan hal ini telah dijelaskan oleh Imam an- Nawawi w dalam kitabnya al- Majmu’ Syarh Muhaddzab. Sehingga niat adalah kemauan atau kehendak hati dalam melakukan sesuatu. Dan terkait dengan niat ketika hendak mengerjakan mandi wajib adalah ketika kita berkehendak melaksanakan mandi wajib, baik ketika kita masih berada diluar kamar mandi ataupun ketika sudah berada dalam kamar mandi maka sesungguhnya kita telah berniat untuk mandi wajib, namun sebagian dari kalangan ahlul ilmi niat mandi wajib dilakukan ketika masih berada diluar kamar mandi, namun menurut kami hal itu bukanlah yang menjadi persoalan, sebab pada niat tidak ada hal yang dilarang dilakukan didalam kamar mandi, terkecuali bacaan basmalah ketika hendak berwudhu, dan itu diperbolehkan dibaca dalam hati, Wallahu ta’ala a’lam bish showaab.
Hal- hal yang menyebabkan Mandi Wajib
1.       Keluar mani, baik disebabkan karena bersetubuh ataupun karena sebab lain seperti mimpi dan lain sebagainya.
وَعَنْ أَنَسٍ E قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ a فِى الْمَرْأَةِ تَرَى فِى مَنَامِهَا مَايَرَى الرَّجُلُ - قَالَ : ( تَغْتَسِلُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Anas Eberkata: Rasulallah a bersabda tentang perempuan yang bermimpi sebagaimana yang dimimpikan oleh laki-laki, maka sabdanya, "Ia wajib mandi." (HR. Bukhari- Muslim).
Hadits dari Ummu Salamah G bahwasanya Ummu Sulaim berkata: ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran, apakah wajib bagi wanita mandi jika mereka bermimpi?” Rasulullah menjawab : ”Iya jika dia melihat adanya air” (HR. Bukhari- Muslim)
2.      Baru masuk Islam
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ E ( - فِي قِصَّةِ ثُمَامَةَ بْنِ أُثَالٍ عِنْدَمَا أَسْلَم- وَأَمَرَهُ اَلنَّبِيُّ a أَنْ يَغْتَسِلَ )  رَوَاهُ عَبْدُ اَلرَّزَّاق ِ وَأَصْلُهُ مُتَّفَقٌ عَلَيْه
“Dari Abu Hurairah E tentang kisah Tsamamah Ibnu Utsal ketika masuk Islam Nabi a menyuruhnya mandi”. (HR. Abdur Rozaq dan asalnya Riwayat Bukhari Muslim).
Seorang Kafir baru masuk islam wajib mandi berdasarkan riwayat Qais bin ’Ashim bahwasanya beliau masuk islam dan nabi a memerintahkannya untuk mandi dengan air dan bidara. (Shahih diriwayatkan Nasa’i, Turmudzi dan Abu Dawud)
3.      Jima’ (bersetubuh)
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ a ( إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اَلْأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ اَلْغُسْلُ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Abu Hurairah E bahwa Rasulullah a bersabda: "Apabila seorang laki-laki duduk di antara empat bagian (tubuh) wanita lalu mencampurinya maka ia telah wajib mandi." (HR. Bukhari – Muslim), kemudian ada tambahan dalam riwayat Imam Muslim berikut:
وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
“Walaupun tidak keluar mani”
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ a قَالَ: إِذَا قَعَدَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ وَ أَلْزَقَ الْخِتَانَ بِالْخِتَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلَ.
Dari Abu Hurairah E, bahwasannya Nabi a bersabda: ”Apabila suami telah duduk diantara keempat anggota tubuhnya (kedua tangan dan kedua kaki istrinya), lalu ia menempelkan kemaluannya pada kemaluan istrinya, maka wajib bagi keduanya untuk mandi” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud No. 216).
4.      Berhenti dari haidh dan nifas wajib mandi berdasarkan hadits Aisyah G, bahwasanya nabi a berkata kepada Fathimah binti Abi Hubaisy: ”Jika datang haidh maka tinggalkan sholat dan jika telah lewat maka mandi dan sholatlah” (HR.Bukhari dan Muslim). Dan Nifas hukumnya sama dengan haidh menurut ijma’
Demikianlah sedikit tulisan tentang bagaimana tata cara Mandi wajib yang sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah a semoga bermanfa’at bagi penulis dan pembaca sekalian, dan apabila ada kesalahan-kesalahan yang terdapat padanya maka kesalahan itu berasal dari kami pribadi, yang tentunya diluar kesengajaan dan kemampuan kami, untuk itu, semoga Allah Azza wa Jalla memberikan petunjuk Nya dan mengampuni segala kesalahan kami terkait khilaf yang ada dalam tulisan ini dan kepada pembaca kami mohon ma’af dan sekaligus memohon kritik, saran dan masukan yang berharga, dengan catatan masukan tersebut bukanlah disebabkan karena fanatisme mahdzab, tetapi karena dibangun berdasarkan dalil dan hujjah yang shahih.
Demikian
سُبْحَانَكَ اللّٰهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَاإِلهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ وَآخِرُ دَعْوَانَا عَنِ الْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ.
وَسَّلَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ
Muroja’ah/ Maraji/ Referensi dalam penulisan Artikel ini:
1.       Software Hadith Viewer Ver. 1.81 Oleh Jamal Abdul Nasheer, BUKHARI_MUSLIM (Arabic dan Indonesian). http://www.DivineIslam.com
2.     Kitab Shahih Bukhari karya Imam Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il al- Bukhori w
3.      Kitab Shahih Muslim karya Imam Muslim bin Al- Hajaj w
4.     Kitab Shahih Sunan Abu Dawud Tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albany w
5.      Kitab Fathul Baary Syarh Shahihil Bukhari Karya: al- Hafidz Ibnu Hajar al- Asqalani w
6.      Kitab Ad- Dha’ifah wal Mawdlu’at Karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albany w
7.      Kitab As- Shahiihah Karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albany w
8.      Kitab Shahih Sunan Ibnu Majah Tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albany w
9.      Software Salafy DB Karya Dr. Abu Said, M.Eng. http://salafyDB.googlepages.com
10.  Artikel Seputar Mandi Wajib karya Abu Salma al-Atsary (Moch. Rachdie Pratama, S.Si) http://abusalma.wordpress.com http://abusalma.net
11.    Kitab al- Umm bab Thoharoh Karya Imam Abdullah bin Idris asy- Syafi’i (Imam asy- Syafi’i) w
12.  Kitab Shahih Sunan Abu Dawud Tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albany w
13.   Kitab Shahih Sunan at- Tirmidzi Tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albany w
14.  Kitab Bulughul Marom min ‘Adilatil Ahkam Karya al- Hafidz Ibnu Hajar al- Asqalani w
15.   Kitab Irwa’ al- Ghalil Karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albany w
16.   Beberapa kitab dan artikel yang relevan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar