Oleh
|
:
|
Wayer
Haris Sauntiri, S.T
|
Mukaddimah
Alhamdulillah, segala puji bagi Nya dan hanya kepada Nya kita menyembah dan
memohon pertolongan, shalawat dan salam kepada qudwah terbaik kita Rasulullah
Muhammad a, berikut
keluarganya para sahabat serta seluruh pengikutnya yang tetap istiqomah dijalan
Islam hingga akhir zaman nanti.
Amma ba’du,
Beberapa waktu yang lalu, ketika ana masih berada di kampung halaman, ana
terlibat diskusi tentang berbagai persoalan dien dengan salah seorang ustadz.
Diantara berbagai materi yang kami diskusikan adalah tentang persoalan
pemahaman sebagian kaum muslimin tentang mandi wajib, yang menurut beliau
banyak diantara kaum muslimin yang ternyata belum memahami secara benar bagai
mana cara mensucikan dirinya dari hadats besar. Dan ketika ana katakan bahwa
hal tersebut tentunya tidak berlaku bagi mereka-mereka yang sudah pernah
menempuh pendidikan di pesantren, ternyata jawaban yang beliau utarakan diluar
dugaan, beliau mengatakan tidak semuanya yang dari pesantren memahami tata cara
mandi wajib dengan benar, terlebih bila perkara tersebut disesuaikan dengan Sunnah
Rasulullah a.
Dan demi mengetahui kenyataan seperti ini, dengan keterbatasan ilmu yang
ada, ana tergerak untuk menulis risalah singkat tentang tata cara mandi wajib
sesuai yang dicontohkan oleh Rasulullah a dengan bahasa yang se-sederhana mungkin dengan harapan masyarakat awam dapat memahaminya dengan mudah.
Demikianlah sedikit pemaparan tentang tata cara mandi wajib sesuai yang
dicontohkan oleh Rasulullah a, semoga dapat
memberikan manfaat bagi pembaca sekalian dan semoga dapat menjadi amal shalih
di hadapan Allah Azza wa Jalla.
Kendari,
4 Februari 2012
Di Muroja’ah kembali pada hari Jum’at 10 Februari 2012
Beberapa kaifiah mandi wajib sesuai Sunnah Rasulullah a.
1.
Cara Pertama; bersumber dari ‘Aisyah I.
كَانَ رَسُوْلُ اللهa إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ
الجَنَابِهِ يَبْدَ أُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ ثُمَّ يَفْرِغُ بِيَمِيْنِهِ عَلَى
شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ ثُمَّ يَتَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ
يَأْخُذُ الْمَاءَ فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ
فِىْ أُصُوْلِ الشَّعْرِ حَتَّى إِذَ ارَأَى قَدِ اسْتَبَرَأَ حَفَنَ عَلَى
رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَا تٍ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَا ئِرِ جَسَدِهِ ثُمَّ غَسَلَ
رِجْلَيْهِ
“Bahwa Rasulullah a jika mandi wajib,
beliau memulainya dengan mencuci kedua tangan, lalu menuangkan air dengan
tangan kanan ke tangan kirinya, kemudian mencuci kemaluannya. Setelah itu,
beliau berwudlu sebagai mana wudhu’ untuk shalat, kemudian beliau
mengguyurkan air dikepalanya dan dengan jari-jarinya beliau menyela-nyela
pangkal rambut sampai merata. Kemudian beliau menciduk air dengan kedua telapak
tangannya dan disiramkan kekepalanya tiga kali, kemudian mengguyur seluruh
tubuhnya dan (terakhir) beliau membasuh kedua kakinya” (Hadits Shahih Marfu’
: HR. Bukhori No. 240, 250, 254 dan 264, Muslim No. 474, at- Tirmidzi No.
97, an- Nasa’I No. 228, 231, 232, 233, 234, 235, 243, 244, 245, 246, 247, 248,
249, 407, 408, 409, 410, 419, 420 dan 421, Abu Dawud No. 208, 209, 210 dan 211,
Ibnu Majah No. 370 dan 567, Imam Ahmad dalam Kitab Musnadnya. JUz VI
halaman. 52, 70, 71, 96, 101, 115, 143, 161, 171, 173, 188, 222, 236 dan 252,
Imam Malik dalam Kitab al- Muwattha’ No. 89 dan 90 serta ad- Daramiy No.
741 dan 743).
Dari Hadits diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa tata cara mandi wajib Rasulullah a yang di saksikan oleh istri beliau a, ‘Aisyah Iadalah:
1.
Mencuci kedua tangan (Dengan maksud
membersihkannya dari kemungkinan najis yang ada padanya)
2.
Menciduk air dengan tangan kanan
lalu dituangkan ketangan kiri, kemudian dengan tangan kiri mencuci kemaluan.
3.
Berwudhu sebagai mana wudhu untuk shalat.
4.
Mengguyur kepala dengan air kemudian
menyela-nyela pangkal rambut dengan jari (dengan maksud agar seluruh kulit
kepala terkena air).
5.
Menciduk kepala dengan kedua tangan
(yang disatukan) lalu disiramkan ke kepala 3 kali.
6.
Mengguyur seluruh tubuh (dengan
maksud membasahi seluruh tubuh tanpa terkecuali).
7.
Sebagai penutup mandi wajibnya, nabi a membasuh kedua kakinya.
2.
Cara kedua; bersumber dari Maimunah I.
أَدْنَيْتُ لِرَ سُوْلِلّٰهِ a غُسْلَهُ مِنَ الجَنَابِهِ
فَغَسَلَ كَفَّيْهِ مَرَّتَيْنِ اَوْ ثَلَاثَ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِى الْإِنَاءِ
ثُمَّ أَفْرَغَ بِهِ عَلَى فَرْجِهِ وَ غَسَلَهُ
بِشِمَالِهِ ثُمَّ ضَرَبَ بِسِمَالِهِ الْأَرضَ فَدَلَكَهَا دَلْكًا شَدِيْدًا ثُمَّ
تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ
مِلْءَ كَفِّهِ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ ثُمَّ تَنَحَّى ءَنْ مَقَامِهِ مِن ذَلِكَ
فَغَسَلَ رِجْلَيْهِ ثُمَّ أَتَيْتُهُ بِا اْمِنْدِ يْلِ فَرَدَّهُ
“Maimunah
Iberkata: “Saya pernah memberikan air
kepada Rasulullah a untuk mandi jinabat. Beliau a
mencuci kedua
telapak tangannya dua atau tiga kali, kemudian memasukkan tangannya kedalam air
dan menuangkan air pada kemaluan beliau dan mencucinya dengan tangan kiri. Setelah itu, beliau
a
menekankan tangan
kirinya ketanah dan menggosokkannya keras-keras. Setelah itu, beliau berwudhu’
dengan sebagaimana wudhu’ untuk shalat. Kemudian beliau menuangkan air ke
kepala tiga kali cidukan tangan, selanjutnya beliau membasuh seluruh tubuh lalu
bergeser dari tempat semula. Kemudian aku (Maimunah I) mengambil handuk untuk beliau tetapi
beliau menolaknya” (HR. Bukhori No. 241, Muslim No. 476, at- Tirmidzi No. 96,
an- Nasa’I No. 415 dan 416, Ibnu Majah No. 556, Imam Ahmad dalam Kitab
Musnadnya Juz VI hal. 329, 335 dan 336 dan ad- Daraniy No. 740).
Sehingga dari hadits diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa tata cara mandi wajib Rasulullah
a
yang di ketahui
dan disaksikan oleh Maimunah I adalah:
1.
Nabi
a
mencuci kedua telapak tangannya dua atau tiga kali.
2.
Menciduk
air dengan tangan (kanan) lalu menuangkan air pada kemaluan dan mencucinya
dengan tangan kiri.
3.
Menggosok
tangan kiri ke tanah keras-keras.
4.
Berwudhu’
sebagai mana wudhu’ untuk shalat.
5.
Menuangkan
air ke kepala dengan 3 kali cidukan tangan.
6.
Mengguyur
(membasahi) seluruh tubuh.
7.
Bergeser
dari posisi semula lalu mencuci kedua kaki.
8.
Maimunah
Imemberi handuk pada Nabi
a,
tetapi Nabi
a
menolaknya.
Dalam dua hadits diatas disebutkan
tata cara mandi wajib Rasulullah a
yang diriwayatkan
oleh dua istri beliau a, maka sebagai ummatnya, hendaknya kita memilih salah satu
diantaranya dan lebih utama bila kita melakukan salah satu diantaranya secara
bergantian didalam setiap melakukan mandi jinabat. Karena sesungguhnya
Rasulullah a telah mencontohkan kepada kita tata cara mandi jinabat
yang benar dan petunjuk Nabi a
adalah sebaik-baik
petunjuk sebagaimana sabda beliau a:
وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيِ مُحَمَّدٍ a
“Dan sebaik- baik petunjuk adalah
petunjuk Nabi Muhammad a” (HR. Muslim dan at- Tirmidzi).
Secara umum, tidak ada perbedaan
cara mandi wajib antara laki-laki dan perempuan, terkecuali beberapa hal
sebagai berikut:
1.
Seorang
perempuan yang telah berhenti/ selesai dari haid atau nifasnya, sebelum ia
melaksanakan mandi wajib hendaknya ia mengambil kapas yang telah diberi minyak
wangi kemudian dengan kapas tersebut ia membersihkan sisa darah ditempat
keluarnya darah. Sebagaimana hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ I
قَالَتْ: سَأَلْتُ أَمْرَأَةٌ اَلنَّبِيِّ a كَيْفَ تَغْتَسِلُ مِنْ حَيْضَتِهَا؟. قَالَ: فَذَكَرَتْ أَنَّهُ عَلَيْهَا
كَيْفَ تَغْتَسِلُ ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مِنْ مِسْكٍ فَتَطَهَّرَ بِهَا. قَالَتْ:
كَيْفَ أَتَطَهَّرَ بِهَا؟. قَالَ تَطَهَّرِى بِهَا سُبْحَانَ الله، وَسْتَتَرَ وَ
أَثَرَ لَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ بِيَدِهِ وَجْهِهِ قَالَ قَالَتْ عَئِشَةُ
وَجْتَذَبْتُهَا إِلَيَّ وَ عَرَفْتُ مَا أَرَادَ اَلنَّبِيِّ a فَقُلْتُ تَتَبَّعِىْ بِهَا أَثَرَ الدَّمِ
“Dari
‘Aisyah I ia berkata: Seorang wanita bertanya
kepada Nabi a, tentang cara mandi dari haidh,
kemudian ‘Aisyah I menjelaskan cara mandi wajib;
kemudian Rasulullah a bersabda:
“Ambillah kapas yang telah diberi misk (sejenis minyak wangi), lalu
bersihkanlah dengan kapas itu”. Wanita itu bertanya: “Bagaimana cara
membersihkannya?”. Nabi a
bersabda: “Subhanallah,
bersihkan saja dengan kapas itu!”. Dan beliau a
bersembunyi.
(Sufyan bin Uyainah memberi isyarat tangan kepada kami pada wajahnya). Perawi
hadits melanjutkan : “Aisyah berkata: Kemudian aku tarik wanita itu mendekat
kepadaku kemudian berkata: “Aku tahu apa yang dimaksud dengan nabi a,
bersihkan bekas
darah haidmu dengan kapas itu”. (HR. Bukhari No. 303, 304 dan 6.810, Muslim No.
449, an- Nasa’I No. 251 dan 424, Abu Dawud No. 270, Ibnu Majah No. 634, Imam
Ahmad dalam Kitab Musnadnya hal. 147 dan 188 dan ad- Daraami No. 766.)
2.
Bagi
wanita yang menggelung rambutnya, hendaklah ia tidak perlu repot-repot mengurai
rambutnya, tetapi cukup baginya menyiram kepalanya tiga kali sebagai mana
disebutkan dalam hadits berikut:
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: قَلْتُ: يَا رَسُوْلُ
اللهِ! إِنِّى امْرَأَةٌ أَشُذُّ ضَفْرَ رَأْسِىْ، أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟،
فَقَالَ: إِنَّمَا يَكْفِيْكِ أَنْ تَحْشِ عَلَيْهِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ مِنْ مَاءٍ،
ثُمَّ تُفِيْضِ عَلَيْكِ مِنَ الْمَاءِ فَتَطْهُرِيْنَ. اَوْ قَالَ: فَإِذَا أَنْتِ
قَدْ طَهُرَتِ.
“Dari
Ummu Salamah I, dia berkata: “Wahai Rasulillah! Aku
adalah seorang wanita yang menggelung rambut kepalaku, apakah aku harus
mengurainya untuk mandi junub?.” maka Nabi a
menjawab:
“Cukuplah bagimu menuangi rambutmu dengan tiga kali siraman air, kemudian kamu
siram tubuhmu (seluruhnya) dengan air, maka sucilah kamu” atau beliau bersabda:
“Dengan demikian kamu telah suci”. (HR. Muslim, Abu Dawud No. 245, Ibnu Majah
No. 493, tercantum dalam Kitab al- Irwa’ al- Ghalil No. 136 dan as-
Shahiihah No. 189)
Berikut adalah beberapa kesalahan
seputar Thaharah dan Mandi Wajib.
1. Ada sebaian kaum muslimin yang melarang orang yang berhadats
untuk menyentuh air yang volumenya kurang dari 2 kullah, bila air itu digunakan
untuk bersuci, padahal anggapan ini adalah anggapan salah karena bertentangan
dengan nash yang memperbolehkan menyentuh air bila diyakini tidak terdapat
najis, sebab hadats bukanlah najis dan tubuh seorang muslim tidaklah najis. Adapun
hadits Keadaan ini, sebenarnya telah dijelaskan pada dua hadits tentang tata
cara mandi wajib Rasulullah a diatas, yakni bahwa nabi a menciduk dengan kedua tangannya
untuk membasahi rambutnya, namun demi untuk semakin memperjelas tentang masalah
ini, maka ada baiknya bila kami kemukakan beberapa dalil tambahan sebagai
berikut:
عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّ
النَّبِيِّ aلَقِيَهُ فَأَهْوَى إِلَيْهِ فَقَالَ: إِنِّى
جُنُبٌ فَقَالَ: إِنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَنْجُسُ.
“Dari
Hudzaifah (bin Yaman) E: “Bahwasannya Nabi a
pernah bertemu
dengannya. maka beliau a
mengulurkan
tangannya (untuk bersalaman), lalu aku berkata: “Sesungguhnya saya sedang
junub”, maka Nabi a
bersabda:
“Sesungguhnya orang muslim itu tidak najis” (HR. Muslim dan Abu Dawud No. 230)
ada juga hadits serupa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud No. 231 dari Abu
Hurairah E).
عَنْ عَائْشَةَ قَالَتْ:
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَ النَّبِيُّ aمِنْ إِنَاءٍ وَ احِدٍ تَخْتَلِفُ أَيْدِيْنَا
فِيْهِ.
“Dari
‘Aisyah I: ia berkata: “Aku mandi bersama Nabi a
dari satu bejana,
dan tangan kami bergantian didalamnya” (HR. Bukhari No. 261).
Dan dari hadits ini dapat di lihat bahwa Nabi a dan ‘Aisyah I ketika mandi dari Jinabat secara bersama-sama (mandi
bareng), dan mereka menciduk air dengan tangan mereka, sebab dari dzahir hadits
ini sama sekali tidak menunjuk kan bahwa mereka mandi jinabat dengan
menggunakan timba/gayung atau yang semisalnya, dan hal ini diperkuat dengan
hadits yang telah saya kemukakan pada awal pembahasan kali ini. Wallahu
Ta’ala a’lam bish- Showaab.
Dari
Maimunah I; Ia berkata :”Saya dalam keadaan junub, maka akupun
mandi dari bak air, lalu air tersisa dalam bak tersebut kemudian datanga Nabi a
untuk berwudhu’,
maka akupun memberitahukan hal tersebut padanya, dan beliau bersabda:
“Sesungguhnya air itu tidak junub” (HR, Bukhari dan ad- Daruquthni). Ada hadits
serupa yang bersumber dari Ibnu Abbas (Abdullah bin Abbas) E berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: اِغْتَسَلَ بَعْضَ
أَزْوَ اجِ النَّبِيِّa فِيْ جَفْنَةٍ فَجَاءِ النَّبِيِّ a لِيَتَوَ ضَّأَ مِنْهَا أَوْ يَغْتَسِلَ فَقَالتْ
لَهُ: يَا رَسُوْلَ الله إِنِّيْ كُنْتُ جُنُبًا فَقَالَ رَسُوْلَ الله a إِنَّ الْمَاءَ لَا يَجْنِبُ.
“Dari
Ibnu Abbas E, ia berkata: “Pernah sebagian istri
Nabi a mandi dengan air di dalam bejana besar, kemudian datang
Nabi a
untuk berwudhu
atau mandi (dengan sisa air) dalam bejana tersebut, maka Maimunah berkata
padanya : “Wahai Rasulullah ! tadi saya dalam keadaan junub, lalu Nabi
a
bersabda :
“Sesungguhnya air itu tidak junub” (HR. Abu Dawud No. 68).
وَ أَدْخَلَ ابْنُ عُمَرَ وَ الْبَرَ اعُ بْنُ عَازِبٍ يَدَهُ فِىْ الطَّهُوْرِ وَلَمْ
يَغْسِلُهَا ثُمَّ تَوَضَأَ وَلَمْ يَرَ ابْنُ عَبَّاسٍ بَأْسً بِمَا يَنْتَضِعُ مِنْ
غُسْلِ الْجَنَابَةٍ.
“Ibnu
Umar dan Barra’ bin ‘Azib E memasukkan
tangannya kedalam air untuk bersuci dan tidak mencuci kedua tangannya, kemudian
berwudlu. Ibnu Abbas menganggap tidak masalah dengan bekas percikan mandi
junub” (HR. Bukhari dalam Kitab Fathul Baary juz III hal 421).
“Dari
Sya’bi (seorang tabi’in) ia berkata: “Sahabat-sahabat Rasulullah
a
memasukkan tangan
mereka kedalam air sebelum mencucinya padahal mereka dalam keadaan junub” (HR. Bukhari dalam Kitab Fathul
Baary juz III hal 422). Pendapat
seperti ini juga dikemukakan oleh Hasan al- Basri w (Tabi’in besar dari Basrah, Iraq):
“Siapa yang bisa menjaga percikan air?. Kita berharap rahmat Allah Azza wa
Jalla yang sangat luas”.
Terhadap
masalah ini, mungkin dari kalangan muta’ashibin (Fanatikus mahdzab) akan
berkata mungkin air yang digunakan untuk mandi jinabat tersebut lebih dari dua kullah,
maka terhadap pendapat ini saya katakan merupakan pendapat yang salah. Saya
katakana salah dengan berargumen dengan dalil yang akan saya kemukakan berikut,
Insya Allah
عَنِ ابْنِ جَبْرٍ قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسًا ياقُوْلُ: كَانَ النَّبِيُّ a يَغْسِلُ أَوْ كَانَ يَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ
إِلَي خَمْسَةِ أَمْدَ ادٍ وَيَتَوَ ضَّأْ بِالْمُدِّ.
“Dari
Ibnu Jabr ia berkata: “Saya mendengar Anas E berkata:
“Nabi a pernah mencuci atau mandi dengan air sebanyak satu sho’
hingga lima mud dan berwudhu’ dengan satu mud” (HR. Bukhari No. 201; Fathul
Baary Juz 2 hal. 227).
Berikut
adalah uraian tentang Mud dan Sho’.
Diketahui bahwa
Massa Jenis = 103 Kg/m3
1m = 10 dm dan
1 Liter = 1dm3;
10 dm x 10 dm x
10 dm = 1000dm3 = 1000 Liter
1 m3
=1000 Kg = 1000 Liter
1 Kg =1000 gr
¨
1
Sho’ = 5 Rithl menurut
pendapat Jumhur
‘Ulama’
sementara menurut Mahdzab Hanafiyah 1 Sho’= 8 Rithl.
1 Rithl = 12 Uqiyah = 2564 gram = 2,564 Kg =2,564 Liter
≈ 2,6 Liter
Sehingga 1 Sho’ = 2,6 liter X 5 Rithl =13,858
Liter menurut Jumhur ‘Ulama’ atau 2,6 X 8 Rithl = 20,8 Liter
menurut Mahdzab Hanafiyah.
¨
1
Mud adalah bejana yang dapat menampung 1 Rithl Iraq menurut
Jumhur ‘Ulama’ dan 2 Rithl menurut Mahdzab Hanafiyah.
Sehingga 1 Mud => 1 Rithl X 2,6 Liter
= 3,458 Liter menurut Jumhur ‘Ulama atau 2 Rithl X 2,6 Liter = 5,6
Liter menurut Mahdzab Hanafiyah.
5 Mud = 17,29 Liter menurut Jumhur
Ulama’ dan 28 Liter menurut Mahdzab Hanafiyah
Perhatian !!!
Air dikatakan mencapai dua kullah
bila volumenya mencapai 216 Liter sementara Nabi a dan para
sahabatnya walaupun mereka dalam keadaan Junub ataupun berhadats tetap mencelupkan
tangan mereka kedalam air baik ketika hendak berwudhu’ ataupun mandi jinabat dalam
1 Mud air (± 3,5 – 5,6 liter) ataupun mandi
jinabat dengan 1 Sho’ air (± 13,9 – 20,8 Liter) atau 5 Mud
(±17,29 - 28 Liter), sehingga
jelaslah bagi yang memiliki basyirah bahwa tidak mengapa mencelupkan
anggota tubuh kedalam air bila diyakini padanya tidak terdapat najis, dan perlu
diperhatikan bahwa Hadats bukanlah Najis, sebab Najis dan Hadats adalah sesuatu
yang berbeda. Maka
perhatikan !!!.
وَعَنْ
أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ a إنَّ الْمَاءَ لَا
يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ
أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ
Dari Abu Umamah
al-Bahily Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah a bersabda: "Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu
pun yang dapat menajiskannya kecuali oleh sesuatu yang dapat merubah bau, rasa
atau warnanya." Dikeluarkan oleh Ibnu
Majah dan dianggap lemah oleh Ibnu Hatim.
وَعَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ a : إذَا كَانَ الْمَاءُ
قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ
Dari Abdullah Ibnu
Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah a bersabda: "Jika banyaknya air telah mencapai dua
kullah maka ia tidak mengandung kotoran." (HR.
Abu Dawud No. 63, at- Tirmidzi, Ibnu Majah dan an- Nasa’i dan dinilai shahih oleh Ibnu
Khuzaimah, Hakim, dan Ibnu Hibban.)
وَفِي
لَفْظٍ لَمْ يَنْجُسْ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ
خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وَابْنُ حِبَّانَ
Dalam suatu lafadz
hadits: "Tidak najis".
(HR. Abu Dawud No. 65, at- Tirmidzi, Ibnu Majah dan an- Nasa’i dan dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah,
Hakim, dan Ibnu Hibban.)
عَنْ أَبِىْ سَعِدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُ قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ a أَنَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَهِيَ بِئْرٌ يُطْرَحُ
فِيْهَا الْحِيْضُ وَلَحْمُ الْكِلَابِ وَالنَّتْنُ فَقَالَ رَسُوْلِ اللهِ a: الْمَاءُ طَهُوْرٌ لَايُنَجِّسُهُ شَيْءٌ.
"Dari Abu Sa'id al- Khudri r.a,
bahwa Rasulullah a pernah ditanyakan: "Apakah kita akan berwudlu
dengan memakai air sumur Budho'ah?. Sedangkan sumur tersebut biasa di airi air
hujan, yang membawa kain bekas darah haid, daging-daging anjing dan kotoran
manusia?" Maka Rasulullah a menjawab: "Sesungguhnya air itu suci dan
mensucikan, tidak dinajiskan oleh sesuatu apapun" (HR Abu Dawud No. 66;
Isnad Shahih)
Perhatian !!!
Catatan Tentang Hadits ini: Pada
hadits selanjutnya No. 67 dalam Shahih Sunan Abu Dawud disebutkan bahwa:
"Abu Daud berkata: "Aku mendengar dari Qutaibah bin Sa'id berkata:
"Aku pernah menanyakan tentang kedalaman (air) sumur Budho'ah, maka di katakan
sampai setinggi kemaluan dan dibawah aurat (lutut) bila surut." Kata Abu
Daud aku pernah mengukur sumur tersebut menggunakan selendangku, ternyata
lebarnya 6 hasta)"
Dalam Riwayat Ibnu Majah dengan jalan Hisyam bin Ammar
dari Malik dan Riwayat Abu Dawud dari jalan Ubaidillah bin Umar dari Nafi’ dari
Ibnu Umar E: “Kami memasukkan tangan-tangan kami kedalam air.”. Dalam
riwayat ini terdapat keterangan bahwa menciduk air yang sedikit dengan tangan
tidak menjadikan air itu musta’mal, sebab bentuk bejana mereka pada umumnya
kecil sebagaimana ditegaskan oleh Imam asy- Syafi’i w dalam kitabnya al- Umm (Fathul Baary Juz II hal. 211),
lihat penjelasan tentang volume air yang digunakan oleh Nabi a dan para sahabatnya diatas (Penulis).
Sebagai Faidah tambahan, Imam asy-Syafi’i w berkata dalam kitabnya al- Umm: “Tidak mengapa berwudhu’
dengan air seorang Musyrik atau menggunakan sisa air yang ia pakai selama
diketahui tidak adanya najis”. Dari sini semakin jelas bagi kita bahwa bolehnya
seseorang yang berhadats untuk menyentuh air walaupun air itu hendak digunakan
untuk bersuci, sebab kondisi seorang Musyrik akan tetap dalam keadaan berhadats
sampai kapanpun juga, sebab mereka tidak mengetahui kaifiah mensucikan diri
dari hadats sebab bersuci dari hadats bukanlah bagian dari syari’at agama
mereka (penulis).
Alasan kedua yang mungkin akan
mereka gunakan untuk membantah pendapat kami adalah menghindarkan diri dari
mencelupkan tangan kedalam air adalah kaidah was-wasah (berhati-hati), namun
hal inipun ternyata telah dibantah oleh Imam asy- Syafi’i w dalam kitabnya
al- Umm: ”Bila kalian mendapati air yang kalian ragu tentang kesuciannya, maka
hukum air itu kembali pada hukum asalnya, yakni hukum asal segala sesuatu
adalah suci, sehingga air itu dapat digunakan untuk bersuci”.
2.
Banyak orang yang meyakini bahwa orang yang dalam kondisi
berhadats besar tidak boleh mencukur rambut, memotong kuku bahkan bila
mendapati rambut atau kukunya lepas, maka ia harus menyimpannya dan ketika ia
melakukan mandi wajib maka ia harus membasuhnya, mereka yang berpendapat
seperti ini tentunya bukan tanpa dasar sebagaimana disebutkan dalam hadits
berikut:
مَنْ تَرَ كَ مَوْضِعَ شَعْرَةٍ مِنْ جَنَابَةٍ لَمْ يَغْسِلْهَا فُعِلَ بِهِ
كَذَا وَكَذَا النَّارِ.
"Barangsiapa yang membiarkan seutas
rambut tidak dibasuh ketika mandi jinabat, maka pastilah akan dibegini dan
dibeginikan dengan api neraka."
Hadits
ini dha'if. Diriwayatkan
oleh Abu Daud (249), Ibnu Abi Syibah dalam Al-Mushannif (II/35 ), Ibnu Majah (599), dan lainnya, dengan
sanad dari Hammad bin Salamah, dari Atha' bin as-Saib, dari Zadan, dari
Ali bin Abi Thalib a.
Asy-Syaukani
w dalan
kitab Nailul-Authar (I /239)
mengomentari pernyataan al-Hafidz Ibnu Hajar al- Asqalaniy w dalam kitabnya at-Tahhish (hlm.52)
mengatakan, "Imam Nawawi w menyatakan bahwa
riwayat/hadits ini dha'if. Atha' dinyatakan dha'if oleh jumhur
muhadditsin, sedangkan Hammad banyak riwayat yang dibawanya kurang
mantap. Adapun mengenai Za’dan ada perbedaan pendapat di kalangan muhadditsiin dalam menilainya.
Al- Imam
Ash-Shon'ani w dalam kitabnya
Sabulus-Salam Syarh Bulughul Marom (I/127) mengatakan,
"Sesungguhnya hadits dari Ali bin Abi Thalib ini telah diriwayatkan oleh Atha'
bin Saib yang dikenal buruk hafalannya dan lmam Nawawi pun telah
menyatakannya sebagai riwayat/hadits dha'if ." Wallahul a'lam. (Al- Albany
w dalam
Kitab adh- Dha’ifah No. 930).
Dan
oleh sebagian Ulama’ mengamalkan hadits dha’if untuk fadha’ilul amal
diperbolehkan dengan syarat tidak dimashurkan (dipopulerkan) dan ketika
menyampaikan hadits dha’if, wajib baginya menjelaskan tentang kelemahan hadits
tersebut, tentu suatu beban dan tanggung jawab yang berat terkecuali bagi
mereka yang telah memiliki ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu hadits, dan
yang lebih menenangkan hati sebagai mana yang telah saya kemukakan dalam
mukaddimah tulisan ini, lebih baik meninggalkan hadits dha’if secara mutlak dan
lebih cenderung berpegang pada hadits-hadits yang rajah dan tsabit, dan hal ini
merupakan pendapat Imam Ahmad bin Hambal, Bukhari, Muslim, Yahya bin Ma’in, Abu
bakar Ibnul A’robi, Ibrahim an- Nakha’i dan lain-lain.
Yang
benar untuk masalah ini adalah, boleh bagi seseorang yang sedang berhadats
besar untuk bercukur, memotong kuku dan berbekam sebagaimana disebutkan dalam
riwayat berikut:
وَقَالَ عَطَاءٌ يَحْتَجِمُ الْجُنُبُ وَيُقَلَّمُ
أَظْفَارَهُ وَيُحْلِقُ رَ أْسَهُ وَإِنْ لَمْ يَتَوَضَأَ.
“Dan
telah berkata Atha’ (Atha’ bin Yasir w seorang
pembesar tabi’in): “Seorang yang dalam keadaan junub boleh berbekam, memotong
kuku dan mencukur rambut, meskipun belum berwudhu’”. (HR. Bukhari secara
mu’allaq dalam Fathul Baary Juz II hal. 469, di Maushulkan (Dinyatakan
bersambung sanadnya sampai Rasulullah l) oleh Abdurrozzaq dengan Sanad Shahih,
pendapat ini juga diperkuat dengan adanya hadits saksi yang bersumber dari Anas
bin Malik a).
3.
Hal
Niat dalam mandi wajib.
Sebagaimana
telah saya jelaskan dalam tulisan-tulisan saya terdahulu bahwa niat adalah
urusan hati dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan lisan, sebab setelah
saya mencoba menelusuri berbagai kitab, sama sekali tidak saya dapatkan hadits
Nabi a
maupun atsar dari
kalangan Sahabat, Tabi’in dan tabi’ut tabi’in, bahkan sejauh yang saya ketahui
bahwa kesalahan tentang harus adanya pengucapan niat dilakukan oleh Abdullah
az- Zubairi, karena kesalahan beliau dalam memahami ucapan Imam asy- Syafi’i w,
dan hal ini telah
dijelaskan oleh Imam an- Nawawi w dalam kitabnya al- Majmu’ Syarh
Muhaddzab. Sehingga niat adalah kemauan atau kehendak hati dalam melakukan
sesuatu. Dan terkait dengan niat ketika hendak mengerjakan mandi wajib adalah
ketika kita berkehendak melaksanakan mandi wajib, baik ketika kita masih berada
diluar kamar mandi ataupun ketika sudah berada dalam kamar mandi maka
sesungguhnya kita telah berniat untuk mandi wajib, namun sebagian dari kalangan
ahlul ilmi niat mandi wajib dilakukan ketika masih berada diluar kamar mandi,
namun menurut kami hal itu bukanlah yang menjadi persoalan, sebab pada niat
tidak ada hal yang dilarang dilakukan didalam kamar mandi, terkecuali bacaan
basmalah ketika hendak berwudhu, dan itu diperbolehkan dibaca dalam hati, Wallahu
ta’ala a’lam bish showaab.
Hal- hal yang menyebabkan Mandi
Wajib
1.
Keluar
mani, baik disebabkan karena bersetubuh ataupun karena sebab lain seperti mimpi
dan lain sebagainya.
وَعَنْ أَنَسٍ E قَالَ : قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ a فِى الْمَرْأَةِ تَرَى فِى مَنَامِهَا مَايَرَى الرَّجُلُ - قَالَ
: ( تَغْتَسِلُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Anas Eberkata:
Rasulallah a bersabda tentang perempuan yang bermimpi
sebagaimana yang dimimpikan oleh laki-laki, maka sabdanya, "Ia wajib
mandi." (HR. Bukhari- Muslim).
Hadits dari Ummu Salamah G bahwasanya Ummu
Sulaim berkata: ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap
kebenaran, apakah wajib bagi wanita mandi jika mereka bermimpi?” Rasulullah
menjawab : ”Iya jika dia melihat adanya air” (HR. Bukhari- Muslim)
2.
Baru
masuk Islam
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ E ( - فِي قِصَّةِ ثُمَامَةَ بْنِ أُثَالٍ عِنْدَمَا أَسْلَم- وَأَمَرَهُ
اَلنَّبِيُّ a أَنْ
يَغْتَسِلَ ) رَوَاهُ عَبْدُ اَلرَّزَّاق ِ وَأَصْلُهُ مُتَّفَقٌ عَلَيْه
“Dari Abu Hurairah E tentang kisah Tsamamah Ibnu Utsal ketika masuk Islam Nabi a menyuruhnya mandi”. (HR. Abdur Rozaq dan asalnya Riwayat Bukhari
Muslim).
Seorang Kafir baru masuk islam wajib mandi berdasarkan
riwayat Qais bin ’Ashim bahwasanya beliau masuk islam dan nabi a memerintahkannya untuk mandi dengan air dan bidara. (Shahih diriwayatkan
Nasa’i, Turmudzi dan Abu Dawud)
3.
Jima’
(bersetubuh)
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ a ( إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا
اَلْأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ اَلْغُسْلُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه
“Dari
Abu Hurairah E bahwa Rasulullah a bersabda: "Apabila seorang
laki-laki duduk di antara empat bagian (tubuh) wanita lalu mencampurinya maka
ia telah wajib mandi." (HR. Bukhari – Muslim), kemudian ada tambahan dalam
riwayat Imam Muslim berikut:
وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
“Walaupun tidak keluar mani”
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ a
قَالَ: إِذَا قَعَدَ
بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ وَ أَلْزَقَ الْخِتَانَ بِالْخِتَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلَ.
”Dari Abu Hurairah E, bahwasannya Nabi a bersabda: ”Apabila suami telah duduk diantara keempat
anggota tubuhnya (kedua tangan dan kedua kaki istrinya), lalu ia menempelkan
kemaluannya pada kemaluan istrinya, maka wajib bagi keduanya untuk mandi” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud No. 216).
4.
Berhenti dari haidh
dan nifas wajib mandi berdasarkan hadits Aisyah G, bahwasanya nabi a berkata kepada Fathimah binti Abi Hubaisy: ”Jika datang haidh maka
tinggalkan sholat dan jika telah lewat maka mandi dan sholatlah” (HR.Bukhari
dan Muslim). Dan Nifas hukumnya sama dengan haidh menurut ijma’
Demikianlah
sedikit tulisan tentang bagaimana tata cara Mandi wajib yang sesuai dengan yang
dicontohkan oleh Rasulullah a semoga
bermanfa’at bagi penulis dan pembaca sekalian, dan apabila ada
kesalahan-kesalahan yang terdapat padanya maka kesalahan itu berasal dari kami
pribadi, yang tentunya diluar kesengajaan dan kemampuan kami, untuk itu, semoga
Allah Azza wa Jalla memberikan petunjuk Nya dan mengampuni segala kesalahan
kami terkait khilaf yang ada dalam tulisan ini dan kepada pembaca kami mohon
ma’af dan sekaligus memohon kritik, saran dan masukan yang berharga, dengan
catatan masukan tersebut bukanlah disebabkan karena fanatisme mahdzab, tetapi
karena dibangun berdasarkan dalil dan hujjah yang shahih.
Demikian
سُبْحَانَكَ
اللّٰهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَاإِلهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ
وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
وَسَلَّمْ وَآخِرُ دَعْوَانَا عَنِ الْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ.
وَسَّلَمُ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ
Muroja’ah/
Maraji/ Referensi dalam penulisan Artikel ini:
1.
Software Hadith Viewer Ver. 1.81 Oleh Jamal Abdul
Nasheer, BUKHARI_MUSLIM (Arabic dan Indonesian). http://www.DivineIslam.com
2.
Kitab Shahih Bukhari karya Imam Abu Abdillah Muhammad bin
Isma’il al- Bukhori w
3.
Kitab Shahih Muslim karya Imam Muslim bin Al- Hajaj w
4.
Kitab Shahih Sunan Abu Dawud Tahqiq Syaikh Muhammad
Nashiruddin al- Albany w
5.
Kitab Fathul Baary Syarh Shahihil Bukhari Karya: al-
Hafidz Ibnu Hajar al- Asqalani w
6.
Kitab Ad- Dha’ifah wal Mawdlu’at Karya Syaikh Muhammad
Nashiruddin al- Albany w
7.
Kitab As- Shahiihah Karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-
Albany w
8.
Kitab Shahih Sunan Ibnu Majah Tahqiq Syaikh Muhammad
Nashiruddin al- Albany w
10.
Artikel Seputar Mandi
Wajib karya Abu Salma al-Atsary (Moch. Rachdie Pratama, S.Si) http://abusalma.wordpress.com http://abusalma.net
11.
Kitab al- Umm bab Thoharoh Karya Imam Abdullah bin Idris asy- Syafi’i (Imam
asy- Syafi’i) w
12.
Kitab Shahih Sunan Abu Dawud Tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albany w
13.
Kitab Shahih Sunan at- Tirmidzi Tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albany w
14.
Kitab Bulughul Marom min ‘Adilatil Ahkam Karya al- Hafidz Ibnu Hajar al- Asqalani w
15.
Kitab Irwa’ al- Ghalil Karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albany w
16.
Beberapa kitab dan artikel yang relevan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar