Senin, 05 Maret 2012

Panduan Berbakti Pada Suami Koreksi total terhadap kebiasaan Durhaka Istri terhadap Suaminya


Wayer Haris Sauntiri, S.T

Persoalan pembangkangan istri kepada suami, sudah merupakan penyakit yang mendarah daging, bahkan kalau boleh saya katakan sudah menjadi tradisi. Dikatakan telah menjadi tradisi karena sifat pembangkangan terhadap suami sudah diwariskan secara turun temurun, bahkan dengan sengaja diajarkan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka, bahkan terkadang justru pendidikan pembangkangan ini dilakukan oleh orang tua sang suami, dengan alasan untuk membungkam kebrutalan anak kandungnya sendiri.
Keadaan seperti ini semakin diperparah dengan banyaknya fenomena suami yang takut atau tunduk kepada istri-istri mereka, sementara dalam syari’at disebutkan bahwa seorang laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, ar rojulu qowwamuuna ‘ala nisaa’, tetapi begitulah syaithan dan kejahilan atas ilmu yang haq rupanya telah banyak menguasai kehidupan kaum muslimin, sehingga tidak heran bila beragam bentuk kemungkaran dan kemaksiatan dapat kita saksikan hampir dimanapun kita berada, wal ‘iyadzu billah...
Disebagian keluarga, bukannya nasihat yang berdasarkan syari’at, tetapi justru dapat kita dapati kebiasaan orang tua yang mengajari putri mereka untuk “mengendalikan” suami-suami mereka entah dengan berbagaimacam cara mulai dengan cara yang masuk akal hingga cara yang tidak masuk akal. Suatu bencana yang amat terperikan..
Sebagai contoh kami akan mengangkat kisah yang berasal dari penuturan seorang yang kami kenal; sementara beliau adalah orang tua dari pihak laki-laki, beliau berkata bahwa ia menyarankan kepada Istri anaknya agar ia melakukan berbagai macam cara agar suaminya berhenti atau setidaknya mengurangi kebiasaan merokoknya, dan diantara cara yang beliau sarankan adalah agar sang istri “meng-ultimatum suaminya dengan tidak akan memberikan “jatah” sampai suaminya mau mengurangi konsumsi rokok. Secara sepintas saran ini adalah saran yang baik, yakni untuk mengurangi atau menghilangkan kebiasaan merokok anaknya sendiri, tetapi bila kita tinjau dari kaidah hukum syari’at, maka perbuatan menyarankan seorang istri mengancam suaminya dengan tidak memberi “jatah” merupakan pembangkangan terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebab beliau telah mengajarkan kepada menantunya untuk membangkang terhadap suaminya. Dan bila persoalan ini terus dibiarkan satu pembangkangan yang telah di lakukan maka pelan namun pasti akan lahir pembangkangan demi pembangkangan berikutnya yang mungkin derajatnya lebih berat dari pembangkangan yang sudah-sudah.
Dalam tulisan ini, walaupun kami menampilkan topik yang berhubungan dengan rokok, tetapi kami sama sekali tidak memberikan pembelaan terhadap para perokok, bahkan kami meyakini sepenuhnya bahwa rokok adalah haram, sebagaimana yang difatwakan oleh Lajnah Daimah lil Buhuts wal Ifta’ dan MUI (walaupun terlambat!!) tetapi karena kebetulan kisah tersebut sesuai dengan yang menjadi topik tulisan kami kali ini, maka dengan terpaksa topik rokoklah yang kami tampilkan.
Menyaksikan kenyataan seperti itu, maka dengan keterbatasan ilmu yang kami miliki dan didorong rasa keprihatinan yang mendalam kami mulai menulis risalah ini, walaupun jujur saya katakan tulisan ini belumlah pantas disebut artikel/ risalah ataupun apalah namanya, tetapi mungkin lebih tepat kalau disebut sebagai kumpulan hadits dan atsar tentang ancaman bagi seorang istri yang durhaka kepada suaminya. .:^_^:.
Dan untuk mempersingkat waktu maka pembahasan mengenai durhaka kepada suami, kami mulai…….
Imam Adz- Dzahabiy e berkata dalam kitabnya al- Kabâ’ir, bahwa mendurhakai suami adalah merupakan dosa besar (beliau mencantumkannya dengan nomor urut 47). Beliau e menjelaskan permasalahan ini secara jelas dengan mengemukakan dalil-dalil yang rajah (kuat) dan Shahîh. Diantara dalil yang beliau kemukakan adalah:
وَ الَّاتِىْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَ هُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَ اهْجُرُو هُنَّ فِىْ الْمَضَاجِعِ وَ اضْرِبُوْ هُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْ ا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[1], maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[2]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Q.S an- Nisaa’ : 34).
Al- Wahidiy e berkata, "Maksud nusyuz dalam ayat diatas adalah durhaka kepada Suami" sementara Atha' bin Yasir e berkata: "Nusyuz adalah perbuatan wanita yang memakai wewangian di hadapan suami namun tidak mau dikumpuli serta tidak taat lagi kepada suaminya."
Tentang 'pisahkan diri dari tempat tidur mereka', Ibnu 'Abbas (Abdullah bin 'Abbas) r.a berkata: "Maksudnya adalah membalikkan punggung dari istri dan tidak mengajaknya bicara. Sedangkan asy- Sya'bi dan Mujahid e (dua Ulama' dari kalangan Tabi'in) berkata: "Maksudnya adalah tidak tidur bersama istri dan tidak mencampurinya.”
Maksud dari 'dan pukullah' adalah dengan pukulan yang tidak membahayakan. Ibnu 'Abbas r.a berkata: "Pukulan yang mendidik, seperti dengan telapak tangan." Seorang suami berhak untuk memperbaiki kedurhakaan istrinya dengan cara yang di izinkan oleh Allah, sebagaimana tersebut dalam ayat diatas.
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَ أَتَهُ إِلَى فِرَ اشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصِبْحَ.
”Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya kemudian si istri menolakknya sehingga suaminya tidur dalam keadan marah kepadanya, maka ia dila'nat oleh para malaikat sampai subuh" (HR. Bukhari No. 5.195 dan Muslim No. 2.367, Ishaq ibnu Rahawaih dalam kitab al- Musnad, Abu Dawud Juz 2 hal. 224, ad- Darami Juz. 2 hal. 73, Ahmad Juz 2 hal. 155,348,439,480,519 dan 538, ath- Thohawiy Juz 2 hal. 105, al- Baghawiy dalam kitab Syahrus Sunnah Juz 9 hal 157-158, Riyadush Shalihiin No. 1758 dan Bulughul Marom No. 1051 dari hadits Abu Hurairah r.a).
Terhadap hadits ini, Imam an- Nawawi e berkata dalam kitabnya al- Minhaj Syarh Shahihil Muslim Juz 7 halaman 116 : “Larangan ini menunjukkan keharaman. Demikian yang diterangkan dengan jelas oleh kalangan ulama’ mahdzab kami (Mahdzab Syafi’iyah) dan ini merupakan pendapat jumhur ulama’ dari semua Mahdzab sebagaimana disebutkan oleh al- Hafidz Ibnu Hajar al- Asqalaniy e dalam kitabnya Fathul Baary Syarh Sahihil Bukhariy Juz 9 Halaman 367.
Dalam Fathul Baary Juz 9 halaman 357, Ibnu Hajar al- Asqalaniy e juga memberikan penjelasan mengenai hadits diatas: “Hadits ini menunjukkan lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami dari pada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah. Karena hak suami hukumnya wajib, sedangkan menunaikan kewajiban lebih didahulukan dari pada menunaikan perkara sunnah.
إِذَا بَاتَتِ الْمَرْ أَةُ هَاجِرَةً فِرَ اشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصِبْحَ.
"Jika seorang wanita tidur malam dalam keadaan meninggalkan tempat tidur suaminya, maka para malaikat akan melaknatnya sampai datang waktu Shubuh" (HR. Bukhari, Muslim, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Dawud, ad- Darami, Ahmad, ath- Thohawiy, al- Baghawiy dan al- Khathib al- Baghdadi dari hadits Abu Hurairah r.a).
وَ الَّذِىْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلِ يَدْعُوْ امْرَ أَتَهُ إِلَى فِرَ اشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلَّا كَانَ الَّذِ يْ فِيْ السَّمَاءِ سَاخِطَا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضْى عَنْهَا.
"Dan demi jiwaku yang berada di tangan Nya, tidaklah seorang suami yang mengajak istrinya untuk bersetubuh kemudian si istri menolak ajakan tersebut, kecuali yang berada dilangit akan murka kepadanya sampai si suami meridhainya" (H.R. Muslim).
إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلُ يُفْضِيْ إِلَى الْمَرْ أَةِ وَتُفْضِيْ إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا.
“Sesungguhnya diantara manusia yang paling jelek kedudukannya disisi Allah pada Hari Kiamat adalah seorang yang mendatangi istrinya, dan wanita yang mendatangi suaminya (untuk berjima') kemudian (mereka) menyebarkan rahasianya" (HR. Muslim, Ahmad Juz 3 hal. 69, Ibnu Sunni No. 608, Baihaqiy JUz 7 hal 193-194 dan Abu Nu'aim dari Abu Said al- Khudri r.a).
عَنْ مُعَاذْ بْنِ جَبَلْ؛ قَالَ رَسُوْ لَ اللهِ a: لَا تُؤْذِى امْرَ أَةٌ زَوْجَهَا إِلَّا قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنْ الْحُوْرِ الْعِيْنِ: لَا تُؤْذِيْهِ قَتَلَكِ اللهُ فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكَ دَخِيْلٌ أَوْشَكَ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا.
“Dari Mu'adz bin Jabal E, ia berkata: "Rasulullah a  bersabda: "Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya, kecuali istrinya dari kalangan bidadari surga berkata: "Janganlah kau sakiti dia semoga Allah memerangimu!. Dia disitu hanyalah seorang yang singgah sesaat, kemudian meninggalkanmu dan segera menemui kami (Shahih HR. Ibnu Majjah No. 1650/2044, at- Tirmidzi No. 1.174, as- Shahiihah No. 173 dan Adabuz Zafaf No. 178)
“Seorang perempuan belum dianggap menunaikan hak Tuhan nya sehingu ia menunaikan hak suaminya” (HR. Ibnu Majah).
أَيُّمَا امْرَ أَةٍ سَألَتْ زَوْجَهَا طَلَاقًا مِنْ غَيْرِ بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَ ائِحَةُ الْجَنَّةِ.
"Setiap perempuan yang menggugat suaminya tanpa ada sebab, maka haram baginya bau surga" (HR. at- Tirmidzi No. 1.187, Ibnu Majah No. 2.055).
الْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ.
"Perempuan yang mengajukan gugatan cerai adalah perempuan munafik" (HR. Tirmidzi No. 1.186, ash- Shahiihah No 633 al- Misykah No. 3.290).
إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَ أَنْ كَانَتْ التَّنُّوْرِ.
"Jika seorang lelaki mengajak istrinya untuk memenuhi kebutuhannya (jima') maka istrinya wajib memenuhinya, meskipun ia sedang berada di dapur" (HR. at- Tirmidzi No. 1.160, al- Misykah No. 3.257 dan as- Shahiihah No. 1.202: Isnad Shahih).
وَ الَّذِيْ نَفْسِىْ بِيَدِهِ لَا تُؤوَ دِّيْ الْمَرْ أَةُ حَقَّ رَبَّهَا حَتَّىْ تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ
"Dan demi Dzat yang jiwaku berada di tagan Nya, tidaklah seorang wanita dikatakan telah menjalankan hak Rabbnya sampai ia melaksanakan hak suaminya. Dan andai suaminya mengajak dirinya "berhubungan" sedang dia berada diatas pelana kendaraannya, tidak diperkenankan bagi si istri untuk menolak kemauan suaminya" (Hadits Shahih Riwayat Ahmad (4/381), Ibnu Majah (1/570), Ibnu Hibban (1290), Al- Baihaqiy (7/292))
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ a: لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَامَرْتُ الْمَرْ أَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا.
"Dari Abu Hurairah E dari Nabi a, beliau bersabda: "Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud (pada selain Allah) niscaya aku perintahkan istri untuk sujud pada suaminya" (HR. at- Tirmidzi No. 1.159, Ibnu Majah No. 1.853, Shahih Jami’ No. 5.294, As- Shahiihah No. 3.366, al- Irwa’ No. 1.998 dan Ahmad Juz 4 hal 381 : Isnad Shahih).
اِثْنَانِ لَا تُجَاوِ زُصَالَاتُهُمَا رُؤُوْسَهُمَا: عَبْدٌ اٰبِقٌ مِنْ مَوَا لِيْهِ حَتَّي يَرْجِعَ اِلَيْهِمْ، وَامْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَهَا حَتّٰى تَرْجِعَ.
"Dua orang yang shalatnya tidak akan melampaui kepalanya (maksudnya tidak diangkat disisi Allah): seorang hamba sahaya yang kabur dari tuannya, sampai ia kembali dan wanita yang mendurhakai suaminya, sampai ia kembali" (HR. Thabraniy, al- Hakim, as- Shahiihah No. 288)
لَا يُحِلُّ لِلْمَرْ أَةِ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنَ فِىْ بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ.
"Tidak halal seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk mengerjakan puasa (sunnah) sedang suaminya berada disisinya, kecuali dengan seizin suaminya" (HR. Bukhari No. 5.195 dan Muslim No. 1.026, Riyadush Shalihiin No. 1759).
Bibi dari Hushain bin Muhshin mengadukan suaminya kepada Nabi a, kemudian beliau a menjawab: "Lihatlah bagaimana keadaanmu bersamanya!. Dia adalah surga dan nerakamu!" (HR. Ahmad Juz 4 ha. 341 dan Juz 6 hal. 419, ath- Thabraniy dalam al- Ausath No. 532, Imam Al- Haitsami mengatakan Isnadnya Insya Allah Hasan).
Abdullah bin 'Amru r.a berkata: "Rasulullah a  bersabda: "Allah tidak akan memandang kepada wanita yang tidak mensukuri suaminya dan tidak merasa cukup dengannya". (HR. an- Nasa'i dalam kitab 'Isyratun Nisaa' No. 251 secara mauquf dan Sanadnya Shahih, juga diriwayatkan oleh ath- Thabraniy dan al- Bazzar; Imam al- Haitsami berkata: "Para perawinya Shahih secara marfu').
Rasulullah a bersabda pada putrinya (Fatimah az- Zahro r.a):
وَيَا بُنَيَّةُ الْوَيْلُ لِامْرَ أَةٍ تَعْصِيْ زَوْجِهَا.
“Wahai anakku, kecelakaanlah bagi wanita yang durhaka kepada suaminya" (H.R. Ahmad Juz. 5 hal. 242, at- Tirmidzi No. 1.184, Ibnu Majah No. 2.014 Thabraniy)

Tanbih/Perhatian:
Dalam berbakti (taat) kepada suami, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, sebab yang dimaksud dengan ketaatan disini adalah pada perkara yang ma’ruf (perkara yang diridhai Allah Azza wa Jalla), sebab tidak ada ketaatan dalam berma’siyat kepada Allah Azza wa Jalla sebagaimana hadits yang bersumber dari Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu:
لَا طَاعَةَ فِيْ مَعْصِيَةِ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِيْ الْمَعْرُوْفِ.
"Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah. Ketaatan itu hanya dalam perkara yang ma'ruf (baik)." (HR. Bukhari No. 3.995, Muslim No. 3.424, an- Nasa'i No. 4.134, Abu Dawud No. No. 2.256 dan Ahmad Juz 1 Hal. 82, 94, 124, 129 dan 131).
Sebagai contoh, walaupun melayani permintaan suami untuk berjima’ adalah perkara yang wajib dipenuhi oleh seorang istri, namun ketika ia dalam keadaan haid atau nifas maka wajib bagi seorang istri untuk menolak ajakan suaminya, sebab terdapat larangan berjima’ dalam keadaan demikian, sebagai mana disebutkan dalam dalil-dalil berikut:
Firman Allah Azza wa Jalla dalam Surah al- Baqarah : 222
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (٢٢٢)
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri [137] dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci [138]. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Q.S al- Baqarah : 222).
Ctt:
[137] Maksudnya menyetubuhi wanita di waktu haidh.
[138] Ialah sesudah mandi. Adapula yang menafsirkan sesudah berhenti darah keluar.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah Azza wa Jalla melarang seorang suami “mendekati” istrinya bila ia dalam keadaan haidh. Dan yang dimaksud dengan kata mendekati disini adalah bersetubuh. Dan hukum larangan menurut kaidah Ushul Fiqh adalah haram, selama tidak ada dalil yang menyelisihinya. Dan memang tidak ada satupun dalil yang menyelisihinya. Adapun bergaul dalam hal-hal lain (selain bersetubuh) adalah diperbolehkan oleh syari’at secara Ijma’.
عَنْ مَنْصُوْرِ بْنُ صَفِيَّةَ أَنَّ أُمَّهُ أَنَّ عَائِشَةَ حَدَّ ثَتْهَا أَنَّ النَّبِيَّ a  كَانَ يَتَّكِئُ فِيْ حَجْرِيْ وَأَنَا حَائِضٌ ثُمَّ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ.
"Telah diriwayatkan dari Manshur bin Shafiyyah bahwasannya ibunya menceritakan kepadanya, 'Aisyah bercerita kepadanya, "Sesungguhnya Nabi a biasa bersandar di pangkuanku sementara aku dalam keadaan haid, kemudian setelah itu beliau a  membaca al- Qur'an" (HR. Bukhari No. 297, Fathul Baary II hal. 498)
Dam masih banyak dalil- lain yang menunjukkah tentang bolehnya seorang istri untuk bergaul dengan suaminya bahkan bercumbu sekalipun selama tidak menyetubuhinya baik melalui farjinya ataupun duburnya, karena perkara tersebut sangat diancam oleh Allah dan Rasul Nya sebagai mana hadits berikut:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ a مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوْ امْرَأَةً فِىْ دُبُرِهَا، أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَيَّ مُحَمَّدٍ a.
"Dari Abu Hurairah E, dia berkata; "Rasulullah a bersabda: "Barang siapa “mendatangi” perempuan (istrinya) yang sedang haid, atau melalui duburnya, atau mendatangi seorang dukun lalu nenpercayai apa yang dikatakannya, maka ia telah kafir terhadap apa-apa (agama) yang telah diturunkan kepada Muhammad a” (Shahih; HR. Ibnu Majah 528, adab az- Zafaf No. 31, al- Irwa' No. 2006 dan al- Myskah al Mashabih No. 551).
Ctt: Kata “Mendatangi” dalam hadits ini Maksudnya adalah Menyetubuhi
Ketika Rasulullah a di tanyakan kepada beliau tentang apa-apa yang boleh dilakukan terhadap istri-istri mereka bila mereka dalam keadaan haid, maka beliau a mengatakan lakukanlah segala sesuatu bersama mereka, kecuali jima’ (bersetubuh), sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
قَالَ رَسُوْ لُ اللهِ a جَامِعُوْ هُنَّ فِيْ الْبُيُوْتِ وَ اصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ غَيْرَ النِّكَحِ
"Rasulullah a bersabda: “Bergaul lah dengan mereka di rumah dan lakukanlah segala sesuatu selain jima' (bersetubuh)"(HR. Muslim dan Abu Dawud No. 258; Isnad Shahih).
Dalam banyak tempat disebutkan dalam kitab-kitab hadits bahwa Rasulullah a memerintahkan umatnya untuk menyelisihi orang-orang Yahudi dan Nasrani serta kaum Musyrik, dan pada permasalahn ini Ijma’ dikalangan ulama’ bahwa hukum menyelisihi orang-orang Yahudi, Nasrani dan Musyrik serta kafir adalah wajib, sedangkan meniru perbuatan dan kebiasaan mereka adalah terlarang,  berdasarkan dalil:
مَنْ تَشَبَّهَا بِقَوْمِنْ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia tergolong sebagai bagian kaum itu” (HR. Bukhari).
Dan diantara bentuk-bentuk penyelisihan yang dilakukan oleh Rasulullah a  terhadap ahlul kitab dan orang-orang musyrik adalah diperbolehkannya seorang suami bergaul dengan istri-istri mereka walaupun mereka dalam keadaan haid. Sebab dari kalangan Yahudi, mereka menjauhi istri-istri mereka ketika haid, bahkan mereka tidak mengizinkan istri-istri mereka untuk tidur, makan dan bergaul bersama mereka.
Diantara hal-hal yang diperbolehkan oleh Rasulullah a adalah mencumbui istri, dengan tanpa bersetubuh, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ :وَكَانَ يَأْمُرُنِيْ فَأَتَّزِرُ فَيُبَا شِرُنِيْ وَ أَنَا حَائِضْ.
"Dari Aisyah E ia berkata : "Nabi a menyuruhku mengenakan Sarung lalu beliau bercumbu denganku sementara aku dalam keadaan haid" (HR. Bukhari No. 300; Fathul Baari II hal. 503)
Namun, apabila dikhawatirkan tidak dapat menahan gejolak nafsu yang dapat berakibat pada tergelincirnya kita pada perbuatan haram (menyetubuhi istri dalam keadaan haid), maka lebih ahsan (lebih baik) bila kita meninggalkan kegiatan mencumbui istri dalam keadaan haid, demi kemaslahatan bagi kita. demikian wallahu ta’ala a’lam bish showaab.



Kesimpulan:
Dari dalil ayat dan hadits diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1.       Seorang Istri wajib secara mutlak menta’ati suaminya selama ketaatan tersebut berada perkara yang ma’ruuf, sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam berma’siyat kepada Allah dan Rasul Nya.
2.      Diantara bentuk keta’atan seorang istri terhadap suaminya adalah mematuhi semua keinginan suaminya, baik dalam hal pelayanan fisik maupun pelayanan diatas tempat tidur.
3.      Seorang istri hendaknya lebih mengutamakan penampilan dihadapan suaminya, dibanding dihadapan halayak, dan yang benar untuk permasalahan ini, seorang wanita muslimah haram hukumnya mempercantik diri dihadapan laki-laki yang bukan suami dan mahramnya, sebagai contoh terdapat larangan memakai wewangian bagi seorang perempuan sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits berikut:
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى، عَنْ النَّبِيِّ  a ، قَالَ: إِذَا اسْتَعْطَرَتْ الْمَرْأَةُ، فَمَرَّتْ عَلَى الْقَوْمِ لِيَجِدُوْا رِيَهَا، فَهِيَ كَذَا وَ كَذَا - قَالَ: قَوْلًا شَدِيْدًا-
"Dari Abu Musa E, dia berkata: Rasulullah a bersabda: "Jika seorang perempuan memakai wewangian lalu sengaja lewat di antara orang-orang agar ia mencium wanginya, maka dia begini begitu (sindiran berbuat zina)." Beliau a berkata dengan nada tegas" (HR. Abu Dawud No. 4173; Isnad Hasan)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ، قَالَ: إِنِّىْ سَمِعْتُ حِبِّيْ أَبَا الْقَاسِمِ a  يَقُوْلُ: لَاتُقْبَلُ صَلَاةٌ لِامْرَأَةٍ تَطَيَّبَتْ لِهَذَا الْمَسْجِدِ، حَتَّى تَرْجِعَ فَتَغْتَسِلَ غُسْلَهَا مِنَ الْجَنَابَةِ.
“Dari Abu Hurairah E dia berkata: Sesungguhnya saya mendengar orang yang aku cintai, yaitu Abu al- Qosim (Rasulullah) a, bersabda: "Tidak diterima shalat seorang perempuan yang memakai wewangian karena ingin ke- masjid hingga dia kembali dan mandi sebagaimana dia mandi dari hadats besar" (HR. Muslim dan Abu Dawud No.4174; Isnad Shahih)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ a : أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُوْرًا، فَلَا تَشْهَدَنَّ مَعَنَّا الْعِشَاءَ. وَفِى لَفْظٍ: عِشَاءَ الْآخِرَةِ.
"Dari Abu Hurairah E, dia berkata: Rasulullah a bersabda: "Wanita manapun yang mengenakan wewangian hendaknya dia tidak ikut shalat Isya' berjamaah bersama kami". (HR. Muslim dan Abu Dawud No. 4175; Isnad Shahih)
Dari hadits-hadits diatas, bila kita kembalikan kepada qoidah ‘Ushul Fiqh, hukum asal larangan adalah haram, maka hukum mengenakan wewangian ditempat umum bagi wanita adalah haram, sebab mudharat yang ditimbulkan oleh bau wangi seorang wanita yang tercium oleh laki-laki yang tidak memiliki hak terhadapnya, adalah timbulnya keinginan dan angan-angan yang ditimbulkan dari hawa nafsu dan syahwat, sehingga pantaslah bila nabi kita yang mulia, Rasulullah a menyebut perumpamaan berzina bagi seorang wanita yang memakai harum-haruman dan berada ditempat umum.  Wal ‘iyadzu billah. Adapun berdandannya seorang wanita (termasuk didalamnya memakai wewangian) dihadapan suaminya, maka hal tersebut merupakan hal yang disukai (mustahab). Wallahu Ta’ala a’lam bish showaab.


Keterangan tambahan:
Biografi beberapa Ulama’ yang menjadi rujukan dalam tulisan kali ini.
Imam adz- Dzahabiy : nama lengkapnya adalah Syamsuddin Muhammad bin ‘Utsman bin Qaimaz at- Turkmani al- Fariqiy ad- Dimasyqiy asy- Syafi’i) Rahimahullah [lahir 673 H dan wafat 747 H].
Imam an- Nawawi Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mury bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i [631 H - 24 Rajab 676 H]
Al- Hafidz Ibnu Hajar al- Asqalaniy (Beliau adalah Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar al- Kinani al- Asqalani asy- Syafi'i al- Mishri (Sya'ban 773 H - 28 Dzulhijjah 952 H)
Maraji/ Referensi dalam penulisan artikel ini:
1.       Kitab al- Kabâ’ir karya Imam adz- Dzahabî.
2.     al- Insyirah fi Adabin Nikah Edisi Terjemahan Karya Abu Ishaq al- Huwaini al- Atsari.
3.      Adabuz Zafaf fi Sunnati Muthaharah – al- Imam al- Muhaddits Nashir as- Sunnah Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albany.
4.     Shahih Sunan at- Tirmidzi Tahqiq al- Imam al- Muhaddits Nashir as- Sunnah Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albany.
5.      Shahih Sunan Ibnu Majah – Tahqiq al- Imam al- Muhaddits Nashir as- Sunnah Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albany.
6.      Shahih Sunan Abu Dawud – Tahqiq al- Imam al- Muhaddits Nashir as- Sunnah Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albany.
7.      Software Hadith Viewer karya Ust. Jamal ‘Abdul Nasheer London. (Software Kumpulan 1.712 Hadits Bukhari Muslim (Mutaffaqun ‘Alaih) serta Kitab Riyadush Sholihiin.
8.      Kitab Zaadul Ma’ad – Karya Imam Ibnu Qayyim al- Jauziah al- Hanbali
9.      Kitab Riyadush Shalihiin – Karya Imam an- Nawawi asy- Syafi’i
10.  Kitab Fathul Baary Syarh Shahihil Bukhori –Karya al- Hafidz Ibnu Hajar al- Asqalani-
11.    Kitab Bulughul Marom min Adilatil Ahkam - Karya al- Hafidz Ibnu Hajar al- Asqalani-
Kendari, 2 Februari 2012, dimurojaah kembali pada Hari Jum’at 10 Februari 2012


[1] Nusyuz : yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[2] Maksudnya : untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.

1 komentar: