Wayer
Haris Sauntiri, S.T
Persoalan
pembangkangan istri kepada suami, sudah merupakan penyakit yang mendarah
daging, bahkan kalau boleh saya katakan sudah menjadi tradisi. Dikatakan telah menjadi tradisi karena sifat
pembangkangan terhadap suami sudah diwariskan secara turun temurun, bahkan
dengan sengaja diajarkan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka, bahkan
terkadang justru pendidikan pembangkangan ini dilakukan oleh orang tua sang
suami, dengan alasan untuk membungkam kebrutalan anak kandungnya sendiri.
Keadaan seperti ini semakin diperparah dengan banyaknya
fenomena suami yang takut atau tunduk kepada istri-istri mereka, sementara
dalam syari’at disebutkan bahwa seorang laki-laki adalah pemimpin bagi kaum
perempuan, ar rojulu qowwamuuna ‘ala nisaa’, tetapi begitulah syaithan dan
kejahilan atas ilmu yang haq rupanya telah banyak menguasai kehidupan kaum
muslimin, sehingga tidak heran bila beragam bentuk kemungkaran dan kemaksiatan
dapat kita saksikan hampir dimanapun kita berada, wal ‘iyadzu billah...
Disebagian keluarga, bukannya nasihat yang berdasarkan
syari’at, tetapi justru dapat kita dapati kebiasaan orang tua yang mengajari
putri mereka untuk “mengendalikan” suami-suami mereka entah dengan berbagaimacam
cara mulai dengan cara yang masuk akal hingga cara yang tidak masuk akal. Suatu
bencana yang amat terperikan..
Sebagai contoh kami akan mengangkat kisah yang berasal dari
penuturan seorang yang kami kenal; sementara beliau adalah orang tua dari pihak
laki-laki, beliau berkata bahwa ia menyarankan kepada Istri anaknya agar ia
melakukan berbagai macam cara agar suaminya berhenti atau setidaknya mengurangi
kebiasaan merokoknya, dan diantara cara yang beliau sarankan adalah agar sang
istri “meng-ultimatum suaminya dengan tidak akan memberikan “jatah” sampai
suaminya mau mengurangi konsumsi rokok. Secara sepintas saran ini adalah saran
yang baik, yakni untuk mengurangi atau menghilangkan kebiasaan merokok anaknya
sendiri, tetapi bila kita tinjau dari kaidah hukum syari’at, maka perbuatan
menyarankan seorang istri mengancam suaminya dengan tidak memberi “jatah”
merupakan pembangkangan terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad
Shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebab beliau telah mengajarkan kepada menantunya
untuk membangkang terhadap suaminya. Dan bila persoalan ini terus dibiarkan
satu pembangkangan yang telah di lakukan maka pelan namun pasti akan lahir
pembangkangan demi pembangkangan berikutnya yang mungkin derajatnya lebih berat
dari pembangkangan yang sudah-sudah.
Dalam tulisan ini, walaupun kami menampilkan topik yang
berhubungan dengan rokok, tetapi kami sama sekali tidak memberikan pembelaan
terhadap para perokok, bahkan kami meyakini sepenuhnya bahwa rokok adalah
haram, sebagaimana yang difatwakan oleh Lajnah Daimah lil Buhuts wal Ifta’ dan
MUI (walaupun terlambat!!) tetapi karena kebetulan kisah tersebut sesuai dengan
yang menjadi topik tulisan kami kali ini, maka dengan terpaksa topik rokoklah
yang kami tampilkan.
Menyaksikan kenyataan seperti itu, maka dengan
keterbatasan ilmu yang kami miliki dan didorong rasa keprihatinan yang mendalam
kami mulai menulis risalah ini, walaupun jujur saya katakan tulisan ini
belumlah pantas disebut artikel/ risalah ataupun apalah namanya, tetapi mungkin
lebih tepat kalau disebut sebagai kumpulan hadits dan atsar tentang ancaman
bagi seorang istri yang durhaka kepada suaminya. .:^_^:.
Dan
untuk mempersingkat waktu maka pembahasan mengenai durhaka kepada suami, kami
mulai…….
Imam
Adz- Dzahabiy e berkata
dalam kitabnya al- Kabâ’ir, bahwa mendurhakai suami adalah merupakan dosa besar
(beliau mencantumkannya dengan nomor urut 47). Beliau e menjelaskan
permasalahan ini secara jelas dengan mengemukakan dalil-dalil yang rajah (kuat)
dan Shahîh. Diantara dalil yang beliau kemukakan adalah:
وَ الَّاتِىْ تَخَافُوْنَ
نُشُوْزَ هُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَ اهْجُرُو هُنَّ فِىْ الْمَضَاجِعِ وَ اضْرِبُوْ هُنَّ
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْ ا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا
كَبِيْرًا
“Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya[1],
maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[2].
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Q.S an- Nisaa’ : 34).
Al- Wahidiy
e
berkata,
"Maksud nusyuz dalam ayat diatas adalah durhaka kepada Suami" sementara
Atha' bin Yasir e berkata: "Nusyuz adalah perbuatan
wanita yang memakai wewangian di hadapan suami namun tidak mau dikumpuli serta
tidak taat lagi kepada suaminya."
Tentang 'pisahkan diri dari tempat
tidur mereka', Ibnu 'Abbas (Abdullah bin 'Abbas) r.a berkata:
"Maksudnya adalah membalikkan punggung dari istri dan tidak mengajaknya
bicara. Sedangkan asy- Sya'bi dan Mujahid e
(dua
Ulama' dari kalangan Tabi'in) berkata: "Maksudnya adalah tidak tidur
bersama istri dan tidak mencampurinya.”
Maksud dari 'dan pukullah' adalah
dengan pukulan yang tidak membahayakan. Ibnu 'Abbas r.a berkata: "Pukulan
yang mendidik, seperti dengan telapak tangan." Seorang suami berhak untuk
memperbaiki kedurhakaan istrinya dengan cara yang di izinkan oleh Allah, sebagaimana
tersebut dalam ayat diatas.
إِذَا
دَعَا الرَّجُلُ امْرَ أَتَهُ إِلَى فِرَ اشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ
عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصِبْحَ.
”Apabila seorang suami mengajak
istrinya ke tempat tidurnya kemudian si istri menolakknya sehingga suaminya
tidur dalam keadan marah kepadanya, maka ia dila'nat oleh para malaikat sampai
subuh" (HR. Bukhari No. 5.195 dan Muslim No. 2.367, Ishaq ibnu Rahawaih
dalam kitab al- Musnad, Abu Dawud Juz 2 hal. 224, ad- Darami Juz. 2 hal. 73,
Ahmad Juz 2 hal. 155,348,439,480,519 dan 538, ath- Thohawiy Juz 2 hal. 105, al-
Baghawiy dalam kitab Syahrus Sunnah Juz 9 hal 157-158, Riyadush Shalihiin No. 1758
dan Bulughul Marom No. 1051 dari
hadits Abu Hurairah r.a).
Terhadap hadits ini, Imam an- Nawawi
e berkata dalam
kitabnya al- Minhaj Syarh Shahihil Muslim Juz 7 halaman 116 : “Larangan ini
menunjukkan keharaman. Demikian yang diterangkan dengan jelas oleh kalangan
ulama’ mahdzab kami (Mahdzab Syafi’iyah) dan ini merupakan pendapat jumhur
ulama’ dari semua Mahdzab sebagaimana disebutkan oleh al- Hafidz Ibnu Hajar al-
Asqalaniy e
dalam kitabnya Fathul Baary Syarh Sahihil Bukhariy
Juz 9 Halaman 367.
Dalam
Fathul Baary Juz 9 halaman 357, Ibnu Hajar al- Asqalaniy e juga memberikan penjelasan mengenai hadits diatas:
“Hadits ini menunjukkan lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami
dari pada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah. Karena hak suami hukumnya
wajib, sedangkan menunaikan kewajiban lebih didahulukan dari pada menunaikan
perkara sunnah.
إِذَا بَاتَتِ الْمَرْ أَةُ هَاجِرَةً فِرَ اشَ
زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصِبْحَ.
"Jika seorang wanita tidur
malam dalam keadaan meninggalkan tempat tidur suaminya, maka para malaikat akan
melaknatnya sampai datang waktu Shubuh" (HR. Bukhari, Muslim, Ishaq ibnu
Rahawaih, Abu Dawud, ad- Darami, Ahmad, ath- Thohawiy, al- Baghawiy dan al-
Khathib al- Baghdadi dari hadits Abu Hurairah r.a).
وَ الَّذِىْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا
مِنْ رَجُلِ يَدْعُوْ امْرَ أَتَهُ إِلَى فِرَ اشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلَّا كَانَ
الَّذِ يْ فِيْ السَّمَاءِ سَاخِطَا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضْى عَنْهَا.
"Dan demi jiwaku yang berada di
tangan Nya, tidaklah seorang suami yang mengajak istrinya untuk bersetubuh
kemudian si istri menolak ajakan tersebut, kecuali yang berada dilangit akan
murka kepadanya sampai si suami meridhainya" (H.R. Muslim).
إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ
اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلُ يُفْضِيْ إِلَى الْمَرْ أَةِ وَتُفْضِيْ
إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا.
“Sesungguhnya diantara manusia yang
paling jelek kedudukannya disisi Allah pada Hari Kiamat adalah seorang yang
mendatangi istrinya, dan wanita yang mendatangi suaminya (untuk berjima')
kemudian (mereka) menyebarkan rahasianya" (HR. Muslim, Ahmad Juz 3 hal. 69, Ibnu
Sunni No. 608, Baihaqiy JUz 7 hal 193-194 dan Abu Nu'aim dari Abu Said al-
Khudri r.a).
عَنْ مُعَاذْ بْنِ جَبَلْ؛ قَالَ
رَسُوْ لَ اللهِ a: لَا تُؤْذِى امْرَ أَةٌ زَوْجَهَا
إِلَّا قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنْ الْحُوْرِ الْعِيْنِ: لَا تُؤْذِيْهِ قَتَلَكِ اللهُ
فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكَ دَخِيْلٌ أَوْشَكَ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا.
“Dari Mu'adz bin Jabal E,
ia berkata: "Rasulullah a bersabda:
"Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya, kecuali istrinya dari kalangan
bidadari surga berkata: "Janganlah kau sakiti dia semoga Allah
memerangimu!. Dia disitu hanyalah seorang yang singgah sesaat, kemudian
meninggalkanmu dan segera menemui kami (Shahih HR. Ibnu Majjah No. 1650/2044, at-
Tirmidzi No. 1.174, as- Shahiihah No. 173 dan Adabuz Zafaf No. 178)
“Seorang perempuan belum dianggap
menunaikan hak Tuhan nya sehingu ia menunaikan hak suaminya” (HR. Ibnu Majah).
أَيُّمَا
امْرَ أَةٍ سَألَتْ زَوْجَهَا طَلَاقًا مِنْ غَيْرِ بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَ
ائِحَةُ الْجَنَّةِ.
"Setiap perempuan yang
menggugat suaminya tanpa ada sebab, maka haram baginya bau surga" (HR. at-
Tirmidzi No. 1.187, Ibnu Majah No. 2.055).
الْمُخْتَلِعَاتُ
هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ.
"Perempuan yang mengajukan
gugatan cerai adalah perempuan munafik" (HR. Tirmidzi No. 1.186, ash-
Shahiihah No 633 al- Misykah No. 3.290).
إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ
لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَ أَنْ كَانَتْ التَّنُّوْرِ.
"Jika seorang lelaki mengajak
istrinya untuk memenuhi kebutuhannya (jima') maka istrinya wajib memenuhinya,
meskipun ia sedang berada di dapur" (HR. at- Tirmidzi No. 1.160, al-
Misykah No. 3.257 dan as- Shahiihah No. 1.202: Isnad Shahih).
وَ الَّذِيْ نَفْسِىْ بِيَدِهِ لَا تُؤوَ دِّيْ
الْمَرْ أَةُ حَقَّ رَبَّهَا حَتَّىْ تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأَلَهَا
نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ
"Dan demi Dzat yang jiwaku
berada di tagan Nya, tidaklah seorang wanita dikatakan telah menjalankan hak
Rabbnya sampai ia melaksanakan hak suaminya. Dan andai suaminya mengajak
dirinya "berhubungan" sedang dia berada diatas pelana kendaraannya,
tidak diperkenankan bagi si istri untuk menolak kemauan suaminya" (Hadits
Shahih Riwayat Ahmad (4/381), Ibnu Majah (1/570), Ibnu Hibban (1290), Al-
Baihaqiy (7/292))
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ
a: لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا
أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَامَرْتُ الْمَرْ أَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا.
"Dari Abu Hurairah E dari Nabi a,
beliau
bersabda: "Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud (pada
selain Allah) niscaya aku perintahkan istri untuk sujud pada suaminya" (HR.
at- Tirmidzi No. 1.159, Ibnu Majah No. 1.853, Shahih Jami’ No. 5.294, As-
Shahiihah No. 3.366, al- Irwa’ No. 1.998 dan Ahmad Juz 4 hal 381 : Isnad
Shahih).
اِثْنَانِ لَا تُجَاوِ زُصَالَاتُهُمَا
رُؤُوْسَهُمَا: عَبْدٌ اٰبِقٌ مِنْ مَوَا لِيْهِ حَتَّي يَرْجِعَ اِلَيْهِمْ، وَامْرَأَةٌ
عَصَتْ زَوْجَهَا حَتّٰى تَرْجِعَ.
"Dua orang yang shalatnya tidak
akan melampaui kepalanya (maksudnya tidak diangkat disisi Allah): seorang hamba
sahaya yang kabur dari tuannya, sampai ia kembali dan wanita yang mendurhakai
suaminya, sampai ia kembali" (HR. Thabraniy, al- Hakim, as- Shahiihah No.
288)
لَا يُحِلُّ لِلْمَرْ أَةِ تَصُوْمَ
وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنَ فِىْ بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ.
"Tidak halal seorang wanita
yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk mengerjakan puasa (sunnah) sedang
suaminya berada disisinya, kecuali dengan seizin suaminya" (HR. Bukhari
No. 5.195 dan Muslim No. 1.026, Riyadush
Shalihiin No. 1759).
Bibi dari Hushain bin Muhshin
mengadukan suaminya kepada Nabi a, kemudian beliau a
menjawab: "Lihatlah bagaimana keadaanmu bersamanya!. Dia adalah surga dan
nerakamu!" (HR. Ahmad Juz 4 ha. 341 dan Juz 6 hal. 419, ath- Thabraniy
dalam al- Ausath No. 532, Imam Al- Haitsami mengatakan Isnadnya Insya
Allah Hasan).
Abdullah bin 'Amru r.a berkata:
"Rasulullah a bersabda: "Allah tidak akan
memandang kepada wanita yang tidak mensukuri suaminya dan tidak merasa cukup
dengannya". (HR. an- Nasa'i dalam kitab 'Isyratun Nisaa' No. 251
secara mauquf dan Sanadnya Shahih, juga diriwayatkan oleh ath- Thabraniy dan
al- Bazzar; Imam al- Haitsami berkata: "Para perawinya Shahih
secara marfu').
Rasulullah a bersabda pada
putrinya (Fatimah az- Zahro r.a):
وَيَا بُنَيَّةُ الْوَيْلُ
لِامْرَ أَةٍ تَعْصِيْ زَوْجِهَا.
“Wahai anakku, kecelakaanlah bagi
wanita yang durhaka kepada suaminya" (H.R. Ahmad Juz. 5 hal. 242, at-
Tirmidzi No. 1.184, Ibnu Majah No. 2.014 Thabraniy)
Tanbih/Perhatian:
Dalam berbakti (taat) kepada suami,
terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, sebab yang dimaksud dengan
ketaatan disini adalah pada perkara yang ma’ruf (perkara yang diridhai Allah Azza
wa Jalla), sebab tidak ada ketaatan dalam berma’siyat kepada Allah Azza
wa Jalla sebagaimana hadits yang bersumber dari Sahabat Ali bin Abi Thalib
radhiallahu 'anhu:
لَا طَاعَةَ فِيْ مَعْصِيَةِ اللهِ
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِيْ الْمَعْرُوْفِ.
"Tidak ada ketaatan dalam maksiat
kepada Allah. Ketaatan itu hanya dalam perkara yang ma'ruf (baik)." (HR.
Bukhari No. 3.995, Muslim No. 3.424, an- Nasa'i No. 4.134, Abu Dawud No. No.
2.256 dan Ahmad Juz 1 Hal. 82, 94, 124, 129 dan 131).
Sebagai contoh, walaupun melayani permintaan
suami untuk berjima’ adalah perkara yang wajib dipenuhi oleh seorang istri,
namun ketika ia dalam keadaan haid atau nifas maka wajib bagi seorang istri
untuk menolak ajakan suaminya, sebab terdapat larangan berjima’ dalam keadaan
demikian, sebagai mana disebutkan dalam dalil-dalil berikut:
Firman Allah Azza wa Jalla dalam Surah al- Baqarah : 222
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ
قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى
يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (٢٢٢)
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:
"Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri [137] dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci [138]. apabila
mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan
Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Q.S al- Baqarah : 222).
Ctt:
[137] Maksudnya menyetubuhi wanita
di waktu haidh.
[138] Ialah sesudah mandi. Adapula
yang menafsirkan sesudah berhenti darah keluar.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah Azza wa Jalla
melarang seorang suami “mendekati” istrinya bila ia dalam keadaan haidh. Dan
yang dimaksud dengan kata mendekati disini adalah bersetubuh. Dan hukum
larangan menurut kaidah Ushul Fiqh adalah haram, selama tidak ada dalil yang
menyelisihinya. Dan memang tidak ada satupun dalil yang menyelisihinya. Adapun
bergaul dalam hal-hal lain (selain bersetubuh) adalah diperbolehkan oleh
syari’at secara Ijma’.
عَنْ مَنْصُوْرِ
بْنُ صَفِيَّةَ أَنَّ أُمَّهُ أَنَّ عَائِشَةَ
حَدَّ ثَتْهَا أَنَّ النَّبِيَّ a
كَانَ يَتَّكِئُ فِيْ حَجْرِيْ وَأَنَا حَائِضٌ ثُمَّ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ.
"Telah diriwayatkan dari Manshur bin Shafiyyah
bahwasannya ibunya menceritakan kepadanya, 'Aisyah bercerita kepadanya,
"Sesungguhnya Nabi a biasa bersandar
di pangkuanku sementara aku dalam keadaan haid, kemudian setelah itu beliau a membaca al- Qur'an" (HR.
Bukhari No. 297, Fathul Baary II hal. 498)
Dam masih banyak dalil- lain yang menunjukkah tentang
bolehnya seorang istri untuk bergaul dengan suaminya bahkan bercumbu sekalipun
selama tidak menyetubuhinya baik melalui farjinya ataupun duburnya, karena
perkara tersebut sangat diancam oleh Allah dan Rasul Nya sebagai mana hadits
berikut:
عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ a مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوْ امْرَأَةً فِىْ دُبُرِهَا، أَوْ كَاهِنًا
فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَيَّ مُحَمَّدٍ a.
"Dari Abu Hurairah E, dia berkata; "Rasulullah a bersabda: "Barang siapa “mendatangi” perempuan
(istrinya) yang sedang haid, atau melalui duburnya, atau mendatangi seorang
dukun lalu nenpercayai apa yang dikatakannya, maka ia telah kafir terhadap
apa-apa (agama) yang telah diturunkan kepada Muhammad a” (Shahih; HR. Ibnu Majah 528, adab az- Zafaf No. 31, al-
Irwa' No. 2006 dan al- Myskah al Mashabih No. 551).
Ctt: Kata “Mendatangi” dalam hadits ini Maksudnya adalah Menyetubuhi
Ketika Rasulullah a di tanyakan kepada beliau tentang apa-apa yang boleh
dilakukan terhadap istri-istri mereka bila mereka dalam keadaan haid, maka
beliau a mengatakan
lakukanlah segala sesuatu bersama mereka, kecuali jima’ (bersetubuh),
sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
قَالَ رَسُوْ لُ اللهِ
a جَامِعُوْ هُنَّ فِيْ الْبُيُوْتِ وَ اصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ
غَيْرَ النِّكَحِ
"Rasulullah a
bersabda: “Bergaul lah dengan mereka di rumah dan lakukanlah segala sesuatu
selain jima' (bersetubuh)"(HR. Muslim dan Abu Dawud No. 258; Isnad
Shahih).
Dalam banyak
tempat disebutkan dalam kitab-kitab hadits bahwa Rasulullah a
memerintahkan umatnya untuk menyelisihi orang-orang Yahudi dan Nasrani serta
kaum Musyrik, dan pada permasalahn ini Ijma’ dikalangan ulama’ bahwa hukum
menyelisihi orang-orang Yahudi, Nasrani dan Musyrik serta kafir adalah wajib,
sedangkan meniru perbuatan dan kebiasaan mereka adalah terlarang, berdasarkan dalil:
مَنْ تَشَبَّهَا
بِقَوْمِنْ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa
menyerupai suatu kaum, maka ia tergolong sebagai bagian kaum itu” (HR.
Bukhari).
Dan diantara
bentuk-bentuk penyelisihan yang dilakukan oleh Rasulullah a
terhadap ahlul kitab dan orang-orang
musyrik adalah diperbolehkannya seorang suami bergaul dengan istri-istri mereka
walaupun mereka dalam keadaan haid. Sebab dari kalangan Yahudi, mereka menjauhi
istri-istri mereka ketika haid, bahkan mereka tidak mengizinkan istri-istri
mereka untuk tidur, makan dan bergaul bersama mereka.
Diantara hal-hal
yang diperbolehkan oleh Rasulullah a adalah mencumbui istri, dengan
tanpa bersetubuh, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ
قَالَتْ :وَكَانَ يَأْمُرُنِيْ
فَأَتَّزِرُ فَيُبَا شِرُنِيْ وَ أَنَا حَائِضْ.
"Dari Aisyah E ia berkata : "Nabi a
menyuruhku mengenakan Sarung lalu beliau bercumbu denganku sementara aku dalam
keadaan haid" (HR. Bukhari No. 300; Fathul Baari II hal. 503)
Namun, apabila
dikhawatirkan tidak dapat menahan gejolak nafsu yang dapat berakibat pada
tergelincirnya kita pada perbuatan haram (menyetubuhi istri dalam keadaan
haid), maka lebih ahsan (lebih baik) bila kita meninggalkan kegiatan mencumbui
istri dalam keadaan haid, demi kemaslahatan bagi kita. demikian wallahu ta’ala a’lam bish
showaab.
Kesimpulan:
Dari dalil ayat dan hadits diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1.
Seorang Istri
wajib secara mutlak menta’ati suaminya selama ketaatan tersebut berada perkara yang
ma’ruuf, sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam berma’siyat kepada Allah
dan Rasul Nya.
2.
Diantara bentuk
keta’atan seorang istri terhadap suaminya adalah mematuhi semua keinginan
suaminya, baik dalam hal pelayanan fisik maupun pelayanan diatas tempat tidur.
3.
Seorang istri
hendaknya lebih mengutamakan penampilan dihadapan suaminya, dibanding dihadapan
halayak, dan yang benar untuk permasalahan ini, seorang wanita muslimah haram
hukumnya mempercantik diri dihadapan laki-laki yang bukan suami dan mahramnya,
sebagai contoh terdapat larangan memakai wewangian bagi seorang perempuan
sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits berikut:
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى، عَنْ النَّبِيِّ a ، قَالَ: إِذَا اسْتَعْطَرَتْ الْمَرْأَةُ، فَمَرَّتْ عَلَى
الْقَوْمِ لِيَجِدُوْا رِيَهَا، فَهِيَ كَذَا وَ كَذَا - قَالَ: قَوْلًا
شَدِيْدًا-
"Dari Abu
Musa E, dia berkata: Rasulullah a bersabda: "Jika seorang perempuan memakai wewangian
lalu sengaja lewat di antara orang-orang agar ia mencium wanginya, maka dia
begini begitu (sindiran berbuat zina)." Beliau a berkata dengan nada tegas" (HR. Abu Dawud No. 4173;
Isnad Hasan)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ، قَالَ: إِنِّىْ
سَمِعْتُ حِبِّيْ أَبَا الْقَاسِمِ a يَقُوْلُ: لَاتُقْبَلُ
صَلَاةٌ لِامْرَأَةٍ تَطَيَّبَتْ لِهَذَا الْمَسْجِدِ، حَتَّى تَرْجِعَ
فَتَغْتَسِلَ غُسْلَهَا مِنَ الْجَنَابَةِ.
“Dari Abu Hurairah
E dia
berkata: Sesungguhnya saya mendengar orang yang aku cintai, yaitu Abu al- Qosim
(Rasulullah) a,
bersabda: "Tidak diterima shalat seorang perempuan yang memakai wewangian
karena ingin ke- masjid hingga dia kembali dan mandi sebagaimana dia mandi dari
hadats besar" (HR. Muslim dan Abu Dawud No.4174; Isnad Shahih)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ a : أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُوْرًا، فَلَا تَشْهَدَنَّ
مَعَنَّا الْعِشَاءَ. وَفِى لَفْظٍ: عِشَاءَ الْآخِرَةِ.
"Dari Abu Hurairah E, dia berkata: Rasulullah a bersabda: "Wanita manapun yang mengenakan wewangian
hendaknya dia tidak ikut shalat Isya' berjamaah bersama kami". (HR. Muslim
dan Abu Dawud No. 4175; Isnad Shahih)
Dari
hadits-hadits diatas, bila kita kembalikan kepada qoidah ‘Ushul Fiqh,
hukum asal larangan adalah haram, maka hukum mengenakan wewangian ditempat umum
bagi wanita adalah haram, sebab mudharat yang ditimbulkan oleh bau wangi
seorang wanita yang tercium oleh laki-laki yang tidak memiliki hak terhadapnya,
adalah timbulnya keinginan dan angan-angan yang ditimbulkan dari hawa nafsu dan
syahwat, sehingga pantaslah bila nabi kita yang mulia, Rasulullah a menyebut perumpamaan berzina bagi
seorang wanita yang memakai harum-haruman dan berada ditempat umum. Wal ‘iyadzu billah. Adapun
berdandannya seorang wanita (termasuk didalamnya memakai wewangian) dihadapan
suaminya, maka hal tersebut merupakan hal yang disukai (mustahab). Wallahu
Ta’ala a’lam bish showaab.
Keterangan tambahan:
Biografi
beberapa Ulama’ yang menjadi rujukan dalam tulisan kali ini.
Imam
adz- Dzahabiy : nama lengkapnya adalah Syamsuddin Muhammad bin ‘Utsman bin
Qaimaz at- Turkmani al- Fariqiy ad- Dimasyqiy asy- Syafi’i) Rahimahullah
[lahir 673 H dan wafat 747 H].
Imam an- Nawawi Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Syaikhul Islam,
Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mury bin Hasan bin Husain bin
Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i [631 H - 24
Rajab 676 H]
Al- Hafidz Ibnu Hajar al- Asqalaniy (Beliau adalah Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin
Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar al- Kinani al-
Asqalani asy- Syafi'i al- Mishri (Sya'ban 773 H - 28 Dzulhijjah 952 H)
Maraji/ Referensi dalam penulisan
artikel ini:
1.
Kitab al- Kabâ’ir karya Imam adz-
Dzahabî.
2.
al- Insyirah fi Adabin Nikah Edisi
Terjemahan Karya Abu Ishaq al- Huwaini al- Atsari.
3.
Adabuz Zafaf fi Sunnati Muthaharah –
al- Imam al- Muhaddits Nashir as- Sunnah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-
Albany.
4.
Shahih Sunan at- Tirmidzi Tahqiq al-
Imam al- Muhaddits Nashir as- Sunnah Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albany.
5.
Shahih Sunan Ibnu Majah – Tahqiq al-
Imam al- Muhaddits Nashir as- Sunnah Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albany.
6.
Shahih Sunan Abu Dawud – Tahqiq al-
Imam al- Muhaddits Nashir as- Sunnah Syaikh Muhammad Nashiruddin al- Albany.
7.
Software Hadith Viewer karya Ust. Jamal ‘Abdul Nasheer
London. (Software Kumpulan 1.712 Hadits Bukhari Muslim (Mutaffaqun ‘Alaih) serta
Kitab Riyadush Sholihiin.
8.
Kitab Zaadul Ma’ad – Karya Imam Ibnu
Qayyim al- Jauziah al- Hanbali
9.
Kitab Riyadush
Shalihiin – Karya Imam an- Nawawi asy- Syafi’i
10. Kitab Fathul Baary Syarh Shahihil Bukhori –Karya al-
Hafidz Ibnu Hajar al- Asqalani-
11.
Kitab Bulughul
Marom min Adilatil Ahkam - Karya al- Hafidz Ibnu Hajar al- Asqalani-
Kendari, 2
Februari 2012, dimurojaah kembali pada Hari Jum’at 10 Februari 2012
[1] Nusyuz : yaitu
meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti
meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[2] Maksudnya : untuk
memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah
mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari
tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul
mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Bila cara pertama telah
ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.
Microtouch Titanium Trimmer | Titanium Arts
BalasHapusMaterials titanium hair straightener · Titanium Artwork · titanium jewelry piercing Titanium Concepts · titanium cerakote Titanium titanium wheels Design titanium guitar chords